dirinya dan pengalaman-pengalamannya saat masih sekolah. Pertemuan-pertemuan berikutnya dilakukan di cafe atau tempat lain yang dirasa Yani cukup nyaman.
Yani tampaknya paham benar mengenai hal yang berkaitan dengan HIVAIDS. Kata-kata yang ia gunakan saat menjawab pertanyaan penulis pada
awalnya menimbulkan kesan ia adalah pribadi tanpa konflik yang memandang segala sesuatu dari sudut normatif, dan terkesan membatasi diri menjawab pertanyaan hanya
pada fokus pertanyaan sehingga perlu melakukan probing lewat pertanyaan yang tidak mengarah dan membicarakan topik dari sudut pandang orang ketiga. Dengan
begitu ia lebih terbuka dalam menyampaikan pengalamannya.
4.2.2. Sejarah Hidup
Waria berusia 32 tahun ini adalah anak kedua dari empat orang bersaudara. Dilahirkan pada tahun 1976, dengan nama Ahmad Yani. Dia merasa feminim sejak
kecil, sekitar usia lima tahun. Saat itu dia lebih suka bermain dengan perempuan dan menikmati bermain masak-masakan bersama dengan teman-teman
perempuannya. Keinginan menjadi waria sudah sejak remaja, akan tetapi lingkungan dimana dia tinggal dan dilahirkan tidak memungkinkan. Salah satu alasan kenapa dia
tidak menjadi waria sejak remaja adalah dia harus berbakti kepada orang tuanya. Di tanah kelahirannya Indramayu, pariwisata menjadi alasan banyak
tumbuhnya penginapan dan hotel. Sebagian penduduk juga menyediakan ruang sosial tempat kencan antara pelanggan dan pekerja seks komersial yang didatangkan dari
Universitas Sumatera Utara
desa-desa di sekitar Indramayu. Di daerah tempat tinggal Yani, banyak anak perempuan yang dijadikan pekerja seks oleh orang tuanya untuk membantu ekonomi
keluarga. Saudara perempuan Yani yang pertama pun merupakan pekerja seks sejak umurnya 15 tahun. Dari kecil ia sudah terbiasa menghadapi kenyataan hidup yang
sangat keras. Penghasilan orang tuanya sebagai buruh kasar kadang tidak cukup menutupi kebutuhan hidup keluarga, apalagi ketika kaki ayah yang dicintainya harus
diamputasi karena infeksi luka kecil yang diobati dengan dedaunan yang dibalut semakin memperparah lukanya sebelum meninggal karena infeksi paru-paru. Demi
alasan ekonomi, sepulang sekolah Yani kecil berjualan makanan dan minuman ringan di seputaran rumah penduduk yang menyediakan tempat kencan mini.
”Keluarga kami orang susah mas...makan nasi sehari sekali sudah bagus, kadang makan getuk makanan terbuat dari ubi, walau masih
kecil aku dan kakakku kerja apa saja untuk bantu keluarga, kasihan si mbok ibu banting tulang sejak bapak sakit-sakitan...”
Keadaan yang sulit memaksa kakak perempuan Yani berhenti sekolah, untuk meringankan biaya orang tuanya menyekolahkan Yani dan adiknya. Yani dianggap
sebagai laki-laki pertama yang diharapkan kelak dapat membantu perekonomian keluarga bila mendapatkan pekerjaan yang layak selepas tamat. Yani sadar betul akan
hal ini, walau dalam hatinya dia berniat berhenti sekolah, belum lagi teman-teman di sekolahnya yang sering mengolok-ngolok gayanya yang seperti perempuan, namun
dia tidak mau mengecewakan keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
Sepulang sekolah ia berjualan, dari sesama pedagang asongan di sekitar lokalisasi Yani banyak mendengar bahwa menjadi waria juga banyak menghasilkan
uang seperti pekerja seks wanita. Dasar pemahaman agamanya yang cukup kuat dan keprihatinan melihat kondisi keluarga berkecamuk dalam hatinya, Selama ini ia
sering mendengar bahwa menjadi waria adalah suatu dosa, apalagi menjajakan diri. Saat itu Yani sangat bingung, namun keperihatinan ibunya yang dilihat setiap hari
dan sifat kewanitaannya yang sudah ada dari dulu mendorongnya mengambil keputusan untuk menjadi waria. Menurutnya itu adalah satu-satunya jalan keluar saat
ini. Dasar pertimbangannya bahwa dia masih dapat terus bersekolah dan sepulangnya dapat mencari uang tambahan dengan menjajakan diri. Yani berargumen dalam
hatinya aku bisa mendapatkan uang dan kepuasan batin dengan menjadi waria. Sepulang sekolah, tanpa sepengetahuan keluarga, Yani menuju rumah yang
ditata menjadi salon kecantikan seorang waria yang sekaligus dijadikan tempat kencan mini khusus waria yang dikenalkan temannya. Yani mendapatkan fasilitas
baju dan pernak-pernik serta kamar ± 2x1,5 meter persegi sebagai tempatnya
melakukan transaksi. Yani tidak mendapatkan semua secara cuma-cuma, setiap bulan dia harus menyisihkan 150 ribu rupiah dari penghasilannya sebagai pengganti
fasilitas yang didapatkannya. Profesi barunya itu sangat membantu perekonomian keluarganya. Penghasilan Yani lumayan besar karena jasanya sering dipergunakan
tamu yang sebagian besar menyukai waria yang masih muda. Transaksi kadang dilakukan di luar lokasi mangkalnya, sehingga dia sering mendapat tips lebih besar
Universitas Sumatera Utara
dibanding waria lainnya yang lebih tua. Penghasilannya sebagian diberikan kepada ibunya, dan sisanya disimpannya.
”Jadi wedok banci di sana enak mas, biasanya tamu ngasih aku 20 ribu smpai 50 ribu untuk sekali nembes kencan, sehari bisa dapat 2
temong tamu, kalau malam minggu atau libur bisa dapat 5 temong, beda banget dengan penghasilan waktu ngasong ndak sampe 20 ribu
seharinya, terkadang malah ndak dapat apa-apa, lagian sore hari aku bantuin Mak Lastri nyalon, itung-itung nambah ilmu nyalonku mas”.
Tamat SMK, Yani memutuskan untuk merantau. Alasannya saat itu bahwa banyak orang kampungnya yang mulai membicarakannya, apalagi ibunya mulai
curiga melihat perilaku Yani yang perlahan mulai tampak layaknya perempuan.
4.2.3. Pengambilan Keputusan Tes HIV