terlatih menulis. Karangan-karangannya banyak disukai orang karena sangat menyentuh dan diciptakan hasil pengalamannya sendiri.
Dengan menulis, ternyata membawa berkah bagi dirinya, namanya kian dikenal orang, rezeki pun mengalir bagai air. Berikut kutipannya:
“Sudahlah. Jangan kau pikirkan yang tak mampu kau raih sesudah ini tatalah hidup engkau kembali. Kita bantu Bu
Rohana dan pak Usman yang juga sangat besar jasanya menumpangkan kita tinggal di rumahnya. Kita harus bekerja
lebih keras lagi. Kau teruskanlah cita-cita yang terbengkalai itu. Masuklah kuliah. Kalau ada rezeki saya bantu biayanya
nanti. Dan jangan berhenti kau mengarang. Lahirkanlah karya- karyayang berguna bagi umat. Yang kelak akan kau tinggalkan
dan menjadi amal jariyah bila kau tak ada lagi di dunia ini.”
68
.... Semakin banyak muncul karangan-karangannya yang
baru di surat-surat kabar ataupun majalah. Novelnya merantau ke Padang yang laris manis di pasaran itu, selalu
mendapat cetak ulang berkali-kali. Banyak orang terhipnotis dengan buku ceritanya itu. Ia pun sudah sering dipanggil ke
sana ke mari, mengisi berbagai seminar dan pelatihan tentang tulis menulis. Ia menjadi pujaan banyak orang. Hidupnya
sudah senang sekarang.
69
5. Sistem Mata Pencaharian
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada
dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar. Orang Minang yang menjadi pedagang biasanya
memilih antara tiga lapangan, yaitu, tekstil, kelontong atau rumah makan.
Sebagian lagi dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang
68
Ibid., h. 274.
69
Ibid., h. 308.
mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan. Di samping
hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di pinggir danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan.
70
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang sistem mata pencaharian masyarakat Minangkabau dapat dideskripsikan sebagai berikut: Di
daerah Kajai Pasaman, mata pencaharian penduduk adalah bertani, berladang, menangkap ikan, dan berdagang. Meskipun secara
geografis letak kampung Kajai berada di pegunungan yang jauh dari sentuhan pembangunan layaknya di kota-kota besar namun kedamaian
selalu memberi warna. Alam sangat bersahabat dengan manusia. Penduduk sekitar menghasilkan sendiri apa yang mereka makan
dengan cara bertani, berladang dan keramba ikan. Di Kajai Fikri selalu membantu Mak Bujang bekerja di sawah dan berladang. Dari
berladang Mak Bujang dapat menanam jagung, sayur mayur, serta buah-buahan. Bila datang musim panen, hasilnya akan ia bawa ke
pasar pada hari pekan untuk dijual. Itulah mata pencaharian Mak Bujang dan sebagian penduduk di Kajai dalam menghidupi
keluarganya. Berikut kutipannya: Genap dua bulan sudah Fikri menetap di kampung
Kajai, tanah kelahiran ibunya. Setiap hari kerjanya membantu Mak Bujang turun ke sawah, menyiangi ladang cabai yang
ditanami Mak Tuo di belakang rumah gadang, juga mengurus segala keperluan mamaknya, Mak Safri, yang hidup terpasung
di tengah kebun manggis. Sekali-sekali ia bermain ke pasar, khususnya di hari pekan yang ramai, melihat-lihat segala
dagangan dijual orang. Meski ia tak membeli namun lepaslah segala kesukaan matanya melihat-lihat keramaian orang yang
bermacam tingkah polanya menjual, menawar, dan membeli barang dagangan.
71
....
70
Kuncaraningrat, op .cit. h. 253.
71
Subhan, op. cit., h. 74.
“Mak Bujang tak tampak seharian kemarin, ke mana gerangan beliau, Mak?” tanya Fikri kepada Mak Tuo.
Perempuan tua itu menoleh sejenak, mulutnya bergerak-gerak mengunyah daun sirih.
“Dia pergi ke Talu, hari pekan, jagungnya telah panen” jawab Mak Tuo.
“Oh, iya. Saya juga membantu beliau sehari sebelum itu memetik jagung di ladangnya. Tapi Mak Bujang tak berpesan
akan pergi
ke pekan,
padahal ingin
sekali saya
ikutmembentunya berjualan,seru Fikri pula. ”
72
Di Kajai Pasaman juga terkenal dengan anak sungai Batang Tongar, sungai yang airnya mengalir dari puncak Gunung Talamau.
Anak sungai ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Kajai, karena ikannya yang sangat banyak. Sebagian penduduk menjaring ikan
untuk dijual, ada juga menangkap ikan untuk jadi teman makan sehari-hari. Begitulah kehidupan di kampung Kajai yang permai, dari
alam semua kebutuhan penduduknya terpenuhi. Berikut kutipan: “Demikianlah kehidpan di kampung, semua serba ada
disediakan alam
meski uang
tak mudah
orang mendapatkannya. Di belakang rumah gadang ditanam orang
tumbuh-tumbuhan obat dan bumbu dapur, semisal jahe, cabai, kunyit, umbi-umbian, bawang, jagung, dan segala macam
tumbuhan lainnya. Sungai yang mengalir menjadi sumber rezeki pula, karena banyaklah ikan bersarang di lubuknya,
sawah-sawah yang terhampar luas di lereng-lereng gunung, berundak-undak tempatnya, kuning-kuning pula buah padinya
dikala masak menandakan sangat subur dan makmurnya negeri itu. Buah-buahan begtu pula; manggis, rambutan, pisang,
durian, dan segala buah yang lezat-lezat selalu ada berganti musim. Siapa pula yang tidak betah tinggal di sana? Itulah
yang menentramkan hati anak muda itu.
”
73
72
Ibid., h. 86.
73
Ibid., h. 88.
Tidak hanya di Kajai, penduduk yang mata pencahriannya sebagian besar bertani dan berladang adalah di Koto Baru dan Kayu
Tanam. Karena letak geografisnya di pegunungan yang sangat sejuk, jauh dari keramaian, dan tanahnya subur, maka kampung seperti
Kajai, Koto Baru dan Kayu Tanam sangat cocok untuk bertani dan berladang. Berikut kutipan:
Sesampainya di
Kotobaru semakin
jelaslah pemandangan gunung Marapi yang menjulang tinggi di
sebelah kiri jalan. Gagah nian gunung itu. Bersih tak diselimuti awan. Di kaki gunung itu terhampar sawah penduduk, ladang-
ladang sayur mayur yang tubuh dengan sangat subur.
.... .... Dari kaca jendela bus tampaklah di matanya petani-
petani dengan pakaiannya yang sederhana menyiangi ladang lobak kol yang terhampar luas. Cabai pun sedang dipanen,
merah-merah buahnya.
74
Lain halnya dengan Maninjau. Mendengar nama Maninjau kita tak bisa pisahkan dengan danaunya yang sangat terkenal. Danau
Maninjau yang luas dikelilingi bukit barisan yang tinggi dan diselimuti hutan belantara yang lebat, membuat hati siapa saja yang
pernah menginjakkan kakinya merasa takjub akan pesonanya. Danau Maninjau dijadikan warga sekitar sebagai tambak ikan, inilah yang
menjadi mata pencaharian utama penduduk di sana. Berikut kutipan: Biduk-biduk nelayan mengapung pula di tengah danau.
Di pinggiran danau yang lain, terlihat pula keramba-keramba tempat orang berternak ikan. Lengkaplah segala kekayaan
alam negeri itu di mana orang-orang hidup dan menjaga keseimbangan alamnya. Rugilah kalau danau yang akaya itu
dicemari, dirusak, sehingga hilanglah segala keasriannya.
75
74
Ibid., h. 135.
75
Ibid., h. 128.
Begitu juga sistem mata pencaharian orang Minang yang tinggal di kota Padang. Bagi mereka yang tinggal dekat dengan
gunung, berladang dan bertanilah mata pencaharian mereka, sedangkan untuk yang bermukim dekat laut, sebagai nelayanlah
sumber penghasilan mereka. Hal ini tergambar pada tokoh Pak Usman orang tua angkat Fikri yang menjadi nelayan karena tempat
tinggalnya dekat dengan laut yaitu di Teluk Bayur. Namun mengingat usianya yang sudah tua diputuskannyalah untuk tidak melaut lagi dan
beralih menjadi petani di ladang. Berikut kutipan: “Senang sekali kami jika anak berkenan tinggal di
rumah kami. Anggaplah sebagai rumah sendiri. Suami ku telah tua tapi ia masih melaut tidak baik bagi kesehatannya. Jika
anak berkenan, bantulah ia berladang, agar diputuskannya tidak lagi melaut. Kami punya sedikit tanah di lereng bukit.
Jagung dan rambutan kami tanam
, juga sedikit sayur mayur,” ujar Bu Rohana. Penuh harap.
76
6. Sistem Teknologi