Ia seolah berhasil melepas beban psikologi yang selama ini masih memberatkannya. Tidak terima dengan penjelasan Sari, bapaknya melempar Sari
dengan benda yang ada disekitarnya. Sari sedih dan putus asa, dia berniat bunuh diri ketika itu, namun takut dosa. Sari berjalan tidak tentu arah, sampai akhirnya bertemu
dengan seorang waria bernama Sinta di terminal pusat kota yang hendak menuju Medan. Sekilas Sari menceritakan permasalahannya kepada Sinta yang dianggapnya
dapat memberikan solusi karena sesama waria. Sinta mengajaknya ke rumah kakaknya. Sari menurut saja karena sangat bingung tidak tahu harus kemana dan
berbuat apa. Mereka berbicara panjang lebar, yang menurut Sari merupakan alasan dia berada di Medan saat ini.
Malam harinya dengan berpura-pura telah menyadari perbuatannya. Sari diterima kembali oleh keluarga. Bapaknya yang seorang pendeta menasehati Sari
sepanjang malam itu. Namun, tekadnya sudah bulat. Beberapa hari kemudian dengan membawa pakaian dan perlengkapan dirinya Sari menuju Kota Medan dengan
temannya itu.
4.1.3. Pengambilan Keputusan Tes HIV
Sari menginjakkan kaki di Kota Medan pada tahun 1999 bulan juni, ketika usianya 19 tahun. Awalnya ia menumpang di rumah Sinta yang mengenalkannya
dengan dunia waria lebih jauh. Setelah memiliki cukup simpanan, ia mengontrak kamar di sekitar tempat mangkalnya. Selain di tempat mangkal, ia juga melakukan
Universitas Sumatera Utara
transaksi seksual di kamar kontrakannya. Karena daerah mangkalnya merupakan hot spot salah satu lembaga swadaya masyarakat LSM lokal yang mendampingi Waria,
Sari sering mendapatkan media KIE komunikasi, informasi dan edukasi yang berkaitan dengan pencegahan HIVAIDS, namum ia tidak mengindahkannya, bahkan
kondom yang dibagikanpun tidak pernah ia gunakan.
”Aku gak gitu perduli dengan petugas lapangan yang datang bagiin kondom, soalnya mereka itu kan makcik waria juga yang aku tahu
mereka dulunya ngeluna menjajakan diri, aku ngerasa lebih suka ajak mereka godain berondong pria muda”.
Dibenaknya yang terpenting sekarang mengumpulkan uang sebanyak- banyaknya. Sari berpikiran suatu ketika ia akan membuktikan kepada orang
kampungnya di Siantar, terutama orang tuanya, bahwa dia dapat hidup tanpa mereka, dia seperti ingin melampiaskan apa yang dibuat keluarganya dulu terhadapnya.
”gini ini caranya yang aku bisa, ijazah gak bawa, mo kerja apa coba? ...aku kan harus dapat duit banyak biar bapakku tau, aku gak
perlu diurusnya, pulang aku nanti biar dilihatnya aku...”
Ketika senggang Sari kadang membaca surat kabar. Dia mulai sedikit perduli ketika ada berita sebuah rumah sakit kabupaten yang merawat pasien yang diduga
penderita AIDS, namun dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan karena belum tersedia pelayanan tes HIV di sana. Belum lagi beberapa waktu sebelumnya ia
Universitas Sumatera Utara
mendengar ada waria di lokasi yang berbeda dengan tempat dia mangkal meninggal dunia tapi tidak diketahui jenis sakitnya, namun dari bisik-bisik sesama waria, Intan
bukan nama sebenarnya meninggal karena AIDS yang sudah lama dideritanya. Sejak saat itu Sari mulai tergerak dan mau menerima informasi yang berkaitan
dengan HIVAIDS yang disampaikan petugas lapangan PL kepadanya, bahkan ia mulai mencarinya sendiri, baik bertanya dengan teman atau dari surat kabar dan
majalah. Namun, untuk bertanya ke PL atau petugas kesehatan dia belum mau, karena Sari masih takut pada akhirnya akan diajak untuk melakukan tes tugas setiap
PL dalam menyampaikan tes selalu diakhiri dengan anjuran untuk melakukan tes IMS dan HIVAIDS.
Saat dalam proses pencarian itu, ia berkenalan dengan seorang laki-laki bernama Iwan yang belakangan menjadi kekasihnya. Karena suatu alasan, setelah
hampir delapan bulan menjalani ia mengambil keputusan mengakhiri hubungannya dengan Iwan.
”Aku nggak nyangka, dia make bang, aku sebenarnya sayang, tapi mo gimana lagi aku sudah nggak ada apa-apa lagi, kami sering
bertengkar kalau dia minta duit, kadang-kadang bayar kost aku telat karena dia perlu duit. Alasanya macam-macam bang, itu lah yang
akhirnya buat aku mutusin dia”
Lama Sari tidak berhubungan lagi dengan Iwan, sampai suatu hari sekitar Mei 2007, Dewi teman Sari yang belakangan diketahui menjalin hubungan dengan laki-
Universitas Sumatera Utara
laki itu sebelum mengenal Sari, memberi kabar bahwa laki-laki tersebut telah dirawat di Rumah Sakit Adam Malik karena beberapa hari yang lalu mengalami kecelakaan
saat mengendarai sepeda motor dan harus dioperasi. Hasil pemeriksaan darah diketahui bahwa yang bersangkutan adalah HIV positif. Kenyataan yang terpampang
di hadapannya membuat Sari takut bahwa dia terinfeksi HIV, dan secepatnya akan meninggal.
”Aku takut kali waktu itu, banyak yang bilang kalau kena HIV, ga lama lagi pasti metong mati, contohnya si Intan...gitu hasilnya
positif gak sampai setahun, dia sudah terbaring dan gak lama meninggal...ih ngeri lah bang...mana gak ada teman waria lain yang
mau perduli, aku sempat 2 hari gak tidur mikirannya sebelum nyari PL yang tahu banyak... ”.
Dari hasil bincang-bincang dengan petugas lapangan, disarankan untuk menghilangkan keraguan dan ketakutan tersebut agar Sari melakukan VCT. Sari
belum bersedia untuk melakukan tes, namun dia mau untuk melakukan konseling pra tes. Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, yakni pertengahan September 2008,
Sari dengan ditemani petugas lapangan melakukan konseling di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Menurut Sari ia banyak mendapatkan pemahaman tentang
HIVAIDS dan IMS dari konseling tersebut, walaupun dia belum bersedia untuk diambil darahnya. Cukup lama Sari dalam kebimbangan, sampai suatu ketika seorang
temannya menawarkan Sari untuk ikut bergabung dalam organisasi waria Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Dari sering bertemu di forum Pelangi Hati organisasi waria Kota Medan, Sari banyak mengenal waria lain yang positif HIV namun semangat hidup dan
kondisi tubuh tidak berbeda dengan orang sehat lainnya. Hindun, salah seorang dari ODHA Orang Dengan HIVAIDS yang paling tua usianya di komunitas Pelangi
Hati merupakan orang yang paling dekat dengan Sari. Hindun banyak memberi Sari inspirasi bagaimana menjalani hidup sebagai ODHA.
Sejak itu Sari berusaha keras mendapatkan informasi yang berkaitan dengan tes HIVAIDS, ia menghubungi PL yang menjangkau ke lokasi.
”Kak Hindun sebenarnya orang yang paling bisa buat aku yakin kalau cara yang paling baik mengatasi kondisi ku saat ini adalah
menghadapi masalah itu, bukannya lari...aku yang gak mau tes, kata kak Hindun itu sama saja aku lari dari masalah...berarti aku takut
menghadapi kenyataan....mungkin ada benarnya, tapi aku belum siap, tapi paling tidak kak Hindun sudah menambah keyakinan aku
kalau suatu saat aku akan tes, tapi gak sekarang..”.
Ia semakin rajin mencari sesuatu yang berkaitan dengan HIVAIDS. Setelah dirasanya cukup dan siap dengan segala resikonya Sari mengambil keputusan untuk
melakukan tes HIV. Sari menghubungi PL yang selama ini sering berkunjung ke lokasinya. Dengan ditemani PL tersebut Sari mengunjungi Klinik IMS dan VCT
Veteran Medan.
Universitas Sumatera Utara
4.1.4. Pelayanan Klinik VCT