Netralitas Wartawan Peliput Perang

36

2.6 Netralitas Wartawan Peliput Perang

Petinggi militer AS sejak awal menyadari bahwa media harus diperhatikan selain operasi militer itu sendiri. Dalam Perang Teluk pertama, AS memakai sistem pool: wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu meliput dengan bantuan dari militer. Kali ini, kerjasama wartawan dan militer juga tak bisa dihindarkan karena pasukan koalisi banyak mengandalkan serangan dari udara. Intinya, media butuh militer dan militer juga butuh media. Fenomena menarik dalam perang ini ialah embedded journalist : wartawan “melekat” di dalam militer. Ada 500-an wartawan yang ikut serta dalam konvoi militer pasukan koalisi. Hal ini memancing kritik. Pertama, praktek jurnalisme semacam ini merentankan independensi wartawan. Dia hidup, menghadapi bahaya, makan dan bergerak bersama-sama dengan militer yang ditumpanginya. Kedua, pola itu juga menimbulkan distorsi dan terkesan melebih-lebihkan. Ketiga, liputan semacam itu hanya menampilkan kehebatan dan kecanggihan peralatan perang pasukan koalisi, tapi jarang menampilkan korban-korban perang itu sendiri. CNN misalnya, banyak sekali memakai kata our soldiers tentara kita atau kami. Eriyanto Embedded journalist memang tak menghinggapi Al-Jazeera. Stasiun yang baru berdiri 1996 ini kini menjadi hero di Timur Tengah, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Televisi ini juga menyuguhkan propaganda dalam bentuk lain. Menjadi fenomenal karena selama ini propaganda perang hanya diberikan pers AS. Baik CNN, Fox, NBC maupun Al-Jazeera sebetulnya sejak awal sudah mempunyai sikap tertentu. Al-Jazeera mem-frame siarannya, jelas sekali bahwa sikapnya antiinvasi AS ke Irak. Sebaliknya, seluruh media AS, bila dilihat dari mainstream-nya, tampak sekali Universitas Sumatera Utara 37 mendukung pemerintahnya. Tentu dengan berbagai variasi yang sedikit berbeda antara satu media dengan media yang lain. Kolumnis New York Times, Tom Friedman, mengritik Al-Jazeera dengan mengatakan bahwa sebagai salah satu televisi, Al-Jazeera hanya melayani keinginan audience Timur Tengah, yakni berita tentang kemenangan Saddam dan kekalahan pasukan koalisi. Tapi apa yang dikatakan Tom ini juga berlaku untuk media AS. Media AS tak berani melawan arus publik yang lebih pro pada pemerintahnya. Ada satu kasus, misalnya Peter Arnett dipecat dari NBC karena diwawancarai TV Irak yang isinya dinilai merugikan public AS. BBC juga tidak semuanya netral. The Guardian juga sering menerbitkan artikel- artikel yang kritis. Tapi secara keseluruhan, sangat sulit dalam situasi perang seperti ini membayangkan ada media yang betul-betul independen, karena media sebenarnya ditujukan untuk melayani pembaca atau pemirsanya. Ulil Abshar-Abdalla Pers memang tak mungkin netral. Pada buku ‘Elements of Journalism’ karya Bill Kovack, mengatakan bahwa wartawan tak pernah netral. Masalahnya, bagaimana wartawan mengambil keputusan harus didasarkan pada hati nurani dan pengamatan faktual di lapangan. Tentu media yang punya akses bagus, yaitu Al-Jazeera yang bisa mengamati di lapangan secara faktual. Al-Jazeera juga memberikan tempat kepada pejabat-pejabat dari AS dan sekutunya untuk beropini. Semua pihak yang berperang punya public relation PR. Yang tidak punya PR itu justru rakyat Irak yang menjadi korban. Wartawan Al-Jazeera bisa melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di lapangan dan mereka menjadi PR-nya warga Irak. Seandainya TV7 atau media punya akses seperti Al-Jazeera, semua wartawan ingin lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan akibat dari perang. Kewajiban Universitas Sumatera Utara 38 wartawan untuk menyuarakan yang selama ini dikatakan the voiceless, yang tak pernah didengar. Akses wartawan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang perang juga sangat terbatas. Bahkan sudah ada wartawan yang mengajukan somasi kepada pemerintah AS. Uni Z. Lubis Kebebasan pers tetap ada di AS. Tapi selalu ada faktor human error dalam semua liputan media massa. Walaupun coba meliput secara mendalam dan jujur, tetap ada unsur propaganda. Wartawan bisa mendapat keterangan first hand dan bisa menayangkan langsung kepada penonton. Tapi ada segi yang sedikit kurang baik, seperti ditulis The Asia Wall Street Journal, 1 April 2003. Untuk keseluruhan gambar besar, ‘the big picture,’ justru kurang, sedang hal-hal yang terperinci malah overdosis. Greta Morris Sampai hari ini yang paling bagus menggambarkan perang dari sisi korban adalah Al-Jazeera. Media-media Barat, terutama AS dan Inggris, seperti terekam dalam Perang Teluk I, invasi ke Granada dan Panama, selalu menggiring diskursus perang ini semata-mata diskursus starwar. Perang hanya dilihat sebagai pertarungan teknologi perang kelas utama, tanpa ada korban dari sipil. Ini sebuah kebohongan, karena bagaimanapun perang adalah perang. Ada air mata, darah dan kehancuran. Agus Sudibyo Al-Jazeera bukan hanya mewakili korban dari warga sipil Irak, tapi juga korban dari pasukan koalisi Mungkin dia merujuk pada penayangan tawanan AS di Al- Jazeera . Tapi Al-Jazeera tak mewakili korban dari kekejaman Saddam Husein. Padahal ada banyak korban dari Saddam Husein. Beberapa hari lalu, Kedutaan AS menayangkan perempuan, Zainab al-Syuaiz, yang memberikan banyak keterangan tentang kekejaman Universitas Sumatera Utara 39 Saddam Husein atas orang Irak sendiri, suku Kurdi, orang Iran dan Kuwait. Seharusnya media memberitakan semua fakta yang ada. Greta Morris Secara umum, Al-Jazeera berusaha mengikuti norma-norma dan standar jurnalisme yang standar. Dia cover semua konferensi pers yang diadakan pasukan koalisi maupun Irak. Semuanya ditayangkan dan diterjemahkan dengan bagus sekali, lebih baik daripada para penerjemah Indonesianya. Sudah pasti Al-Jazeera punya biro yang sangat kuat di London, Washington, Kairo, Baghdad selain di Doha sendiri. Dari segi prinsip-prinsip jurnalisme dasar, ia memberitakan secara fair. Meski kita tahu cover-both-side itu bukan segala-galanya, karena ketika cover-both-side itu di-print atau diletakkan dalam satu kerangka tertentu, tentu punya kesan yang berbeda. Ulil Abshar- Abdalla

2.7 Liputan Perang di Media di Indonesia