”Aku takut gak ada lagi pelanggan yang nyalon ketempatku kalau mereka tahu aku mengidap HIV, belum lagi waria lain yang menjauh
dariku, soalnya banyak kejadian gitu, salah satunya Mela...mana ada yang mau dekat dia lagi ”.
Stigma dan diskriminasi yang diterima Mela, salah seorang teman waria Yani yang juga merupakan salah seorang peserta FGD yang telah membuka status HIV-
nya adalah dalam bentuk menjauhinya dan berkurangnya pelanggan salon di tempatnya bekerja, sehingga pemilik salon memberhentikannya, memang tidak ada
yang menghinanya secara langsung, namun Mela yakin di belakangnya mereka mempergunjingkan dirinya.
5.1.2. Karakteristik Gender
Bagaimana waria melihat diri mereka sendiri jauh lebih penting dibanding mereka melihat dunia mereka sebagai dunia yang terisolir dan terpojok. Hal ini
mengingatkan bahwa identitas itu sendiri bukan semata dibentuk secara individual, tetapi juga secara sosial, yakni ketika perilaku seseorang dipresentasikan secara
sosial. Ketika seorang laki-laki berperilaku seperti perempuan, umumnya orang akan mengatakan bahwa dia banci, meski dunia banci sebenarnya tidak sesederhana itu.
Seperti penuturan Yani kepada penulis.
Universitas Sumatera Utara
”Memang dari kecil aku ndak suka main mobil-mobilan atau permaianan laki-laki seperti yang lainnya, teman laki-laki juga ndak
punya karena mereka dilarang bermain denganku, ha..ha..ha..katanya takut bakal jadi banci juga”
Masa kecil memiliki kontribusi terhadap pembentukan diri seseorang. Pada kasus lain, Sari memiliki masa kecil yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Sari lebih suka bermain dengan perempuan dan sudah kelihatan genit, dia tidak suka bermain dengan laki-laki. Pengalamannya cenderung bermain dengan laki-laki
memebentuk mentalnya untuk dianggap sebagai perempuan, permainan apapun yang menuntut kehadiran perempuan dalam permainan tersebut membuat Sari merasa
dihargai dan dibutuhkan, sehingga dalam setiap peran di kehidupan, ia merasa dirinya adalah perempuan dan ingin diperlakukan seperti perempuan.
Sebaliknya, seseorang yang sudah benar-benar mapan dengan kebanciannya, dan kemudian menjadi pelacur, maka bukan banci yang dimaknai sebagai identitas
melainkan pelacur. Dengan demikian antara perilaku individu dengan realitas di dalam masyarakat terjadi satu proses dialektika Berger dan Luckmann dalam Fajar,
2009. Antara perilaku individu dengan lingkungan sosial memiliki hubungan yang saling memengaruhi, being wand bukanlah semata ia harus berperilaku sebagai
perempuan, tetapi sejauh mana pula perilaku itu kemudian dapat diterima oleh masyarakat sebagaimana masyarakat menerima perilaku laki-laki atau perempuan.
Permasalahan kesenjangan sosial ini terus berproses dan terakumulasi yang akhirnya
Universitas Sumatera Utara
berujung pada refleksi dalam diri waria. Golongan ini cenderung menganggap keadaan mereka saat ini sebagai takdir.
”Jangankan ngurus begituan Askeskin, Jamkesmas dan yang sejenisnya untuk buat KTP aja sulit, belum lagi ditanyain macam-
macam yang gak ada kaitannya, mungkin udah nasib waria kali ya, dianak tirikan dengan orang lain..” Yani
Dengan kata lain, waria menyadari secara utuh bahwa ada ketidaksesuaian atau
ketidakselarasan antara bentuk fisik dan kondisi psikologis mereka. Kesadaran akan inkongruensi identitas fisik dan identitas gender yang diperkuat dengan penolakan
masyarakat ini menjadi pencetus munculnya sensitifitas yang cenderung berlebihan pada diri waria di bandingkan dengan komunitas lain.
Waria sering menampakkan agresivitas yang berlebihan, kegelisahan, kelesuan, kebosanan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, dan depresi. Indikasi ini
mengarah kepada konsekuensi kedua yaitu konsekuensi psikologis. Akhirnya golongan ini lebih memilih untuk mengisolasi diri, hidup dalam sebuah komunitas
tertentu, dan memakai istilah bahasa sendiri yang cenderung susah dimengerti oleh orang lain fajar, 2009.
Berbeda dengan Sari, walaupun ingin diperlakukan sebagai perempuan dalam kehidupan sosialnya, Yani masih merasa secara lahiriah dia adalah laki-laki, ketika
pemeriksaan IMS melalui anus yang harus menanggalkan pakaiannya Yani menolak, karena petugasnya adalah perempuan. Pengalaman ini menjadi salah satu
Universitas Sumatera Utara
penghambat informan untuk memeriksakan diri kembali di Klinik Veteran, Yani memilih memeriksakan diri di layanan kesehatan lain yang memiliki tenaga
kesehatan laki-laki. Walaupun dalam keseharian ia menggunakan atribut wanita, namun dalam bersosialisasi dengan fasilitas publik dimana ia merasa identitas
kewariaannya dapat menyulitkan dirinya, informan memilih untuk merubah dirinya seperti laki-laki normal. Bayangkan saja, setiap hari harus berjuang mengubah-ubah
penampilan. berdandan sebagaimana layaknya pria pada waktu tertentu dan malam hari berdandan dengan segala macam aksesori bak seorang putri yang menunggu
jemputan mempelai pria. Penggantian peran ini tidaklah sesederhana orang bermain drama atau teater
di panggung yang hanya cukup berganti pakaian, rambut, dan make up. Tubuh yang semula selayaknya pria ini mesti dipermak sedemikian rupa sehingga benar-benar
kelihatan dan bahkan terasa wanita. Bahkan sebisa mungkin merangsang para pria yang melihatnya. Dan, memang demikian yang terjadi. Dengan rambut yang
dibiarkan panjang, hidung dimancungkan, dagu dilancipkan, pipi dipoles agar kelihatan manis, bahkan payudara dan bokong juga dipermak.
Ada yang menyebut mereka sebagai wanita plastik karena operasi permak sederhana terjadi di beberapa bagian tubuhnya. Jelas semua operasi itu butuh biaya.
Tidak hanya ratus ribu, jutaan rupiah mesti dikuras dari tabungan ayam mereka. Belum lagi rasa sakit tak terkira yang harus mereka tanggung. Apalagi, kalau proses
permak tidak dilakukan oleh dokter ahli, dan sayangnya yang justru paling banyak
Universitas Sumatera Utara
terjadi adalah mereka melakukan permak wajah dan tubuh di salon-salon kecantikan biasa dan bukan di rumah sakit atau klinik yang ditangani oleh dokter ahli bedah
plastik. Beberapa dari mereka malah nekat melakukannya sendiri. Seperti yang dituturkan Wika salah seorang peserta FGD.
Mau pakai duitnya siapa, Mas? Buat cari makan saja susah. Mending ada yang mau ngasih banyak. Dikasih 20.000 rupiah saja aku udah
senang.
Biasanya, mereka harus mengeluarkan uang minimal satu juta rupiah untuk sekali suntik. Memang ada waria yang biasa mencari uang dengan bekerja atau
memiliki sebuah salon kecantikan. Mereka yang punya modal jarang sekali menjajakan diri di pinggir jalan. Yang jelas, ada lebih banyak lagi waria yang
kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ketimbang yang mampu. Satu- satunya cara adalah dengan melakukan kerja kasar seperti membantu mengangkut
barang di pasar pada pagi hari dan malamnya, menjajakan diri. Mereka tidak bisa menentukan bakal mendapat uang atau tidak hari itu. Besar, kecilnya pendapatan
tergantung pada para pria yang mampu mengajak kencan. Menurut penuturan Yanti salah seorang peserta FGD yang telah melakukan operasi perubahan pada hidungnya
yang tampak lebih mancung dari kebanyakan tekstur orang Indonesia, namun sedikit kurang proporsional. Yanti juga tampak melakukan beberapa suntikan pada bagian
tubuhnya, namun dia tidak mengakuinya. Penulis melihat beberapa bagian wajah
Universitas Sumatera Utara
seperti dagu, bibir dan pipi juga telah dilakukan operasi sederhana, juga terlihat dada yang lebih besar dari laki-laki umumnya, sehingga tampak menyerupai buah dada.
Kalau duitnya banyak, ya kita bisa dikasih duaratus ribu atau malah lebih seperti bule yang pernah ngajak ke hotel beberapa hari lalu.
Kalau lagi sepi, bisa saja mereka tidak dapat uang sama sekali. Namun, Reni, Dewi dan teman-temannya tetap harus berjuang untuk tampail cantik
karena menjadi wanita sepenuhnya adalah dambaan utama mereka. Hampir seluruh waria peserta FGD mengakui paling tidak telah melakukan setidaknya sekali
melakukan suntikan silikon di salon kecantikan untuk mempertegas kewanitaanya. Tindakan berisiko ini mereka lakoni agar masyarakat sebisa mungkin melihat mereka
sebagai wanita, sehingga ketika mereka berdandan layaknya perempuan tidak menjadi fokus perhatian karena dianggap perempuan seutuhnya. Walaupun begitu
beberapa dari peserta FGD yang memberi argumen sebenarnya mereka tahu dan sadar bahwa secara fisik adalah laki-laki yang memiliki jiwa perempuan namun
terperangkap dalam tubuh yang tidak mereka harapkan, sehingga masih merasa malu bila yang memeriksa dirinya di Klinik Veteran adalah perempuaan. Alasan mereka
sebagian besar adalah jenis kelamin tidak dapat disembunyikan dalam keadaan tanpa busana, sehingga identitas kelamin yang sebenarnya tidak dapat ditutupi, kecuali bila
suatu saat melakukan operasi kelamin.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil studi pada hewan serta manifestasi klinik kelainan hormonal pada manusia, diasumsikan bahwa penyimpangan itu memiliki dasar biologis. Diduga
kadar kritis hormon androgen pada periode sensitif awal kehamilan menimbulkan penyimpangan antara pembentukan alat kelamin dan pembentukan perilaku. Dalam
hal ini kadar hormon androgen dapat merangsang pembentukan alat kelamin laki-laki dengan normal tetapi tidak mampu merangsang sel-sel otak menjadi maskulin. Riset
neuroanatomi menguatkan hal ini ketika ditemukan bahwa waria memiliki otak dengan struktur yang mirip perempuan, berbeda dengan yang dimiliki laki-laki
www.cybertokoh.com, sehingga mereka baru merasa sempurna ketika diperlakukan
sebagai perempuan dalam kondisi apapun, demikian pandangan mereka yang menurut penulis sangat kompleks dan perlu difasilitasi dengan menyediakan tenaga
kesehatan laki-laki.
5.1.3. Pengaruh Orang Lain