Tenaga Kesehatan Klinik HASIL PENELITIAN

asuransi kesehatan untuk warga miskin namun terkendala administrasi, seperti KTP dan keterangan domisili. ”Jangankan ngurus begituan Askeskin, Jamkesmas dan yang sejenisnya untuk buat KTP saja sulit, belum lagi ditanya macam- macam yang ndak ada kaitannya, mungkin sudah nasib waria kali ya, dianaktirikan dengan orang lain..” Hanya saja dalam perilaku seksualnya, Yani konsisten memakai kondom, sehingga dia yakin bahwa tidak perlu memeriksakan diri karena tidak mungkin tertular IMS lainnya. Yani hanya merasa membutuhkan pelayanan kesehatan untuk penyakit di luar IMS.

4.3. Tenaga Kesehatan Klinik

Klinik IMS dan VCT Veteran memiliki SDM sebanyak 8 delapan orang yang dikepalai seorang koordinator klinik yang merangkap tugas sebagai dokter pemeriksa layanan klinik dan telah dilatih melakukan pemeriksaan IMS. 1 satu orang perawat, 1 satu orang bidan, tenaga laboratorium sebanyak 2 dua orang, seorang tenaga administrasi, dan 2 dua orang konselor yang telah mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Konselor 1 seorang perempuan berlatar belakang sarjana psikologi dan konselor 2 adalah seorang dokter umum pria yang merangkap tugas di dinas kesehatan propinsi. Universitas Sumatera Utara Berikut hasil wawancara dengan petugas kesehatan yang berkaitan dengan pandangan waria terhadap pelayanan klinik yang memengaruhi keputusan waria melakukan tes melakukan kunjungan ke Klinik Veteran. Dari hasil wawancara dengan konselor ditemukan bahwa dalam konseling pra tes hal-hal yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan diri dan menanamkan rasa percaya kepada klien sehingga pasien benar-benar merasa bahwa apa yang dibicarakan merupakan rahasia dan hanya konselor dan pasien yang mengetahui. Disamping itu pemahaman tentang HIVAIDS perlu diidentifikasi untuk mengetahui mitos dan persepsi pasien tentang HIVAIDS termasuk juga faktor risiko pada pasien. Jika terdapat mispersepsi tentang HIVAIDS, maka tugas konselor adalah memberikan informasi yang benar tentang HIVAIDS. ”Dalam konseling pra tes yang pertama kali dilakukan oleh konselor adalah membina trust dengan klien. Setelah itu baru dijelaskan apa itu HIVAIDS dan bagaimana penularannya”. Konselor 1 “Pertama kali berhubungan dengan klien adalah memperkenalkan diri dan menekankan maksud VCT termasuk aspek kerahasiaannya setelah itu mengidentifikasi pemahaman klien tentang HIVAIDS”. Konselor 2 Dari hasil observasi ditemukan bahwa dalam melakukan konseling pra tes, konselor menggunakan formulir konseling yang baku dan formulir ini akan Universitas Sumatera Utara dimasukkan kedalam catatan rekam medik pasien. Lama waktu untuk konseling pra tes adalah rata-rata 30 menit sampai 1 jam. “Waktunya untuk konseling pra tes kurang lebih 30 menit paling lama belum pernah 1 jam”. Konselor 1 dan 2 Dari hasil wawancara konselor ditemukan bahwa kendala yang dihadapi oleh konselor dalam pelaksanaan konseling pra tes antara lain menggali faktor risiko, klien adalah waria senior yang kritis tetapi memiliki pengetahuan tentang HIVAIDS dan klien yang datang bukan atas kemauan sendiri. ”..Tapi kadang-kadang kita merasa tidak berhasil dalam konseling pra tes dalam menggali faktor risiko. Kadang mereka malu dan masih takut mengungkapkan yang sebenarnya”. Konselor 1 Dari hasil wawancara ditemukan bahwa tes HIV dilakukan setelah klien mendapat konseling pra tes dan menandatangani informed consent. Untuk tes HIV ini, konselor membuat pengantar untuk pemeriksaan ke laboratorium. ”...Pasien yang bersedia untuk tes HIV terlebih dahulu kita berikan informed consent untuk ditandatangani, kemudian diberikan pengantar untuk tes dengan nama pasien dan tanggal lahirnya Konselor 1 dan 2 Universitas Sumatera Utara Dari hasil wawancara dengan petugas laboratorium ditemukan bahwa pemeriksaan HIV, penanganan spesimen dan pemeriksaan sampel disesuaikan dengan protap Depkes. Untuk pelaporan hasil digunakan istilah reaktif dan non reaktif. Untuk menjaga kerahasiaan, hasil pemeriksaan diserahkan kepada konselor dalam amplop tertutup. Hasil hanya dapat dibuka dihadapan pasien dan dengan persetujuan pasien. “...Hasil pemeriksaan disampaikan kepada konselor pengirim dalam amplop tertutup untuk menjaga kerahasiaan klien...”. Petugas Laboratorium Testing HIV dilaksanakan setelah klien mendapatkan informasi yang adekuat tentang HIVAIDS dan klien bersedia untuk melakukan tes HIV. Jika klien menolak untuk melakukan tes HIV maka konselor tidak memaksakan kehendaknya kepada klien. Tes HIV hanya boleh dilakukan setelah klien menandatangani informed consent sebagai bukti bahwa klien bersedia dan secara sukarela melakukan tes HIV. Dari hasil wawancara dengan konselor ditemukan bahwa pelaksanaan konseling pasca tes dilakukan setelah klien mendapatkan hasil pemeriksaan tes HIV. Sebelum melakukan konseling pasca tes, konselor terlebih dahulu menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil tes termasuk perubahan sikap klien, ekpsresi wajah dan keadaan psikologis klien seperti yang dikemukakan oleh responden. Universitas Sumatera Utara ”...sebelum melakukan konseling pasca tes, kita terlebih dahulu mereview kembali apa yang telah didiskusikan waktu konseling pra tes dulu, setelah itu menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil. Kalau pasiennya setuju dan siap untuk menerima hasil, ya amplopnya dibuka dihadapan klien. Tapi kalau pasiennya gak setuju dan belum siap biasanya kita beri waktu untuk pikir-pikir dan disarankan kembali untuk datang setelah siap...”konselor 2. Hasil tes yang reaktif, maka konselor menjelaskan makna hasil tes reaktif dan konselor menanyakan kepada klien siapa yang boleh tahu tentang hasil tes. Konseling yang diberikan kepada klien yang reaktif antara lain memberikan dukungan, perubahan perilaku berisiko, kewajiban moral untuk tidak menularkan, dan kesiapan klien untuk membuka statusnya serta kesiapan untuk ART. Disamping itu juga konselor memberikan informasi tentang lembaga-lembaga yang dapat diakses oleh klien sebagai support group. Selain itu juga klien langsung dikonsultasikan kepada dokter untuk penanganan medis termasuk pemeriksaan CD4. Hasil tes yang non reaktif, konselor memberikan penjelasan tentang makna hasil tes dimaksud. Konseling yang diberikan antara lain konseling untuk perubahan perilaku. Biasanya klien yang hasil tes non reaktif disarankan untuk melakukan tes ulang setelah 3 bulan dari hasil tesnya yang pertama. Dari hasil wawancara konselor ditemukan kendala dalam pelaksanaan konseling pasca tes antara lain konseling pasca tes diberikan oleh konselor lain, pasien tidak datang untuk konseling pasca tes, hasil belum keluar dan mutu konseling pra tes yang kurang baik. Universitas Sumatera Utara

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini pada awalnya berusaha mengungkapkan faktor-faktor dalam diri waria yang memengaruhi keputusannya untuk melakukan tes HIVAIDS berdasarkan teori Robbins dari pemersepsi, faktor tersebut adalah sikap, motif, kepentingan, pengalaman dan pengharapan. Namun dikarenakan waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda Nadia, 2005, penulis berusaha mengungkapkan dan memahami permasalahan individu secara lebih mendalam dan kompleks untuk mendapatkan informasi rinci yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan keputusan waria melakukan tes HIVAIDS secara keseluruhan, namun hasil penelitian yang penulis dapatkan merupakan sebagian dari refleksi kehidupan waria yang melakukan tes HIVAIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran. Berangkat dari hasil wawancara dan pengamatan yang cukup lama di komunitas waria, bahwa tidak sepenuhnya faktor- faktor yang diungkapkan Robbins dapat diterapkan. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tes HIVAIDS, hanya ada dua faktor yang memiliki kesamaan yakni kepentingan dan pengalaman. Ada faktor lain seperti tekanan sosial, karakteristik waria sebagai transeksualis, pengaruh orang lain dan pengaruh kebudayaan yang ternyata cukup kuat memberikan kontribusi dari pemersepsi waria Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

5 85 115

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Karakteristik dan Cara Penularan Penderita HIV/AIDS yang Memanfaatkan Klinik Voluntary Counselling And Testing (VCT) Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008

5 76 72

Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling Di Klinik Infeksi Menular Seksual Dan Voluntary Counselling And Testing Veteran Medan Tahun 2009

0 68 124

Peran Komunikasi Antar Pribadi Dalam Voluntary Counselling And Testing : (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

1 64 100

Persepsi Kelompok Risiko Tinggi Tertular Hiv/Aids Tentang Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Dan Voluntary Counseling & Testing (VCT) Di Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2008

0 21 103

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014

5 54 177

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Sifilis - Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

0 0 30

Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

0 0 17

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

0 0 16