2. Latar
Latar atau setting dalam cerita adalah gambaran dari tempat, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Pada novel Rinai Kabut Singgalang latar cerita secara umum berada di Minangkabau. Muhammad Subhan mendeskripsikan
secara jelas setiap latar dalam ceritanya. Latar yang dijadikan penelitian dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial. Berikut akan diuraikan masing-masing latar tersebut. a.
Latar Tempat Latar tempat yang terdapat dalam novel Rinai Kabut
Singgalang yaitu di Kajai Pasaman, Sumatera Barat. Sebuah kampung berpanorama indah yang terletak di kaki Gunung Talamau.
Dibelah oleh Batang Tongar, sungai berair deras namun banyak ikannya. Kajai adalah kampung kelahiran Maimunah ibunya Fikri
dan di Kajai ia dititipkan amanah oleh ibunya untuk menemui Mak Safri, mamaknya. Berdasarkan letak geografisnya di pegunungan,
maka keadaan kampung Kajai sangat sejuk jauh dari keramaian dan mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Disekitar juga
tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong, sebagai ciri khas rumah adat di Minangkabau. Berikut kutipan:
Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong.
Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di
layar kaca tatkala siaran berita wisata.
4
Latar tempat lainnya terjadi di Padang, tepatnya di Teluk Bayur. Setelah kepergiannya meninggalkan Kajai, Fikri memutuskan
untuk pergi merantau ke Padang agar dapat melanjutkan cita-citanya
4
Ibid., h. 42.
yaitu kuliah. Di Padang ia tinggal bersama induk semang atau orang tua angkat bernama Bu Rohana dan Pak Usman yang diperolehnya
dari Bu Aisyah. Rumah orang tua angkatnya itu di Teluk Bayur, pelabuhan laut yang terkenal itu. Senang betul rupanya kedua orang
tua itu menerima kehadiran Fikri, karena mereka hanya tinggal berdua sementara anak-anaknya sudah berkeluarga semua, maka
dengan kehadiran Fikri dapat membantu pekerjaan orang tua itu. Sejak tinggal di rumah Bu Rohana banyaklah yang dikerjakan Fikri,
apapun yang dapat dikerjakannya ia lakukan dengan senang hati termasuk membantu Pak Usman berladang. Ia juga merasa senang
tinggal di sana karena Teluk Bayur sedikit mengingatkan Fikri akan kampungnya di pesisir Aceh.
Kagumlah ia akan pemandangan yang indah itu. Kampungnya di Aceh memang punya laut, tapi tak ada ia
lihat dermaga pelabuhan sebesar Teluk Bayur. Bertambah lagi pengetahuannya akan pemandangan yang indah.
5
Selain di Minangkabau latar lain yang terdapat dalam cerita adalah di Jakarta. Tokoh Fikri berada di Jakarta saat ia diundang
oleh salah satu penerbit dari Jakarta yang berkeinginan untuk mencetak novel karangan Fikri.
Di dalam perjalanan anak muda itu banyak mendapatkan cerita tentang semaraknya Ibu Kota Jakarta
yang menambah kekagumannya. Selama diperjalanan dari bandara hingga masuk ke pusat kota Jakarta, gedung-
gedung besar dan tinggi menjulang dilihatnya. Jalan raya yang lebar, kendaraan yang sangat ramainya dan seringkali
mereka terjebak macet. Ternyata jauh benar jarak kantor penerbit itu dari bandara.
6
5
Ibid., h. 157.
6
Ibid., h. 288.
Kemudian latar lainnya adalah di Koto Baru, Padang Panjang tempat Fikri menghabiskan sisa hidupnya. Setelah
mengalami lika-liku kehidupan yang penuh onak dan duri sampailah pada saatnya Fikri menjadi orang sukses seperti yang
diimpikannya dulu. Setelah menamatkan kuliahnya hingga menjadi sarjana, ia pun menjadi penulis hebat yang karyanya sangat
dikagumi banyak orang. Kesuksesannya ini yang mengantarkan ia bertemu kembali dengan sang pujaan hati, yaitu Rahima. Sampai
pada akhirnya Tuhan memisahkan keduanya. Fikri meninggal dikarenakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya bersama
keluarga Rahima dari Jakarta ke Padang. Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru,
sempatkanlah singgah
menatap keindahan
Gunung Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah
perbukitan kecil di tengah persawahan yang terbentang luas hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat
saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam
sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam, namanya terukir.
7
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar fisik dapat berupa daerah, bangunan,
kapal, sekolah, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota,
perkampungan, jalan raya, dan sebagainya. b.
Latar Waktu Latar waktu merujuk pada kapan terjadi peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah sebagai berikut:
7
Ibid., h. 392.
1. Pagi
Di halaman sebuah rumah gadang terdengarlah orang menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan
tekunnya mengumpulkan
daun-daun kering
yang berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya
dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak usai subuh telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak
pernah henti meski usianya kian uzur.
8
Pagi-pagi sekali bangunlah anak muda itu setelah semalaman ia tidur dengan sangat lelapnya. Segala penat di
badannya lantaran berjalan jauh hilanglah sudah.
9
2. Siang
Ketika siang datang beristirahatlah ia, berganti tugas dengan
Mak Bujang.
Lalu pamitlah
ia pulang,
membersihkan badan, kemudian menunggu Mak Tuo merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri,
mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin Mak Safri kelak akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan
secara orang sakit.
10
Hari semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak
Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring, digulai dengan cabai hijau kuah santan. Harum benar
aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng yang masih hangat.
11
3. Sore
Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia
suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya. Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata
membasahi kedua pipi Mak Safri. Tapi lelaki itu tidak juga bicara.
12
8
Ibid., h. 85.
9
Ibid., h. 128.
10
Ibid., h. 68.
11
Ibid., h. 90.
12
Ibid., h. 72.
4. Malam
Malam itu tikarpun dbentang orang. Tak cukup di ruang tengah, di serambi pun jadi. Pokoknya para petakziah
tidak memeberatkan, begitu juga orang yang sedang kematian itu tidak meras terbebani. Semua tugas-tugas itu,
mulai dari membentang tikar hingga embuat kopi dan penganan di dapur dilakukan pelayat. Tuan rumah tahu
beres saja. Mereka pun Mahfum bahwa ahlul bait sedang kematian, jadi tidak boleh merepotkan.
13
Pada intinya, penggambaran latar waktu dari pagi, siang, sore, dan malam tersebut merupakan penggambaran tokoh Fikri
selama berada di Kampung Kajai. Di Kajai Fikri mengurus mamaknya yang sedang sakit serta membantu pekerjaan Mak Tuo
dan Mak Bujang yang tak lain adalah kerabat dekat ibunya. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam novel, terlihat
bahwa latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang terjadi pada sekitar tahun 1990 s.d. 2000-an. Perhatikan cuplikan novel
berikut: Di awal tahun 1990-an, Aceh menjadi perhatian
banyak orang. Bukan saja karena negeri itu kaya raya, penghasil gas dan minyak bumi, tetapi juga karena konflik
yang tak pernah berhenti. Media massa nasional dan internasional menyorot Aceh, negeri yang terus banjir
darah, karena perang saudara pecah, walau yang menjadi korban selalu rakyat tak bersalah.
Di tahun-tahun itulah, di masa perang berkecamuk dan tak kunjung usai, remaja itu menghabiskan hari-
harinya. Di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara.
14
....
13
Ibid., h. 9.
14
Ibid., h. 2.
Tanah pusara itu masih merah. Basah. Di atas gundukan tanah kembang ragam rupa yang ditabur
kemarin masih tampak segar, jasad orangtua malang itu telah beristirahat tenang di bawah sana. Di papan nisan
tertulis nama: Munaf bin Jalil, wafat dengan tenang 12- 07-1995.
15
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan Fikri di Aceh pada waktu kanak-kanak hingga ayahnya meninggal dunia.
Berdasarkan kutipan di atas latar waktu terjadi pada sekitar tahun 1990-an, karena ada penunjuk waktu ketika ayahnya Fikri
meninggal dunia pada tahun 1995. Penunjuk latar waktu lain adalah ketika terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004.
Berikut kutipannya: Surat Annisa itu adalah surat terakhir yang
diterima Fikri. Tak ada lagi kiriman surat berikutnya yang datang dari Aceh. Sebab, tanggal 26 Desember
2004, di hari minggu pagi, seluruh daratan Aceh diguncang gempa bumi dahsyat disusul tsunami hebat.
Air laut tumpah ruah ke darat. Menyapu semua rumah, tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu
manusia. Fikri baru dapat menyaksikan tayangan bencana besar itu di televisi beberapa hari sesudah
musibah itu terjadi.
16
c. Latar Sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.
17
Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks
juga diceritakan dalam karya sastra. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
15
Ibid., h. 10.
16
Ibid., h. 195.
17
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, Cet. 5, h. 233.
adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara bersikap, dan lain-lain.
Masyarakat Minangkabau termasuk kelompok masyarakat yang dinamis dan mempunyai kebiasaan
merantau. Pergi merantau ini seakan-akan dapat suruhan atau anjuran keras seperti dikatakan oleh pantun:
Ke ratau madang di hulu Berbuah berbunga belum
Ke rantau bujang dahulu Di kampung berguna belum
18
Kebiasaan merantau ini bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya berkembang pada saat ini saja. Kebiasaan merantau
telah diajarkan nenek moyang sejak zaman dahulu, bahkan telah dimulai sejak kecil. Kadang-kadang pergi merantau ini merupakan
kemestian bagi pemuda-pemuda Minangkabau. Begitu pula yang
dilakukan tokoh Fikri ia pergi merantau ke Padang, setelah ia meninggalkan kampung ibunya di Kajai guna melanjutkan cita-
citanya yaitu kuliah. Berikut kutipannya: Cukup larut juga ketiga orang yang besar kasih
sayangnya di antara mereka itu berbincang-bincang. Banyaklah Fikri mendapat nasihat dari Mak Tuo dan Mak
Bujang di malam itu sebagai bekalnya jika ia telah tiba di Padang nanti. Walau kota itu hanya dapat ditempuh tujuh
atau delapan jam dari Kajai kampung ibunnya, namun cukup jauh bagi seorang anak muda seperti Fikri yang baru
kali itu seumur hidupnya mengadu nasib di negeri orang.
19
Mayoritas masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Agama Islam dalam masyarakat Minangkabau telah menjadi
dasar yang kuat. Hal ini terlihat pada penerapan Islam dalam
18
Lukman Ali, Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, h. 129.
19
Subhan, op. cit., h. 112.
kehidupan sehari-hari. Banyak dari kalangan masyarakat Minangkabau menjalankan ajaran agama Islam dengan taat.
20
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, latar sosial masyarakat yang dominan adalah ketaatan beribadah dan
menjalankan adat serta menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, seperti bertakziah ke rumah orang yang ditimpa
musibah, tolong-menolong antar sesama. Hal itu tergambar ketika Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia banyaklah orang yang
datang melayat serta memberikan bermacam penganan ringan sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang ditimpa
kematian. Berikut kutipannya: Orang berganti-ganti datang melayat dan turut
berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu. Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di
kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam
penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian Mak Safri.
21
3. Sudut Pandang