B. Pengarang dan Karyanya
Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980,
berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang
puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh. Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan
menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media
Watch 2000-2003, Harian Mimbar Minang 2003-2004, Harian Haluan 2004-2010. Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia
www.kabarindonesia.com yang berpusat di Belanda 2007-2010, dan
kontributor Majalah Islam Sabili 2008-sekarang. Sejak 2 Maret 2012, ia memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis FAM
Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan
atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah
Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.
Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, di antaranya Lautan Sajadah Kuflet Publishing, 2009, Ponari for
President Malang Publishing, 2009, Musibah Gempa Padang Sastera Malaysia, 2009, G30S: Gempa Padang Apsas, 2009, Hujan Batu Buruh
Kita AJI Indonesia, 2009, dan Melawan Kemiskinan dari Nagari Bappeda Sumbar, 2009, Kado untuk Jepang AG Publishing, 2011,
Fesbuk Leutika, 2012, Menyirat Cinta Hakiki Malaysia, 2012. Saat ini ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang
akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis FAM Indonesia.
1
Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia
jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata
kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain. Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik,
hidupnya memang biasa- biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis,
sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding mading
sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara
dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota Padang.
2
Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang
pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya
cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan
mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan
yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.
3
Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala,
1
Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari 2013 pukul 17.00 WIB.
2
Musriadi Musanif,
“Subhan Obsesi
Menjelajah Dunia
”, 2011,
http:rinaikabutsinggalang.blogspot.com201112jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistik- lalu_08.html
diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB.
3
Ibid.
mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan SKM
Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM
lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian SKH Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media
lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah tidak terbit lagi.
Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di
beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta, Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan
jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil
presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya
menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest
masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal. Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke
Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah Korda Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di
kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang
di berbagai belahan dunia. Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian
Online Kabar Indonesia HOKI yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan
sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang,
tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapa-
siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur
hidupnya. Wartawan, singkatan yang ia panjangkan Wakil Rakyat Tanpa Dewan adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan
orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang
bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di
sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi
motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.
Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka
yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat,
ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh
Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta. Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas
sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan
sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana
dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan
Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk
dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor tema utama dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan
Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya.
4
Ada peristiwa nyata realitas sosial, ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang
Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad
membawa pulang keluarganya ibu dan adiknya ke Padang dari Aceh, terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan
Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan, sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di
Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting
Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang dilakoninya
bertahun-tahun untuk
bangkit dari
keterpurukan dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan
tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi
bernama Rinai Kabut Singgalang.
5
Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca
antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi
hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah
penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat
4
Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca
Muhammad Subhan ”, 2012,
http:rinaikabutsinggalang.blogspot.com201105membaca-novel- rinai-kabut-singgalang.html
diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB.
5
Ibid.
indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas
Muhammad Subhan.
37
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN