21 yang beroperasi di balik media, baik dari para elite politik, bisnis atau bahkan elit media
itu sendiri. Haditz:1-20; 2006
2.4 Terorisme Internasional
Wacana tentang terorisme tidak bisa dilepaskan dari awal mula kampanye perang melawan terorisme oleh Amerika Serikat. Serangan 11 September 2001 menjadi
tonggak penting bagi pemerintahan sayap kanan konservatif George W Bush untuk mengabsahkan perang melawan terorisme, yang ujung-ujungnya adalah pembasmian
terhadap aktivitas-aktivitas bersenjata kelompok Al Qaedah dan teman-temannya, termasuk negara-negara yang dianggap mensponsori terorisme, yaitu Irak di bawah
pemerintahan Saddam Hussein dan Afghanistan di bawah pemerintahan Talib. Pada tahun 2001 Amerika mendeklarasikan kampanye perang melawan
terorisme. Kampanye perang melawan terorisme oleh Amerika Serikat adalah produk ideologi sayap kanan. Harap dicatat bahwa dalam selubung ideologi, sebagaimana
ditemukan oleh Karl Manheim, selalu ada ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap pihak lain the others.
Kampanye itu masih dibubuhi dengan atribut yang efektif: terorisme internasional sebagai ancaman global. Sebetulnya, sulit untuk menjustifikasi
terminologi terorisme internasional sebagai ancaman global. Sebab, data-data bahkan data dari Departemen Pertahanan AS sendiri menunjukkan bahwa insiden-insiden teror
pada skala domestik sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan insiden teror berskala internasional. Lalu, mengapa terorisme internasional menjadi ancaman? Jawaban cukup
jujur sebenarnya sudah diberikan oleh Kementerian Luar Negeri AS dalam laporannya,
Universitas Sumatera Utara
22 Karena, terorisme internasional membawa dampak langsung terhadap Amerika
Serikat. Laporan Kementerian Luar Negeri AS, Review of Terrorism. Lima tahun setelah perang melawan terorisme dikumandangkan, kampanye itu
kini makin kuat menjadi perang global melawan terorisme. Namun, lima tahun sejak saat itu, jawaban atas pertanyaan mendasar masih tetap belum tersedia secara
memuaskan. Pertanyaan mengenai siapakah dan apakah terorisme itu, masih tetap menjadi sesuatu hal yang kabur.
Terorisme lebih banyak dikaitkan dengan kelompok-kelompok radikal Islam. Bahkan, Bush dalam pidatonya di Mongolia bulan lalu tegas-tegas menyamakan
radikalisme Islam dengan komunisme. Salah satu kesepakatan terminologi yang sangat ambigu adalah pernyataan
bahwa: kekerasan tidak selalu identik dengan terorisme, sedangkan terorisme selalu mengandung unsur-unsur kekerasan. Terminologi ini sesungguhnya adalah suatu makna
yang mengambang floating meaning dan karena itu juga belum memberikan batas- batas klasifikasi yang tegas antara teroris dan kelompok teroris di satu pihak dengan
pelaku kekerasan dan kelompok bermodus kekerasan di pihak lain. Akibatnya, terorisme dengan mudah dijadikan atribut oleh siapa saja yang menjadi lawan terhadap
kekerasan. Pidato Bush di Mongolia itu adalah ungkapan paling tegas bahwa hal yang
paling mendasari segala kebijakan dan tindakan Amerika Serikat mengenai terorisme internasional adalah ideologi hegemonik.
Berakhirnya ideologi seperti yang dikemukakan oleh Daniel Bell rupanya belum sepenuhnya benar. Sebaliknya, kini muncul kemasan baru ideologi dalam wajah
terorisme. Repotnya lagi, wacana terorisme sebagai sesuatu yang nyaris identik dengan
Universitas Sumatera Utara
23 kelompok Islam seolah menjadi narasi yang membingkai konstruksi pemikiran di era
akhir abad ideologi ini. Data-data kuantitatif, seperti yang juga dimiliki oleh Departemen Pertahanan
AS dan Departemen Luar Negeri AS, menunjukkan hal yang sangat jauh berbeda. Kelompok-kelompok perjuangan yang menempuh modus kekerasan pada kenyataannya
tersebar dan tumbuh di mana pun di dunia ini. Di seluruh wilayah di dunia ini total ada 967 kelompok yang menggunakan
cara-cara teror dan kekerasan untuk mencapai tujuan. Menarik untuk diamati bahwa Timur Tengah dengan Al Qaedah sebagai tokoh utamanya hanya memiliki 192
kelompok, dan Asia Tenggara basis utama Jemaah Islamiyah menjadi sarang hanya bagi 43 kelompok. Untuk memerangi terorisme dalam arti kata sebagai kelompok
kekerasan, tindakan-tindakan pre-emptive Amerika seharusnya juga difokuskan pada Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan.
Serangan kekerasan oleh kelompok-kelompok yang bermotif agama di dalamnya bisa dimasukkan Al Qaedah atau pun Tentara Republik Irlandia adalah 1925
kasus. Jumlah itu kurang dari 10 persen dari seluruh kasus serangan kekerasan oleh berbagai kelompok paham lainnya. Jumlah insiden kekerasan justru paling banyak
dilakukan oleh kelompok nasionalisseparatis 3.966 dan disusul kelompok komunissosialis 3.179.
Osama Bin Ladin beserta ribuan muslim pengikutnya direkrut oleh Amerika untuk mengobarkan perang menumpas terorisme melawan Rusia di Afghanistan.
Sayangnya, tentara Rusia tidak bisa dikalahkan. Namun kemudian, Amerika dan sekutunya memutuskan untuk menumpas Osamah bin Ladin dan Al Qaedah. Ribuan
pengikut Ladin tewas, tetapi tokoh ini masih dicari-cari oleh AS.
Universitas Sumatera Utara
24 Lebih mengkhawatirkan lagi, 15.000 pejuang Ladin telah kembali ke Arab
Saudi. Mereka menjadi ancaman serius bagi kepentingan strategis AS di Teluk. Kedua belah pihak kemudian mengekspor perang ini dalam skala internasional. Abu Muzab
al-Zarqawi dalam pernyataan terbarunya mengemukakan, serangan kekerasan akan dilakukan di mana saja terhadap kepentingan AS. Sementara Bush sendiri sudah sedari
awal menandaskan, youre with us or against us Kalau tidak bersama kami, anda adalah musuh kami.
Secara teoritik, formulasi wacana itu disebut sebagai political discourse diskursus politik. Diskursus dalam pengertian ini adalah sistem praktik-praktik
bermakna dan praktik-praktik pemaknaan yang membentuk identitas subjek dan objek. Diskursus selalu mencakup tiga elemen penting. Yakni, konstruksi
antagonisme, dikotomi antara pihak dalam insiders dan pihak luar outsiders, serta logika nodal points. Nodal points ini berfungsi untuk strukturisasi elemen-elemen
ke dalam sistem makna. Nodal points menjadi signifiers penanda utama atau points reference
de capiton menurut Lacan yang menyatukan sistem makna atau rantai signifikasi. Sebagai contoh, dalam wacana komunis di Eropa Timur, kata kebebasan,
negara, dan demokrasi mendapat makna baru di sekitar kata komunisme. Dalam hal ini, komunisme berfungsi sebagai nodal point.
Begitu pula halnya dalam fenomena terorisme. Kata terorisme dan perang melawan terorisme menjadi nodal point atau titik awal referensi bagi makna kekerasan,
pengeboman, radikalisme dan Islam. Diskursus politik terorisme kini makin jelas membentuk identitas subjek-objek, yakni Amerika Serikat dan sekutu sebagai subjek
melawan Al Qaedah dan sekutunya sebagai objek.
Universitas Sumatera Utara
25 Ideologi sebagai proses signifikasi berlangsung melalui dua tahap. Yakni,
narrativization dan proses pengolahan encoding-decoding akal sehat publik, dengan
tujuan mengonstruksi makna khusus. Media massa berperan sangat besar dalam proses pengolahan akal sehat publik ini. Karena pada dasarnya, tujuan dari serangan teror
adalah publisitas. Tidak heran apabila Margaret Thatcher, saat menjabat sebagai perdana menteri Inggris, mengatakan bahwa media massa adalah oksigen bagi
terorisme. Definisi terhadap terorisme yang berkembang saat ini bersumber dari definisi
resmi AS. Menurut definisi Deplu AS, teroris mencerminkan suatu kelompok minoritas yang terdiri atas individu-individu yang sering kali fanatik di dalam kelompok-
kelompok itu kelompok etnis, agama dan nasional. Penyebutan kata teroris selalu dimunculkan oleh pihak berkuasa
pemerintahan terhadap lawannya. Misalnya, Israel menyebut tindak kekerasan Palestina sebagai terorisme dan pelakunya sebagai teroris, Amerika Serikat menyebut
Abu Musab al-Zarqawi sebagai teroris dan menolak menggunakan kata insurgency perlawanan. Pada galibnya, kedua kelompok yang bertikai itu sama-sama
menggunakan kekerasan dan senjata. Jadi sebenarnya, terorisme negara adalah satu- satunya jawaban bagi terorisme.
Terorisme internasional dengan demikian hanya menjadi nodal point bagi kepentingan pihak berkuasa AS terhadap pihak lainnya. Bukan tidak mungkin, apabila
kepentingan nuklir AS mulai terganggu dengan kemampuan nuklir Iran dan Korea Utara, maka arena tinju terorisme internasional akan bergeser di wilayah terorisme
nuklir. Permadi; 2001
Universitas Sumatera Utara
26
2.5 TERORIS, MEDIA dan PEMERINTAH Perspektif, Kecenderungan dan Pilihan untuk Menentukan Kebijakan