15 terjahat yang telah mensponsori terorisme selama bertahun-tahun, bahkan sebelum Bush
menjadi presiden.
Ungkapan pasukan Intel yang paling jelas adalah bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Hal itu terlihat pada Web CIA dan disebarkan pada bulan Oktober
2002. Pasukan Intel juga menuduh Irak masih melanjutkan program senjata pemusnal massal yang menggunakan bahan kimia dan kemungkinan terdapat nuklir pada senjata
itu. Setelah meningg alkan senjata biologis. Sejauh ini pengaruh media sedang bekerja. Popularitas Bush menurun drastis
sebesar 21 poin dari 74 menjadi 53 pada bulan April akibat perang di Irak. Sebanyak 89 persatuan wartawan memilih Bill Clinton sebagai lawannya daripada
Bush. Ruddy; 2003
2.3 Perang Melawan Terorisme War Against Terorism
Peristiwa peledakan gedung World Trade Centre WTC di New York, 11 September 2001, telah menjadikan terorisme dari isu lunak soft issues menjadi isu
strategis strategic issue. Peristiwa tersebut benar-benar dijadikan alat legitimasi dan justifikasi bagi Amerika untuk menekan dan menghancurkan gerakan terorisme. Hal ini
membawa kemenangan diplomatik Amerika, dimana Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi no. 1373 yang mendasari perang global melawan terorisme.
Seiring perjalanan waktu, sikap go it alone actions dan a la carte diplomacy dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika, mendorong Amerika melakukan
review and adjustment dalam kebijakan politik luar negerinya, terutama di bidang
pertahanan dan keamanan, hal ini melemahkan sistem multilateralisme dan
Universitas Sumatera Utara
16 menonjolnya unilaterilisme dalam sistem internasional, sebagaimana terlihat dari
penerapan doktrin Amerika tentang pre-emptive war. Kebijakan Amerika tersebut tentu saja mendapat kritikan tajam dan membuat negara-negara lainnya menjadi tidak
sepaham lagi dengan tindakan yang telah dilakukan oleh Amerika dalam memerangi terorisme.
Pemerintahan Bush mengatakan bahwa tragedi 11 September adalah poin yang mengubah pikirannya tentang Irak. Irak dilukiskan sebagai sesuatu yang paling
berbahaya bagi keamanan nasional AS. Alasan-alasan yang dikemukakan pemerintahan Bush berkaiatan dengan perangnya terhadap Irak telah berubah dari isu terorisme
menjadi isu senjata pemusnah massal hingga alasan mengurangi penderitaan rakyat Irak. Ada lima alasan rasional yang dikemukan oleh penasihat senior Cheney,
Rumsfeld dan Wolfowiz dan presiden Bush antara lain: 1.
Untuk membersihkan kekacauan yang ditinggalkan pemerintahan Bush yang pertama ketika tahun 1991. Pemerintahan tersebut membiarkan Saddam Husein
mengkonsolidasi kekuatan dan membunuh orang-orang yang melawan kediktatorannya setelaha perang Irak-Amerika pertama.
2. Untuk memperbaiki posisi stsrategis Israel dengan menyingkirkan seluruh
permusuhan militer. 3.
Menciptakan sebuah demokrasi Arab yang bisa dijadikan teladan bagi Negara- negara Arab lain yang saat ini terancam perselisihan internal terutama Mesir dan
Arab Saudi 4.
Mengizinkan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Arab Saudi setelah 12 tahun berada di sana dimana mereka dikerahkan untuk menghadapi
Universitas Sumatera Utara
17 militer Irak yang merupakan sumber ancaman Anti Amerika terhadap rezim
pemerintahan di Arab. 5.
Menciptakan sumber minyak lain bagi pasar Amerika dan mengurangi ketergantungan akan pasukan minyak dari Arab Saudi yang suatu saat nanti
mungkin akan mengalami keterpurukan.
Keputusan untuk menggempur Irak sebagian besar dilakukan secara unilateral sepihak adalah keliru dan menelan biaya yang cukup besar. Clarke; Agains All
Enemies; 258 Peristiwa peledakan bom London, dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden
Amerika, George W Bush, untuk melanjutkan kebijakan perangnya melawan teroris. Propaganda Amerika yang dilakukan selama ini telah berhasil mempengaruhi opini
masyarakat internasional, tentang bahaya ancaman terorisme bagi keamanan dunia internasional sebagai tragedi kemanusian. Kegigihan Bush dalam mempertahankan
kebijakannnya melawan terorisme, terlihat dari pernyataannya pascapeledakan bom London. “Perang terhadap terorisme akan berlanjut. Kami tidak akan menyerah kepada
terorisme. Kami mencari mereka dan mengadili mereka”. Namun, pernyataan tersebut bukanlah hal yang baru, bahkan Bush dituduh membonceng setiap kejadian teror untuk
kepentingan politik Amerika semata. Seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dalam bukunya Pirates and Emperors: Internasional Terorism in the Real World.
Bahwa, Amerika menggunakan isu terorisme sebagai instrumen kebijakan politik luar negerinya. Sehingga, menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk memerangi negara
atau kelompok yang berseberangan dengan kebijakan yang ditempuh oleh Washington.
Universitas Sumatera Utara
18 Disamping itu, reaksi pun bermunculan dari negara-negara yang sudah mendapat
maupun merasa terancam akan aksi para teroris. Berbagai kepala negara dunia mengutuk tindakan oknum yang mengatasnamakan kelompok tertentu sebagai pelaku
dari tindakan teror tersebut. Pengakuan kelompok Al-Qaeda Eropa yang bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut, nampaknya ditanggapi dengan hati-hati
oleh para pemimpin Inggris. Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Menlu Jack Stan, dalam memberikan keterangan tidak mengdiskreditkan dan mengkaitkan kelompok atau
agama tertentu dibalik peristiwa tersebut. Namun demikian, Pemerintah Inggris tetap mengambil langkah politik, mengejar pelaku pemboman untuk membuktikan siapa yang
harus bertanggungjawab dibalik tindakan teror tersebut. Melihat kondisi internasional sekarang ini, yang ditandai semakin maraknya
tindakan teror, membuat banyak negara melakukan perubahan kebijakan nasional melalui strategi pembentukan hukum baru maupun undang-undang anti terorisme untuk
melindungi warga negaranya dari ancaman teroris. Namun, banyak pula dari penguasa memanfaatkan isu tersebut sebagai alat pembenaran untuk menghabisi lawan-lawan
politiknya dengan dalih terorisme. Sehingga, pendefinisian tentang terorisme itu sendiri menjadi kabur.
Di sisi lain tindakan penguasa tersebut didukung pihak Barat terutama Amerika, sebagai perwujudan dari kepentingan politik globalnya untuk mempertahankan
hegemoninya. Seperti yang dikatakan Richard Falk, seorang professor hubungan internasional. Kebijakan luar negeri Amerika menampilkan secara ekslusif kebenaran
menurut mereka, gambaran legal dan moral sepihak, sehingga nilai-nilai Barat seolah paling agung dan ketika merasakan ancaman, mereka tergambarkan sangat lemah,
menderita, yang akhirnya menjadi pembenaran bagi kekerasan tanpa batas.
Universitas Sumatera Utara
19 Masalah terorisme, akan menjadi persoalan yang sensitif karena akan
menimbulkan prasangka atau stereotipe dari tindakan teror tersebut. Terorisme dari sebagian kalangan dianggap merupakan strategi perlawanan akibat dari ketidakadilan
dalam masalah sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum dari pihak penguasa. Jadi, tindakan tersebut sebagai wujud protes dan ketidakpuasan dari perilaku penguasa yang
tertindas. Media massa punya andil besar dalam mempopulerkan isu terorisme, dalam
teori komunikasi, terdapat istilah yang sangat popular. “Siapa yang menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia”. Berdasarkan konsep tersebut, media massa saat ini
mempunyai posisi yang sangat penting bagi semua pihak, karena posisinya mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang membutuhkannya. Sehingga, dijadikan
alat propaganda yang efektif, mengingat dampak yang ditimbulkan dari propaganda tersebut memiliki jangkauan yang luas dalam membentuk opini publik. Akibatnya,
munculnya semacam fenomena, ‘Journalism stereotype’ yang sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam membingkai framing isu atau fakta dengan bingkai
frame yang dipenuhi prasangka, sehingga informasi tersebut cenderung bias dan
bahkan tak jarang keliru dalam memahami terorisme. Sebagai salah satu kasus menonjol di dunia pers akibat dari propaganda yang
dilakukan media, terjadi pengadilan oleh media massa trial by the press terhadap pelaku yang diduga bertanggung jawab terhadap tindakan teror. Hal ini disebabkan
adanya kepentingan ideologis-politik kelompok tertentu, media seringkali melakukan pengadilan terhadap seseorang dengan jalan pembunuhan karakter seseorang character
assassinations. Di mana, asas praduga tak bersalah presumption of innocent menjadi
tidak diperhatikan lagi. Dalam hal ini, penguasa akan menghalalkan segala cara The
Universitas Sumatera Utara
20 end
justifies the means untuk membungkam lawan-lawan politiknya yang dianggap berseberangan. Akibatnya pelaku teror yang dicurigai menjadi korban rekayasa,
konspirasi, disinformasi, dan mispersepsi. Kasus Peledakan bom WTC, tanpa melewati pengadilan, Amerika menuduh
Osama bin Laden dengan Al-Qaedanya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Dengan propaganda tak henti-hentinya, diperkuat sorotan media massa, membuat mata
warga dunia pun menatap tajam eksistensi dan aktivitas kelompok-kelompok Islam. Media massa secara gencar melakukan reportase jurnalistik tantang aktivitas gerakan
Islam. Kesan yang dimunculkan dalam media internasional adalah militansi dan ekstremitas. Akibatnya, muncul Islam phobia di tengah masyarakat dunia. Sehingga,
masyarakat merasa alergi bahkan takut, ketika berinteraksi dengan wacana Islam ideologi. Ketika, masyarakat merasa takut terhadap Islam, maka secara otomatis
masyarakat berupaya untuk tidak mengidentifikasikan diri sebagai muslim. Hal semacam ini akan melahirkan sikap apriori terhadap konsepsi politik Islam dan
menciptakan masyarakat yang termarjinalisasi dan teralienasi secara politis. Tidak sedikit media massa secara sadar atau tidak sudah tergiring genderang
perang propaganda yang ditabuh Amerika. Kasus yang terjadi pada surat kabar New York Time
dan majalah Time, dalam pemberitaan masalah terorisme menunjukkan bias. Jadi, adagium the new source of power is information in the hand of many bahwa
sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang. Nampaknya menjadi kenyataan, media massa telah mampu membentuk opini publik dan tidak dapat
dibendung. Sehingga, bias yang tersembunyi dan disengaja hidden and intended bias sulit dihindari, karena media juga membawa misi dari kelompok kepentingan tertentu
Universitas Sumatera Utara
21 yang beroperasi di balik media, baik dari para elite politik, bisnis atau bahkan elit media
itu sendiri. Haditz:1-20; 2006
2.4 Terorisme Internasional