39 Saddam Husein atas orang Irak sendiri, suku Kurdi, orang Iran dan Kuwait. Seharusnya
media memberitakan semua fakta yang ada. Greta Morris Secara umum, Al-Jazeera berusaha mengikuti norma-norma dan standar
jurnalisme yang standar. Dia cover semua konferensi pers yang diadakan pasukan koalisi maupun Irak. Semuanya ditayangkan dan diterjemahkan dengan bagus sekali,
lebih baik daripada para penerjemah Indonesianya. Sudah pasti Al-Jazeera punya biro yang sangat kuat di London, Washington, Kairo, Baghdad selain di Doha sendiri. Dari
segi prinsip-prinsip jurnalisme dasar, ia memberitakan secara fair. Meski kita tahu cover-both-side itu bukan segala-galanya, karena ketika cover-both-side itu di-print atau
diletakkan dalam satu kerangka tertentu, tentu punya kesan yang berbeda. Ulil Abshar- Abdalla
2.7 Liputan Perang di Media di Indonesia
Pemikir asal AS, Walter Dickman, mengatakan bahwa dalam perang seringkali media bukan menampilkan apa yang terjadi, tapi apa yang dikehendaki publik untuk
terjadi. Ini bukan cuma terjadi di AS, tapi juga di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, katakanlah, pro-Irak. Media di Indonesia menangkap banyak sumber-sumber
berita yang dikutip dan dijadikan headline adalah berita-berita yang menggambarkan kemenangan Irak atau pasukan koalisi yang menjadi pecundang. Saling serang antara
tentara AS dengan Inggris friendly fire diekspos besar-besaran dan seterusnya. Beberapa harian misalnya, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo dan Republika
menurunkan headline soal pesawat helikopter yang canggih, Apache, yang ditembak petani. Melihat foto Apache yang masih utuh tanpa ada kerusakan, mustahil bila Apache
Universitas Sumatera Utara
40 ditembak petani tua yang bersenjata tradisional. Koran Tempo dan Republika juga
memberitakan Brigade Lapis Baja ke-7 tentara Inggris yang dibuat tak berkutik ketika menghadapi pertempuran di Basra. Realitasnya, tidak ada satupun tentara Inggris yang
tewas dalam pertempuran itu. Koran-koran juga sering menampilkan berita serdadu koalisi kelaparan karena ada serangan terhadap konvoi-konvoi yang membawa amunisi
dan perbekalan. Seringnya berita semacam ini dikutip media-media di Indonesia tanpa sikap kritis.
Jurnalisme damai menjadi momentum membangun kesadaran kritis untuk ditunjukkan pada publik dunia. Kalau media nasional tidak meliput langsung dalam
arena perang, mereka bisa menulis features atau liputan humaniora tentang korban perang. Inilah kesempatan media massa melawan perang itu sendiri. Eriyanto
Kondisi riil media Indonesia susah untuk melakukan jurnalisme damai. Media di Indonesia mungkin menolak perang, tapi diam-diam harus diakui bahwa perang ini juga
sudah menaikkan oplah dan rating. Rating TV7 naik tiga kali lipat selama perang ini, demikian pula oplah koran-koran kita. Ada yang mengatakan bahwa oplah media
sekarang rata-rata naik hampir 10.000-an. Orang makin cenderung baca koran, mendengar radio, menonton TV dan mengakses internet untuk memperoleh informasi
soal perang. Media massa juga sulit meliput secara berimbang karena keterbatasan akses menemui pihak-pihak yang berseteru. Media dari AS misalnya, tak punya akses yang
cukup leluasa untuk menemui sumber-sumber di Irak. M Iqbal
Universitas Sumatera Utara
41
2.8 Ideologi oleh Marx dan Engels