4.1.4. Pelayanan Klinik VCT
Sari pertama sekali mengunjungi Klinik IMS dan VCT Veteran Medan sekitar akhir September 2008, Sari dengan ditemani Petugas Lapangan LSM lokal dengan
maksud untuk melakukan salah satu proses VCT yakni konseling pra tes HIVAIDS. Tujuan Sari adalah untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan HIVAIDS
dan bagaimana sebenarnya tes HIV dilakukan, karena ia merasa apa yang ia dapatkan dari bahan bacaan dan yang ia dengar baik dari petugas lapangan maupun teman-
temannya belum dapat memuaskan. Menurutnya ada hal-hal yang kontra produktif apa yang disampaikan oleh berbagai sumber tersebut, banyak hal-hal yang
ditanyakannya kepada berbagai sumber tersebut masih mengambang dan bertentangan satu dengan lainnya.
Sari meyakini bila mendapatkan informasi dari petugas kesehatan akan lebih paham dengan apa yang diinginkannya, dibandingkan dari informasi yang dia dapat
dari teman-temannya dan petugas lapangan. Sari berharap informasi yang didapat membantunya memberikan solusi dan pertimbangan apakah dia memang seharusnya
melakukan tes HIV. Kedatangan Sari tidak membuahkan hasil. Karena konselor yang akan ditemui
sedang tidak berada di tempat. Menurut petugas lain yang pada saat itu berada disana, hal tersebut memang kadang-kadang terjadi, karena pada waktu tertentu yang
bersangkutan sedang ada tugas di Dinas Kesehatan Propinsi. Menurut koordinator layanan klinik yang dikonfirmasi kemudian oleh penulis menyangkut hal ini.
Universitas Sumatera Utara
Konselor Klinik IMS dan VCT Veteran adalah petugas Dinas Kesehatan Propinsi yang ditempatkan sementara di klinik ini karena telah mengikuti pelatihan konselor
Departemen Kesehatan, sebelum ada petugas lain yang dilatih, artinya saat ini beliau memiliki dua beban kerja, yakni di Dinas Kesehatan Propinsi sebagai staf bidang
P2M Pemberantasan Penyakit Menular dan konselor Klinik IMS dan VCT Veteran. Petugas lapangan kemudian membuat kesepakatan baru dengan Sari, akan
datang kembali pada waktu yang disepakati, namun Sari mensyaratkan PL sebelumnya harus menghubungi klinik untuk mendapatkan kepastian kehadiran
konselor.
”Malam itu aku mikir lagi bang, keraguanku timbul lagi untuk tes HIV, apa memang ini jalan yang terbaik, apa rahasia ini bisa
terjamin, batinku yakin betul kalau hasilnya pasti positif, kayak yang aku baca, meyes patra hubungan seks anal apalagi ditempong seks
anal pelaku pasif, makanya janji dengan PL aku undur-undurin, ku bilang lagi gak sempat, aku juga takut orang disana petugas klinik
memang gak perduli dengan orang kayak kita waria”.
Seminggu kemudian sesuai dengan perjanjian, Sari dengan ditemani PL kembali mengunjungi klinik untuk melakukan tes. Sari harus melakukan proses VCT
dari awal. Setelah dilakukan catatan medis atasnya, Sari dikonseling pra tes kembali, ia diberikan informasi HIVAIDS yang faktual dan berdiskusi perilaku dirinya yang
memungkinkan penularan terjadi. Namun ia merasa kurang nyaman karena menurutnya konselor menanyakan hal-hal yang sangat pribadi. Dia lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
diam dan sering terpaksa mengiyakan pernyataan dan pertanyaan persetujuan yang dilontarkan. Konselor juga banyak menekankan agar ia bertobat dan tidak menjajakan
diri lagi, karena hal tersebut perbuatan berdosa dan akan dihukum. Sari merasa dihakimi, karena menurutnya hal itu bukan kemauannya, menurutnya lagi, suatu saat
ia akan meninggalkan pekerjaan ini, tapi karena desakan ekonomi, saat ini dia belum mampu menghidupi dirinya sediri. Ia merasa tidak memiliki keahlian di bidang lain
untuk dapat pekerjaan lainnya, namun dia tidak berani berargumen karena takut sikapnya itu akan memengaruhi proses pelaksanaan VCT selanjutnya. Ia hanya
memendam dalam hati. Selain itu Sari pun merasa malu karena ketika proses konseling berlangsung, beberapa orang waria tampak mondar-mandir di belakangnya,
dia khawatir hal tersebut akan menjadi bahan cerita di kalangan waria lainnya. Keadaan itu menjadi beban dan menyebabkan ia tidak memberikan jawaban yang
sejujurnya. Sari hanya ingin proses konseling cepat berakhir.
’Tahu sendirilah bang, banci kan pada ember bo’, dinding aja bisa ngomong kalau ada hal yang ganjil dibicarain, ha...ha....aku juga
gitu. Cuma untuk yang ini aku gak mau orang lain tahu, bisa-bisa aku dijauhin teman-temanku”.
Setelah menandatangani lembar persetujuan untuk melakukan tes, darah Sari diambil dan ia menunggu di ruangan lain. Menurutnya, ia cukup risih berada disana,
karena ia merasa setiap pengunjung lain yang lalu lalang, seakan memperhatikan dirinya. Ia sadar bahwa dandanan wanita yang ia kenakan sangat kontras dengan
Universitas Sumatera Utara
kondisi siang hari, Sari merasa setiap pandangan orang-orang tersebut seperti menertawakannya, namun Sari mencoba santai, diambilnya brosur dan dibacanya
untuk mengalihkan perhatiaan. Sari mengeluhkan lamanya waktu menunggu sampai hasilnya keluar, beberapa kali dia mondar-mandir menanyakan kepada petugas
tentang hasil tesnya. Hampir satu jam menunggu. Sari dipanggil kembali oleh petugas, bahwa hasil VCT sudah keluar. Dengan perasaan cemas Sari menghampiri
konselor. Diluar dugaan, begitu amplop dibuka dan dibacakan, hasilnya non-reaktif, konselor menjelaskan artinya bahwa ia tidak terinfeksi HIV. Cukup lama ia
mendengarkan konselor memberikan informasi yang berkaitan dengan hasil tes. Walaupun dia tidak dapat menangkap sepenuhnya, karena banyak hal-hal yang tidak
dimengertinya. Sari masih ingat bahwa dia diberikan beberapa brosur dan beberapa buah kondom.
Saat ini Sari tidak lagi memeriksakan kesehatannya secara rutin walaupun semua didapatnya dengan gratis, karena ada kecenderungan di kalangan teman-teman
waria di lingkungannya yang beranggapan bahwa bila memeriksakan diri terkait IMS dan VCT berarti ada gejala IMS dan tanda infeksi oportunistik yang menyertai
dicurigai mengidap HIV positif.
Universitas Sumatera Utara
4.2. Informan Pangkal - 2 Yani