Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah- rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri
khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca
tatkala siaran berita wisata. Sungguh tak terbayang ia kalau saat ini tubuhnya telah berada di Ranah Minang yang sungguh
elok pemandangan alamnya.
77
Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku atau kaum tersebut secara turun
temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Hal itu tergambar pada Rumah Gadang yang
ditempati Mak Tuo adalah peninggalan dari kakek-nenek Fikri. Rumah Gadang tersebut diwariskan kepada Mak Tuo karena ia adalah
kerabat dekat dari pihak ibunya Fikri. Mak Tuo yang selama ini menjaga dan merawatnya agar tidak lapuk dimakan usia. Berikut
kutipan: “Fikri, senanglah kami atas kehadiranmu di rumah ini.
Mak Tuo ini adalah kakak dari orangtua Munah, ibumu. Ibu Mak Tuo dengan ibu dari ibumu beradik-kakak. Sedangkan
aku adalah mamak jauhmu yang masih ada kekerabatan dengan ibumu. Rumah gadang ini adalah rumah warisan
kakek-nenekmu yang diamanahkan kepada Mak Tuo untuk menjaganya. Semantara aku tinggal tak jauh dari sini bersama
istri dan seorang anak. Tentu kau ingat kemarin seorang anak laki-laki yang menjemput aku ke sawah, itulah Buyung
putraku,” ujar Mak Bujang.
78
7. Sistem Organisani Sosial
Masyarakat Minangkabau
menganut garis
keturunan matrilineal garis keturunan ibu. Keturunan keluarga dalam
masyarakat Minangkabau terdiri atau tiga macam kesatuan kekerabatan yaitu: paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu
77
Ibid., h. 42.
78
Ibid., h. 57.
keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang bertindak sebagai niniek mamak.
79
Perhatikan kutipan berikut: Melongoklah Fikri ke luar jendela bus dan tampaklah ia
dari kejauhan Gunung Talamau yang disebut bu Aisyah. Ketika memandang gunung itu tersiraplah darahnya. Seolah
ada kekuatan gaib yang menghentak jiwanya. Takjublah ia memandang gunung itu. Selama tinggal di kampung pesisir
Aceh Utara, yang ia lihat hanyalah birunya laut. Tak ada gunung di sana. Namun sekarang tampaklah di kedua matanya
sebuah gunung yang besar, diselimuti belantara yang lebat, di kakinya akan disinggahinya nanti kampung kelahiran ibu
kandungnya. Ya, di kaki gunung itulah ibunya dilahirkan. Ibunya orang Minang. Artinya dia orang Minang pula. Dia
telah mendengar dari pelajaran di sekolah dulu bahwa Minangkabau menganut sistem perkawinan menurut garis
keturunan ibu. Matrilineal kata orang, karena itu garis turunannya mengikuti ibunya.
80
Kutipan di atas menerangkan bahwa Fikri adalah keturunan Minangkabau. Walau ayahnya bukan orang Minang, sebab ayahnya
berasal dari Aceh, akan tetapi ibunya asli Minang. Kampung ibunya terletak di Kajai Pasaman. Jadi, walau ia tidak lahir di Minang, namun
ia tetap pemuda Minang. Karena Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal.
Di Minangkabau kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga yang bertindak sebagai ninik
mamak bagi keluarga. Begitu pula adat dalam perkawinan, seorang anak atau kemenakan sedapat mungkin kawin dengan anak dari
mamaknya, akan tetapi mereka juga boleh menikah dengan orang lain dengan berbeda suku. Dalam Minangkabau ayah dari pihak wanita
maupun laki-laki tidak terlalu memiliki andil dalam prosesi lamaran pernikahan, karena keputusan merupakan hak preogatif dari keluarga
ibu. Keluarga ibu, dalam hal ini diwakilkan oleh ninik mamak yang
79
Kuncaraningrat, op. cit., h. 255.
80
Subhan, op. cit., h. 37.
melakukan negosiasi dengan keluarga calon pengantin untuk memutuskan persyaratan pernikahan. Seseorang dapat dikatakan tidak
beradat bila menyatakan lamaran seorang diri kepada keluarga calon mempelai, karena seharusnya ninik mamak yang datang berunding
untuk pinang meminang. Inilah yang terjadi pada tokoh Fikri, yang saat itu jatuh hati pada Rahima. Fikri memutuskan untuk melamar
Rahima yang diwakilkan oleh sahabatnya Yusuf, karena ia sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Namun, pinangan Fikri ditolak mentah-
mentah oleh Ningsih. Ia dikatakan tidak beradat karena langsung saja datang tanpa ada perundingan dari pihak ninik mamak. Berikut
kutipan: “Saudara Yusuf, terima kasih Saudara sudah datang
kepada kami menyampaikan maksud dan niat Fikri kawan saudara itu. Tapi Saudara kan tahu, ini Minangkabau yang
menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Dalam adat pinang- meminang seharusnya ninik mamak di antara kita yang duduk
bersepakat tentang masalah ini. tapi Saudara langsung- langsung saja menyampaikan kepada kami. Tapi tak apalah,
biar kami coba rundingkan dahulu dengan keluarga kami apa yang sudah Saudara sampaikan itu. Keputusan iya-tidaknya
akan saya kirimkan surat kepada Saudara nanti. Semoga
Saudara dapat memakluminya,” jawab perempuan itu. Sudut matanya melirik kepada suaminya yang ikut tersenyum.
81
Perkawinan juga
merupakan persoalan
yang sering
dipersoalkan dalam hukum adat. Hal ini berhubungan dengan pembatasan yang ada. Seorang wanita yang kawin dengan laki-laki
dari luar akan diusir dari desanya, maksudnya orang luar adalah seseorang yang bukan keturunan Minangkabau. Hal ini pula yang
penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Berikut kutipannya:
81
Ibid., h. 245.
“ .... Hingga suatu hari berkenalanlah ia dengan seorang anak laki-laki pedagang kain yang datang dari Aceh ikut
ayahnya berniaga di Kajai. Itulah ayahmu. Kala itu ayahmu seusiamu sekarang. Masih muda belia, gagah. Ternyata di
antara mereka tumbuh cinta kasih, lalu datanglah kedua orangtua dari ayahmu itu meminang kepada ninik mamak dari
ibumu. Mengharap peruntungan sebagai orang dagang di negeri orang. Tapi keluarga ayahmu ditolak lantaran mereka
miskin dan orang pendatang. Ninik mamak ibumu tidak menerima dengan alasan ada datang pinangan lain dari
kampung sebelah,” ujar Mak Bujang. ....
“Untung tak dapat diraih rugi tak dapat pula ditolak. Pulanglah orangtua dari ayahmu itu dengan rasa kecewa.
Namun, cinta ayah-ibumu tak bisa dipadamkan, ibumu melanggar adat di kampung ini, dan tetap memilih ayahmu,
lalu di suatu hari pergilah mereka berdua meninggalkan rumah dan kampung ini menempuh perjalanan menuju Medan. Tak
seorang pun yang tahu. Dicari orang ke sana ke mari tapi tak jua bersua. Hingga tiba surat diantar orang bahwa ibu dan
ayahmu telah menikah di suatu tepat di Aceh. Atas kejadian itu, jatuh sakitlah kakek nenekmu karena malu menanggung
aib. Beberapa tahun kemudian mereka berdua berpulang ke Rahmatullah..
.”.
82
Kutipan di atas menerangkan bahwa bagaimana adat di Minangkabau sangat mengikat dalam hal perkawinan. Maimunah
sebagai gadis Minang tidak boleh menikah dengan pemuda yang bukan keturunan Minang, karena ditakutkan akan merusak ranji silsilah
keluarga. Akan tetapi, cinta yang membutakan mata Maimunah hingga ia melanggar adat dan lebih memilih kawin lari dengan pemuda
pilihannya itu, yang akhirnya membuat ia terbuang dari kaumnya. Sebagaimana yang menjadi tema dalam cerita ini yaitu kasih yang tak
sampai seseorang yang terbentur adat istiadat.
Sebagai masyarakat yang hidup mengelompok dengan suku-
suku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan
82
Ibid., h. 60.
bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau. Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi
prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan.
83
Budaya rundingan ini tertuang di undang-undang dalam nagari berikut ini:
Barek samo dipikue Ringan samo dijinjiang
Nan ado samo dimakan Nan indak samo dicari
Ka bukik samo mandaki Ka lurah samo manurun
Talantang samo minum aie Tatilungkuik samo makan tanah
Jikok jauah samo maingek Jikok dakek saliang manjalang
Berat sama dipikul Ringan sama dijinjing
Yang ada sama dimakan Yang tiada sama dicari
Ke bukit sama mendaki Ke lurah sama menurun
Terlentang sama minum air Tertelungkup sama makan tanah
Kalau jauh saling mengenang Kalau dekat saling mengunjung.
84
Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat,
upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang
dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan
dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang rundingan juga dilakukan tatkala ingin memasung Mak Safri
yang hilang akalnya ke tengah kebun manggis di hutan. Hal itu dilakukan
83
Syuhendri Datuak Siri Marajo, “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, 2012,
http:minangkabauku.wordpress.com20120214kato-dahulu-kato-batapati diunduh pada hari
Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB.
84
Piliang, op. cit., h. 173.
karena sakit Mak Safri yang semakin menjadi dan membahayakan orang sekitar jika tidak dipasung. Maka dari itu bermufakatlah ninik mamak,
penghulu kaum dan orang kampung agar Mak Safri diasingkan ke hutan. Berikut kutipannya:
“Suatu hari sakit mamakmu itu kambuh dan merusak isi rumah. Hampir pula ditikamnya Mak Tuo dengan pisau
dapur. Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin menjadi,
bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu kaum, dan orang kampung agar ia dipasung saja. Awal mula beberapa orang
tidak setuju, namun mengingat mudharatnya lebih besar jika dia dibiarkan lepas, maka akhirnya musyawarah memutuskan
ia dipasung dan diasingkan ke tengah hutan hingga sekarang. Pondok yang ditempatinya itu orang kampung yang
membangun, aku dan Mak Tuo setiap hari yang menjaganya
dan membawakannya makan minum.”
85
.... “Itu sudah kesepakatan orang kampung. kami tak punya
kuasa. Kalau kata orang kampung dia boleh dilepaskan, kami akan lepaskan. Tapi kalau tidak, maka tak berani pula kami
melanggar adat hasil keputusan mufakat itu,” timpal Mak Bujang lagi.
86
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah