Menurut Nadia 2005, dilihat dari cara berpakaian, waria dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sebagai transvestime dan transeksualisme.
Transvestisme adalah hawa nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya. Pada transvestisme yang lebih ditonjolkan adalah kepuasan seks
seseorang yang didapat dari cara berpakaian yang berlawanan dengan jenis kelamin yang melekat dalam dirinya. Jika seseorang itu berjenis kelamin laki-laki, maka ia
akan mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian perempuan. Sebaliknya, jika seseorang itu berjenis kelamin perempuan, ia akan mendapatkan kepuasan seks
hanya dengan memakai pakaian laki-laki. Pada waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda. Seorang transeksualis secara jenis kelamin
sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung menampilkan ciri sebagai lawan jenis.
2.2.1. Pembagian Waria
Menurut Benny D.Setianto yang dikutip Salviana 2005 empat kategori kewariaan adalah; 1. Pria menyukai pria. 2. Kelompok yang secara permanen
mendandani dirinya sebagai seorang perempuan. 3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktivitas sebagai
perempuan. 4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka. Faktor –faktor penyebab terjadinya
waria adalah; a disebabkan oleh faktor hormon seksual dan genetik seseorang. b
Universitas Sumatera Utara
disebabkan bukan hanya oleh faktor biologis saja, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikologi, sosiobudaya termasuk di dalamnya pola asuh lingkungan yang
membesarkannya. c mempunyai pengalaman sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi
seperti lawan jenis Salviana, 2005.
2.2.2. Masalah yang Dihadapi Waria
Berperilaku menjadi waria memiliki banyak risiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima
secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial
atas. Oetomo 2000 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki
pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria
dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik
dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis. Pakar kesehatan
masyarakat dan pemerhati waria, Gultom 2002 setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal.
Universitas Sumatera Utara
Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas, dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai
profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk
mencari kebebasan Kompas, 7 April 2007. Keadaan yang dialami waria merupakan awal dari berbagai permasalahan
dalam masyarakat. Dalam perjalanan hidupnya, waria melewati konflik batin yang panjang. Permasalahan besar yang dihadapi oleh waria salah satunya adalah penyakit
kelamin. Kehidupan waria banyak didominasi oleh perilaku seks yang umumnya mengandung risiko cukup tinggi. Waria memiliki risiko lebih besar dibandingkan
dengan heteroseksual karena waria memiliki frekuensi berganti-ganti pasangan lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan jika dibandingkan dengan pelacuran wanita,
kejangkitan penyakit kelamin di kalangan waria lebih tinggi. Kehidupan mereka yang identik dengan pelacuran tentu saja sering berganti pasangan.
Perilaku hubungan seks berisiko tinggi tersebutlah yang mengundang berbagai penularan penyakit kelamin. Waria rentan terhadap penyebaran HIVAIDS
dan berisiko tinggi dikarenakan mobilitas kaum tersebut tergolong tinggi. Waria sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Selain mobilitas yang tinggi, umumnya banyak waria yang enggan menggunakan kondom, dengan alasan mengurangi kenyamanan dalam berhubungan.
Universitas Sumatera Utara
2.3. VCT