Aspek Budaya Minangkabau Dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di Sma

(1)

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA

DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Lisa Purnama Sari 109013000090

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013


(2)

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

LISA PURNAMA SARI

Di bawah Bimbingan

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013


(3)

Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tanggal 17 Desember 2013 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 17 Desember 2013 Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan

Dra. Mahmudah Fitriyah ZA., M.Pd. (...) (...) NIP. 19640212 199703 2 001

Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dra. Hindun, M.Pd. (...) (...) NIP. 19701215 200912 2 001

Penguji I

Rosida Erowati, M.Hum. (...) (...) NIP. 19771030 200801 2 001

Penguji II

Dra. Hindun, M.Pd. (...) (...) NIP. 19701215 200912 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D. NIP. 19591002 198603 2 001


(4)

Nama : Lisa Purnama Sari

Nim : 109013000090

Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi :“Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan

Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”

Dosen Pembimbing : Jamal D. Rahman M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, November 2013 Mahasiswa Ybs.


(5)

i

ABSTRAK

LISA PURNAMA SARI, 109013000090, “Aspek Budaya Minangkabau dalam

novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam

Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum., November 2013.

Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Hal itu dikarenakan dalam novel ini terdapat unsur-unsur budaya Minangkabau yang dapat menambah pengetahuan peserta didik terhadap salah satu budaya di Indonesia. Belajar aspek budaya lewat karya sastra adalah upaya pelestarian budaya, karena karya sastra banyak mengandung informasi tentang budaya serta adat istiadatnya.

Metode yang digunakan dalam menganalisis aspek budaya dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang meliputi: 1) sistem bahasa, terdiri dari 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia, satu kosakata Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda, dan dua kosakata bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. 2) sistem pengetahuan, terdiri dari: ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam, dan tahu pada Allah. 3) sistem religi, terdiri dari: kepercayaan masyarakat Minangkabau pada mitos, ketaatan beragama masyarakat Minangkabau dan pengadaan pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem teknologi, terdiri dari: bentuk rumah di Minangkabau, yaitu Rumah Gadang. 5) sistem mata pencaharian, terdiri dari: berdagang, berladang, nelayan, dan bertani. 6) sistem kesenian, terdiri

dari: seni bela diri “pencak silat” dan seni sastra yaitu sebagai penulis novel. 7)

sistem organisasi sosial, terdiri dari: adat perkawinan suku Minangkabau, adat rundingan dalam mencari kata mufakat, dan garis keturunan yang diambil dari ibu (matrilineal).


(6)

ii

ABSTRACT

LISA PURNAMA SARI, 109013000090, "Minangkabau cultural aspects in

Rinai Kabut Singgalang Novel by Muhammad Subhan and Its Implications

for Learning Literature in High School". Department of Indonesian and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher's Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Jamal D. Rahman, M.Hum., November 2013.

This thesis aimed to identify Minangkabau cultural aspects in Rinai

Kabut Singgalang novel which hopefully can be used as learning materials in

the school. This novel elaborates Minangkabau cultural aspects which can improve students’ knowledge about one of Indonesian culture. Moreover, it also can perpetuate the existence of culture because it provides lots of information about culture and tradition.

The method being used for analyzing cultural aspects in Rinai Kabut

Singgalang novel is literature study that used qualitative descriptive method.

Based on the research, it can be concluded that Minangkabau cultural aspects in Rinai Kabut Singgalang includes: 1) Minangkabau language system consists of 13 vocabularies which have synonym in Indonesian language, based on its literary one of Minangkabau vocabulary is anonymous with Indonesian language but may have different conceptual meaning, and two Minangkabau vocabularies which didn’t have any similarities with Indonesian language; 2) system of knowledge which consist of willingness from novel character named Fikri for studying in university; 3) religious system that consist of Minangkabau believe about myth and religious obedience; 4) system of technology that consist of the shape of home in Minangkabau “Rumah Gadang”; 5) occupational system that consist of trading, cultivating, fishing, and farming; 6) art system that consist of martial art “pencak silat” and literary art such as novel writer; 7) social organization system that consist of Minangkabau traditional marriage ceremony, negotiation tradition for reaching an agreement, and heredity which is taken from mother side “matrilineal”.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya karena atas izin dan kasih-karunia-Nya penulis mendapat kemudahan dalam

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel

Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam

Pembelajaran Sastra di SMA”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

Nabi Muhammad Saw yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skrpsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini;

3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini;


(8)

iv

5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen mata kuliah sastra yang membantu dan memberi masukan kepada penulis;

6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;

7. Muhammad Subhan, penulis novel Rinai Kabut Singgalang yang telah memberi semangat dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Ayahanda Amrizal dan Ibunda Letna Mawarni, yang telah mendidik, mendoakan dan memberi semangat pada saat kuliah sampai penulisan skripsi selesai;

9. Adik tercinta Taufik Walhidayat dan Zahrani Adhani Sari, yang memberikan semangat dan doa kepada penulis;

10.Seluruh keluarga penulis yang telah mendoakan dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

11.Sahabat seperjuangan skripsi, Siti Mudzdalifah N. yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

12.Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2009, terima kasih atas pengalaman dan pelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini; 13.Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt. Amin.

Jakarta, November 2013


(9)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORETIS ... . 10

A. Hakikat Antropologi Budaya ... 10

B. Aspek Budaya Minangkabau ... 11

1. Sistem Bahasa ... 13

2. Sistem Teknologi ... 14

3. Sistem Mata Pencaharian ... 16

4. Sistem Organisasi Sosial ... 17

5. Sistem Pengetahuan ... 18

6. Sistem Kesenian ... 18


(10)

vi

C. Hakikat Novel ... 21

D. Pendekatan Objektif ... 24

E. Hakikat Pembelajaran Sastra ... 25

F. Penelitian yang Relevan ... 27

BAB III TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG 29 A. Sinopsis Novel ... 29

B. Pengarang dan Karyanya ... 31

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 37 A. Unsur Intrinsik ... 37

1. Tema ... 37

2. Latar ... 39

3. Sudut Pandang ... 46

4. Alur ... 47

5. Penokohan ... 50

6. Gaya Bahasa ... 54

7. Amanat ... 55

B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang ... 56

1. Sistem Bahasa ... 56

2. Sistem Pengetahuan ... 63

3. Sistem Religi ... 67

4. Sistem Kesenian ... 69

5. Sistem Mata Pencaharian ... 72

6. Sistem Teknologi ... 76

7. Sistem Organisasi Sosial ... 77

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 82

BAB V PENUTUP ... 85


(11)

vii

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta dan karya manusia yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang yang diluapkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi sebuah cerita yang mengandung makna dari pengarang juga merupakan karya sastra. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya dengan bahasa yang indah. Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain.

Istilah prosa sebenarnya dapat menyarankan pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar. Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja perbedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia realitas.1 Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah.

1

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012), Cet. 9, h. 2.


(13)

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Oleh karena itu, bagaimanapun fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik.

Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak pada setiap pelaku. Novel juga melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang penting, menarik dan mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perubahan nasib pelaku. Jika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Secara garis besar novel dibangun dari dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur-unsur intrinsik pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar. Sedangkan unsur ekstrinsik berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Novel Rinai Kabut Singgalang ditulis oleh Muhammad Subhan yang terbit pertama kali pada tahun 2011. Novel Rinai Kabut Singgalang dibangun dengan 32 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Dalam novelnya tersebut Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan


(14)

adat menjadi tema utama dalam novel ini. Ada Maimunah asal Pasaman, Sumatera Barat, yang menikah dengan lelaki Aceh bernama Munaf, lalu tinggal di Aceh. Dari pernikahan itulah lahir tokoh Fikri, tokoh utama novel ini. Namun perkawinan itu ditentang oleh keluarga Maimunah. Fikri kemudian merantau ke Padang. Selanjutnya, muncul pula kisah cinta antara Fikri dan Rahima. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima, terutama Ningsih sang kakak, bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan Fikri orang datang, orang di pinggang yaitu orang yang tidak jelas keturunannya. Pengarang yang dikenal sebagai wartawan ini, tidak hanya berusaha menghadirkan

persoalan kultur, ia juga “mereportasekan” sejumlah tempat di Sumatera

Barat. Maka, lengkaplah ranah daerah itu hadir dan menegaskan latar novel Rinai Kabut Singgalang yaitu di Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Rinai Kabut Singgalang. Dalam analisis terhadap novel Rinai Kabut Singgalang peneliti membatasi pada segi aspek budaya Minangkabau yang ada pada novel tersebut dan implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Alasan dipilihnya masalah budaya Minangkabau ialah karena novel Rinai Kabut Singgalang berlatar di Sumatera Barat atau Minangkabau yang memiliki adat istiadat sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal (matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu).2 Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara',

2


(15)

syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Ini yang menarik untuk diteliti yaitu bagaimana aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel tersebut.

Ada banyak ilmu yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu yang relevan dengan ilmu sastra seperti linguistik, psikologi, antropologi, ilmu sosial atau kemasyarakatan, ilmu filsafat dan sebagainya. Berbagai disiplin ilmu tersebut telah ikut meramaikan panggung sastra dunia, baik dalam proses perkembangan ilmu sastra maupun dalam proses pemberian makna dan penghayatan terhadap karya sastra. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat-masyarakat kuno, dan masalah budaya yang merupakan unsur ekstrinsik karya sastra.3 Kebudayaan adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia, yang hanya diperolehnya dengan belajar dan menggunakan akalnya. Antropologi budaya adalah ilmu yang mempelajari dan mendeskripsi masyarakat Indonesia secara holistik-komparatif mengenai semua unsur kebudayaan (misalnya sistem pengetahuan, organisasi sosial, ekonomi, sistem teknologi, dan religi), dan tidak hanya bahasa dan kesenian saja.4 Dengan latar belakang tersebut maka peneliti menggunakan tinjauan antropologi budaya dalam menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang.

Dalam lingkungan akademik seperti sekolah, pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran penting, dan merupakan suatu bagian dari pelajaran bahasa. Adanya pembelajaran sastra di dalam kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi

3

Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 353.

4

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 14.


(16)

kehidupan manusia. Dengan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui implikasi dari aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini sebagai berikut:

1. Dari segi penceritaan, novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan antropologi budaya.

2. Novel Rinai Kabut Singgalang menggambarkan budaya dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan untuk mengungkapkan berbagai aspek budaya Minangkabau dalam novel.

3. Novel Rinai Kabut Singgalang relevan dengan dunia pendidikan sehingga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan melalui pendekatan antropologi?

2. Bagaimana implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang disampaikan pengarang dalam novel Rinai Kabut Singgalang melalui pendekatan antropologi.

2. Mendeskripsikan implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA.


(17)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pembelajaran bidang bahasa dan sastra. Khususnya tentang aspek budaya dalam novel.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, terkait dengan aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel.

E. Metodologi Penelitian

a. Objek Penelitian

Skripsi ini menggunakan objek penelitian berupa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dengan mengkaji aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut.

b. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan aspek budaya Minangkabau.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini,


(18)

yaitu novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan pada tahun 2013.

b) Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku, atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang aspek budaya Minangkabau, teori fiksi, dan pembelajaran sastra.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu teknik inventarisasi, teknik baca simak, dan teknik pencatatan. Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah data dalam hal ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang yang menjadi sumber data penelitian. Teknik baca simak dilakukan secara seksama terhadap isi novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Teknik ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan informasi yang akurat. Setelah melakukan teknik baca simak. Hasil yang diperoleh dicatat dalam buku. Fokus data yang dicatat berupa unsur intrinsik novel dan aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhamad Subhan.

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Metode analisis isi dimaknai sebagai teknik yang sistematis untuk menganalisis isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia.5 Analisis ini juga bisa diartikan sebagai analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap isi, karya sastra. Dalam karya

5


(19)

sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada pembacanya.

b) Metode Deskripstif

Moleong mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang yang dialami subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain.6 Dalam mengkaji novel Rinai Kabut Singgalang digunakan metode penelitian deskriptif. Hasil analisis data dalam novel disusun sistematis sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

6. Prosedur penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Membaca novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang telah dipilih.

b) Menetapkan novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sebagai objek penelitian dengan memfokuskan

6

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h. 6.


(20)

penelitian tentang aspek budaya Minangkabau dalam novel tersebut.

c) Membaca ulang dengan cermat novel Rinai kabut Singgalang karya Muhammad Subhan untuk mencari dan menandai kata, kelompok kata, paragraf dan wacana mengenai aspek budaya Minangkabau.

d) Mengklasifikasi data, menganalisis data, dan melakukan pembahasan terhadap analisis dengan interpretasi data.


(21)

10 A. Hakikat Antropologi Budaya

Secara harfiah, dalam bahasa Yunani kata antropos berarti

“manusia” dan logos berarti “studi”. Jadi antropologi merupakan suatu disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang umat manusia.1 Secara definitif antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi kultural. Antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.2

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.3 Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari budi pekertinya.4

Ilmu antropologi mencoba memberi jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai makhluk yang hidup dalam kelompok masyarakat. Manusia dilahirkan dalam suatu kelompok dan tanpa warga kelompok itu yang membesarkannya dia tidak dapat melangsungkan

1

T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 1.

2

Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 351.

3

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet. 8, h. 181.

4

Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. 5, h. 31.


(22)

hidupnya.5 Seorang ahli antropologi dapat mendeskripsi etos dari suatu kebudayaan, terutama dengan mengamati tingkah laku dan gaya hidup warga kebudayaan itu, tetapi juga dengan menganalisis sifat-sifat dari berbagai unsur dalam kebudayaan tersebut, baik unsur-unsur fisiknya, seperti wujud dan gaya seni rupa, warna-warna yang secara menyolok disukai oleh sebagian besar warga, maupun unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya lebih rohaniah, seperti tema-tema yang dominan dalam cerita-cerita atau kesusastraan.6 Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur kebudayaan yaitu sistem bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem kesenian, dan sistem religi.7

B. Aspek Budaya Minangkabau

Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal. Dalam sistem ini menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.8

5

Ihromi, op. cit., h. 20. 6

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 40. 7

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 4.

8


(23)

Gejala migrasi (merantau) memang merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau dan sekaligus tradisi lama. Menurut Windstedt sejak abad XIV sudah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Minangkabau di semenanjung Melayu.9 Di Indonesia dari dahulu orang Minang terus-menerus berpindah, dan dewasa ini masih berpindah secara berkelompok menuju daerah-daerah lain, tempat mereka dengan mudah dapat memulai usaha perdagangan atau membuka rumah makan. Kedua jenis usaha itu memang yang paling mereka gemari.10

Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial. Kehidupan masyarakat Minang dikuasai oleh sistem suku; satu suku beranggotakan semua individu yang merasa memiliki nenek moyang yang sama. Dalam sistem itu, ladang dan sawah merupakan milik keturunan garis wanita, yang dianggap sebagai pelindung tanah serta bertanggung jawab atas penggarapannya. Secara ekonomi dan sosial seorang anak menjadi anggota suku ibunya.11 Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.

Pada masyarakat Minangkabau, harta pusaka diturunkan secara kolektif kepada anggota kaum dalam garis kekerabatan yang matrilineal. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan waris yang diatur oleh hukum Islam. Menurut ketentuan hukum Islam, harta diturunkan kepada ahli

9

Rahayu S. Hidayat, Tata Bahasa Minangkabau, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 1998), h. 8.

10Ibid ., h. 9. 11Ibid


(24)

waris secara individual. Dan berdasarkan sistem kekerabatannya yang bilateral, harta warisan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Dari kedua ketentuan yang berbeda tersebut, dicoba untuk mencari pertautan yang dapat ditarik di antara keduanya.12

Aspek budaya Minangkabau meliputi:

1. Sistem Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Berbicara tentang suku bangsa Minangkabau dan kebudayaannya, sama halnya dengan berbicara tentang banyak suku bangsa lain di Indonesia, kita tak dapat mengabaikan perubahan yang telah berjalan sejak beberapa lama itu dan yang telah menghilangkan homogenitas yang dulu ada. Masing-masing orang Minangkabau dahulu, hanya mempunyai kesetiaan pada nagari mereka sendiri, dan tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang dari nagari A yang tinggal di nagari B, akan dianggap sebagai orang asing.

Meski begitu orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama, yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu.13 Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh jadi merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek

12

Gultom, op. cit., h. 94. 13

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liska fariska Putra, 2004), Cet. 21, h. 249.


(25)

saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu umumnya dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan mengubah bunyi-bunyi tertentu saja. Perhatikanlah contoh-contoh berikut ini: jua „jual‟, taba „tebal‟, lapa „lapar‟, saba „sabar‟, takuik

„takut‟, sabuik „sebut‟. Kalau orang mencoba mengadakan perbedaan di antara orang-orang Minangkabau, maka perbedaan itu biasanya dihubungkan dengan perbedaan dialek yang ada dalam bahasa Minangkabau. Secara garis besar, daerah pemakaian bahasa Minangkabau dibedakan dalam dua daerah besar, yaitu daerah /a/ terdapat di pasisie (pesisir) Sumatera Barat seperti Pariaman dan kota Padang dan daerah /o/ terdapat dibagian darek (darat) yaitu di Bukittinggi, Pasaman, Solok dan Batusangkar. Perhatikan contoh berikut ini:

Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/

Penat panek ponek

Apa a ano

Mana ma mano

Lepas lapeh lopeh

2. Sistem Teknologi

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Dalam teknik tradisional, sedikitnya 8 macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam


(26)

mesyarakat kecil yang pindah-pindah, atau masyarakat petani di daerah pedesaan. Ke-8 sistem peralatan itu adalah:14

a) Alat-alat produksi b) Senjata

c) Wadah

d) Alat untuk membuat api

e) Makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu f) Pakaian dan perhiasan

g) Tempat berlindung dan rumah h) Alat-alat transportasi

Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau contohnya, yaitu bentuk desa dan bentuk tempat tinggal. Desa mereka disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari ialah daerah kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Halnya berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang.

Rumah adat Minangkabau biasa disebut Rumah Gadang dan merupakan rumah panggung. Bentuknya memanjang dengan atap menyerupai tanduk kerbau. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa rumah gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat kehormatan.

14

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 23.


(27)

3. Sistem Mata Pencaharian

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

a) Berburu dan meramu b) Beternak

c) Bercocok tanam di ladang d) Menangkap ikan

Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar menjadi petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya adalah mencari ikan.15 Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.

Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang (merantau).16 Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil. Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah

ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk

mendistribusikan hasil bumi mereka.

15

Puri Maulana, “Kebudayaan Suku Minangkabau”, 2013, (

http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabau-kebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa.html) diunduh pada hari Selasa, 2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB. 16

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), h. 1.


(28)

4. Sistem Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.

Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau

diperhitungkan menurut garis matrilieal. Seorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya.

Kesatuan keluarga yang terkecil di Minangkabau adalah paruik (perut). Dalam sebagian masyarakatnya, ada kesatuan kampung yang memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari ketiga macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat genealogis.17

Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi keluarga itu. Istilah mamak itu berarti saudara laki-laki ibu. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih dari luar suku. Di beberapa daerah, seorang hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri, sedangkan di daerah lain orang harus kawin di luar sukunya sendiri. Pada masa dulu ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamaknya (pulang ka anak mamak) atau menikahi kemenakan ayahnya (pulang ka bako) ini disebut perkawinan dalam suku atau nagari.18 Tetapi karena berbagai keadaan pola-pola ini pun mulai

17

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liskafariska Putra, 2004), Cet. 21, h. 255.

18

Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 259.


(29)

hilang, seperti perkawinan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau.

5. Sistem Pengetahuan

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat mementingkan informasi. Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu mengenal dan menerbitkan surat kabar Indonesia. Begitu juga dengan adanya kebiasaan merantau, telah menyebabkan orang Minang menjadi sangat terbuka, menerima berbagai perkembangan keilmuan.

Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan. Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau.

6. Sistem Kesenian

Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Berdasarkan indera penglihatan dan pendengaran manusia, maka kesenian dapat dibagai sebagai berikut:19

19

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 20.


(30)

a) Seni rupa yang terdiri dari seni patung dengan bahan batu dan kayu, seni menggambar dengan media pensil dan crayon, dan seni menggambar dengan media cat minyak.

b) Seni pertunjukan yang terdiri dari seni tari, seni drama, dan seni sandiwara.

c) Seni musik d) Seni kesusastraan

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

Seni bangunan Minangkabau berupa rumah adat Gadang berbentuk rumah panggung yang memanjang terbagi: biliek sebagai ruang tidur, didieh sebagai ruang tamu, anjueng sebagai tempat tamu terhormat. Ciri utama rumah gadang terletak pada bentuk lengkung


(31)

atapnya yang disebut bagonjong yang artinya menyerupai tanduk kerbau.20

7. Sistem Religi

Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Maha Besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam.21 Hal ini tertuang dalam Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran), artinya ajaran-ajaran agama Islam itu memang menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.22 Sejak reformasi budaya pada pertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, di samping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

20

Shina Romandiyah, “Suku Minangkabau”, 2013, (http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/suku-minangkabau/) diunduh pada hari Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15 WIB.

21

Ziya, “Kebudayaan Minangkabau”, 2012, (http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html)diunduh

pada hari Minggu, 3 Februari 2013 pukul 14.00 WIB. 22

Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan, (Yogyakarta: INSISTPress, 2010), h. 11.


(32)

Sebagian masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Sebagian masyarakat Minangkabau percaya dengan adanya hantu, seperti kuntilanak, perempuan penghirup ubun-ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet) yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi Upacara Tabuik, Khitan, Turun Tanah, dan upacara selamatan orang meninggal.

C. Hakikat Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti "sebuah kisah atau sepotong berita".

The novel is fictitious- fiction, as we often refer to it. It depicts imaginary characters and situations.23

Novel adalah karya fiktif- fiksi, seperti yang sudah kita ketehui. Novel menggambarkan imajinasi karakter dan situasi. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan.

23

Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: an Introduction, (New York:Great Britain, 1989) h. 4.


(33)

Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah karya sastra berbentuk prosa yang di dalamnya terdapat unsur-unsur intrinsik. Unsur intrinsik dapat diartikan sebagai unsur-unsur-unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri.24 Unsur intrinsik sebuah novel terdiri dari tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, gaya bahasa, dan amanat. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot.25

2. Latar atau Setting

Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial. Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Dan yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana pengarang memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka melakoni perannya.26

24

Burhanudin Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 23.

25

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), h. 75.

26Ibid ., h. 74.


(34)

3. Sudut Pandang

Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Pengarang menggunakan sudut pandang atau kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih

banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.

c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

4. Alur atau Plot

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur yaitu terrjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. 5. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal.


(35)

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27

7. Amanat

Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat juga dapat diartikan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra atau makna yang disarankan lewat cerita yang ditulis oleh pengarang.28

D. Pendekatan Objektif

Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang

27

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 158. 28


(36)

yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.29

Pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam pendekatan objektif.30 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.

Dalam menganalisis secara objektif, penelitian ini hanya membatasi pada tema, amanat, sudut pandang, alur, penokohan, dan latar atau setting dan gaya bahasa yang ada pada novel Rinai Kabut Singgalang terkait dengan persoalan yang diangkat yaitu tentang aspek budaya Minangkabau dengan tinjauan antropologi.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan.31 Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti

29

Ratna, op. cit., h. 73. 30

Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 24.

31


(37)

dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun SMK).32 Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif.

Pembelajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan dan keindahan. Di samping memberikan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan budaya. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi sumber semangat bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik.33

Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas. Penelitian yang difokuskan pada aspek

32

Dedi Wijayanti, “Pengajaran di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, 2013, (http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB.

33

Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 131.


(38)

budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang diharapkan dapat membuat siswa mencintai dan melestarikan salah satu kebudayaan besar di Indonesia.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu dirasakan perlu sekali meninjau penelitian yang telah ada. Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan, banyak penelitian yang menganalisis novel. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Nindiarti. Skripsi (2012) STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh yang berjudul Analisis Nilai Moral Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Elsa menyimpulkan bahwa secara keseluruhan analisis nilai moral novel Rinai Kabut Singagalang karya Muhammad Subhan ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini tercermin dari moral tokoh utamanya yang sudah baik dan dapat diteladani. Elsa mengelompokkan ada 4 aspek moral yang perlu diteladani yaitu, aspek hatinurani, aspek kebebasan dan tanggungjawab, aspek nilai dan norma, serta aspek hak dan kewajiban. Pesan moral yang disampaikan dalam novel ini yaitu: Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan karena hal itu bisa membuat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari kesalahannya itu.

Penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Riyan Hidayat. Skripsi (2012) STKIP YPM Bangko Jambi yang berjudul “Kajian Emosi Pelaku Cerita dalam Novel Rinai Kabut Singgalang”. Riyan menyimpulkan bahwa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan


(39)

menyajikan emosi yang beragam dari para pelakunya ketika menghadapi suatu permasalahan, yang kemudian bisa ditarik kesimpulan secara positif. Hal ini terlihat pada ditampilkannya tindakan-tindakan yang baik untuk dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Silvia Deswika, Abdurrahman, dan Zulfikarni. Artikel (2011) FBS Universitas Negeri Padang yang berjudul Struktur dan Nilai Religius dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Silvia, dkk. menyimpulkan bahwa dalam novel RKS terdapat tiga nilai religius yang dianalisis yaitu nilai religius dalam lingkup aqidah, syariah, dan akhlak. Secara umum banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan.

Penelitian yang akan dilakukan penulis mempunyai persamaan yang mendasar. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama memakai Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sebagai objek yang akan diteliti. Namun, penelitian ini juga memiliki perbedaan yang mendasar dalam subjek penelitiannya. Yaitu penulis meneliti aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.


(40)

29 A. Sinopsis Novel

Latar novel ini adalah di Minangkabau. Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai orang-datang (orang yang tak jelas adat-istiadatnya). Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamak (pamannya) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat mamak Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh, dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima, utamanya Ningsih (kakak Rahima) bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan; Fikri orang-datang.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantahnya kota Aceh, karena bencana dahsyat yaitu tragedi gempa dan


(41)

tsunami pada tahun 2004. Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Kini Fikri hidup sebatang kara, dan begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Rahima kekasih pujaannya itu telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya Rahima dibawa oleh kakaknya ke Jakarta untuk dijodohkan dengan laki-laki pilihannya. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam dikerak kepedihan.

Beberapa hari Fikri terbaring lemah, karena menanggung derita. Beruntunglah ada sahabatnya Yusuf yang selalu memberikan motivasi sehingga bangkitlah ia agar tetap tegar menghadapi kehidupan. Berkat kesusahan hidupnya dan segala penderitaan yang ia tanggungkan, menghantarkan ia menuju jenjang kesuksesan. Ia menjadi pengarang terkenal, novelnya laris manis di pasaran.

Keberhasilannya itu yang mempertemukan ia kembali dengan Rahima, namun sayang Rahima telah menjanda. Ningsih yang merasa malu pada Fikri, meminta maaf atas kesalahannya dulu yang memutuskan tali cintanya dengan Rahima. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam Fikri.


(42)

B. Pengarang dan Karyanya

Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980, berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh.

Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia (www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam Sabili (2008-sekarang). Sejak 2 Maret 2012, ia memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.

Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, di antaranya Lautan Sajadah (Kuflet Publishing, 2009), Ponari for President (Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Sastera Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh Kita (AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari (Bappeda Sumbar, 2009), Kado untuk Jepang (AG Publishing, 2011), Fesbuk (Leutika, 2012), Menyirat Cinta Hakiki (Malaysia, 2012). Saat ini ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang


(43)

akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.1

Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain. Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik, hidupnya memang biasa-biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis, sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota Padang.2

Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.3

Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala,

1

Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari 2013 pukul 17.00 WIB.

2

Musriadi Musanif, “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, 2011, (

http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistik-lalu_08.html) diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB. 3Ibid


(44)

mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis

dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM)

Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH) Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah tidak terbit lagi.

Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta, Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda) Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang,


(45)

tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapa-siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.

Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat, ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta.

Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk


(46)

dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor (tema utama) dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya.4

Ada peristiwa nyata (realitas sosial), ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh, terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan, sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang dilakoninya bertahun-tahun untuk bangkit dari keterpurukan dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi bernama Rinai Kabut Singgalang.5

Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat

4

Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca Muhammad Subhan”, 2012, ( http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-rinai-kabut-singgalang.html) diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB.


(47)

indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas Muhammad Subhan.


(48)

37 BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel

Untuk menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan diperlukan analisis dari segi unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik tersebut dapat mendekatkan masalah pada penelitian yang akan dilakukan.

1. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Tema cerita yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan adalah tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terhalang adat istiadat. Tema ini tergambar melalui tokoh seorang pemuda bernama Fikri. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang (pendatang), tidak beradat, dan miskin harta. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tinggal di Aceh. Fikri bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Padang. Setelah ayahnya meninggal ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke Padang.

Perjalanan yang ditempuhnya tidak mudah. Ibunya berpesan agar ia terlebih dahulu harus ke tempat asal ibunya di kampung Kajai untuk menemui mamaknya. Setelah sampai di sana ia mendapati mamaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Selama dua bulan, Fikri merawat mamaknya dengan penuh kasih sayang. Tetapi, pada suatu hari terjadi tragedi pembunuhan yang mengakibatkan mamaknya meninggal dunia. Setelah Mak Safri meninggal, kemudian Fikri


(49)

melanjutkan perjuangannya untuk kuliah di Padang berbekal ijazah SMA yang dimilikinya.

“Apa akal saya sekarang, Mak? Tak ada lagi yang dapat saya kerjakan di sini, sementara umur saya masih muda, banyaklah yang dapat saya lakukan di luar sana, terutama

sekolah saya yang belum dapat saya teruskan,” ujar anak muda itu dengan takzimnya. Perasaan sedih akan bercerai dengan kedua orang tua itu juga menyelimuti jiwanya.1

Di Padang Fikri bertemu dengan seorang gadis bernama Rahima dan ibunya, Bu Aisyah, yang sangat baik kepadanya. Timbullah perasaan suka dan cinta yang mendalam pada pemuda tersebut, hingga muncullah tokoh kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua. Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Perhatikan cuplikan novel berikut:

“Apa salah saya? Apakah saya tidak beradat karena saya

tidak mau dijodohkan dengan pilihan kakak yang orang Jakarta itu? Kepada Kak Fikri janganlah kakak memburuk-burukkan dia. Beliau orang baik walau dia seorang miskin-papa. Akhlak dan agamanya terpuji. Dia tidak pernah merendahkan harga diri saya. Pergaulan kami juga sebatas hubungan kakak dan adik. Saya banyak belajar dari dia tentang kesederhanaan. Saya sudah

besar Kak, cukuplah hidup saya diatur...”.2

Duhai, inilah adat di dunia, si miskin-papa hanya dapat meratapi kemalangan hidupnya. Anak muda itu bagaikan pungguk merindukan bulan. Semakin dirindukan semakin jauh saja bulan itu disaput awan. Putus harapan, putus segala impian yang mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta yang baru tumbuh namun orang lain merenggutnya secara kejam. Dipisahkannya ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan dirinya.3

1

Muhammad Subhan, Rinai Kabut Singgalang, (Kediri: FAM Publishing, 2013), cet. 2, h. 110.

2Ibid., h. 239. 3Ibid.


(50)

2. Latar

Latar atau setting dalam cerita adalah gambaran dari tempat, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pada novel Rinai Kabut Singgalang latar cerita secara umum berada di Minangkabau. Muhammad Subhan mendeskripsikan secara jelas setiap latar dalam ceritanya. Latar yang dijadikan penelitian dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Berikut akan diuraikan masing-masing latar tersebut. a. Latar Tempat

Latar tempat yang terdapat dalam novel Rinai Kabut Singgalang yaitu di Kajai Pasaman, Sumatera Barat. Sebuah kampung berpanorama indah yang terletak di kaki Gunung Talamau. Dibelah oleh Batang Tongar, sungai berair deras namun banyak ikannya. Kajai adalah kampung kelahiran Maimunah ibunya Fikri dan di Kajai ia dititipkan amanah oleh ibunya untuk menemui Mak Safri, mamaknya. Berdasarkan letak geografisnya di pegunungan, maka keadaan kampung Kajai sangat sejuk jauh dari keramaian dan mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Disekitar juga tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong, sebagai ciri khas rumah adat di Minangkabau. Berikut kutipan:

Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca tatkala siaran berita wisata.4

Latar tempat lainnya terjadi di Padang, tepatnya di Teluk Bayur. Setelah kepergiannya meninggalkan Kajai, Fikri memutuskan untuk pergi merantau ke Padang agar dapat melanjutkan cita-citanya

4Ibid


(51)

yaitu kuliah. Di Padang ia tinggal bersama induk semang atau orang tua angkat bernama Bu Rohana dan Pak Usman yang diperolehnya dari Bu Aisyah. Rumah orang tua angkatnya itu di Teluk Bayur, pelabuhan laut yang terkenal itu. Senang betul rupanya kedua orang tua itu menerima kehadiran Fikri, karena mereka hanya tinggal berdua sementara anak-anaknya sudah berkeluarga semua, maka dengan kehadiran Fikri dapat membantu pekerjaan orang tua itu. Sejak tinggal di rumah Bu Rohana banyaklah yang dikerjakan Fikri, apapun yang dapat dikerjakannya ia lakukan dengan senang hati termasuk membantu Pak Usman berladang. Ia juga merasa senang tinggal di sana karena Teluk Bayur sedikit mengingatkan Fikri akan kampungnya di pesisir Aceh.

Kagumlah ia akan pemandangan yang indah itu. Kampungnya di Aceh memang punya laut, tapi tak ada ia lihat dermaga pelabuhan sebesar Teluk Bayur. Bertambah lagi pengetahuannya akan pemandangan yang indah.5

Selain di Minangkabau latar lain yang terdapat dalam cerita adalah di Jakarta. Tokoh Fikri berada di Jakarta saat ia diundang oleh salah satu penerbit dari Jakarta yang berkeinginan untuk mencetak novel karangan Fikri.

Di dalam perjalanan anak muda itu banyak mendapatkan cerita tentang semaraknya Ibu Kota Jakarta yang menambah kekagumannya. Selama diperjalanan dari bandara hingga masuk ke pusat kota Jakarta, gedung-gedung besar dan tinggi menjulang dilihatnya. Jalan raya yang lebar, kendaraan yang sangat ramainya dan seringkali mereka terjebak macet. Ternyata jauh benar jarak kantor penerbit itu dari bandara.6

5Ibid

., h. 157. 6Ibid.,


(52)

Kemudian latar lainnya adalah di Koto Baru, Padang Panjang tempat Fikri menghabiskan sisa hidupnya. Setelah mengalami lika-liku kehidupan yang penuh onak dan duri sampailah pada saatnya Fikri menjadi orang sukses seperti yang diimpikannya dulu. Setelah menamatkan kuliahnya hingga menjadi sarjana, ia pun menjadi penulis hebat yang karyanya sangat dikagumi banyak orang. Kesuksesannya ini yang mengantarkan ia bertemu kembali dengan sang pujaan hati, yaitu Rahima. Sampai pada akhirnya Tuhan memisahkan keduanya. Fikri meninggal dikarenakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya bersama keluarga Rahima dari Jakarta ke Padang.

Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru, sempatkanlah singgah menatap keindahan Gunung Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah perbukitan kecil di tengah persawahan yang terbentang luas hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam, namanya terukir.7

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar fisik dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, perkampungan, jalan raya, dan sebagainya.

b. Latar Waktu

Latar waktu merujuk pada kapan terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah sebagai berikut:

7Ibid


(53)

1. Pagi

Di halaman sebuah rumah gadang terdengarlah orang menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan tekunnya mengumpulkan daun-daun kering yang berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak usai subuh telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak pernah henti meski usianya kian uzur.8

Pagi-pagi sekali bangunlah anak muda itu setelah semalaman ia tidur dengan sangat lelapnya. Segala penat di badannya lantaran berjalan jauh hilanglah sudah.9

2. Siang

Ketika siang datang beristirahatlah ia, berganti tugas dengan Mak Bujang. Lalu pamitlah ia pulang, membersihkan badan, kemudian menunggu Mak Tuo merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri, mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin Mak Safri kelak akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan secara orang sakit.10

Hari semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring, digulai dengan cabai hijau kuah santan. Harum benar aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng yang masih hangat.11

3. Sore

Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya. Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata membasahi kedua pipi Mak Safri. Tapi lelaki itu tidak juga bicara.12

8Ibid

., h. 85. 9

Ibid., h. 128. 10Ibid

., h. 68. 11Ibid

., h. 90. 12Ibid


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LISA PURNAMA SARI, yang biasa dipanggil ica adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Jati Murni II Bekasi, kemudian melanjutkan pendidikannya di Mts. Daarul Hikmah Pamulang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMK Sastmita Jaya 1 Pamulang. Setelah lulus dari SMK pada tahun 2009, ia memilih untuk melanjutkan pendidikanya di UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ia memiliki hobi olahraga dan membaca. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, di antaranya menjadi pengajar pada bimbingan belajar SmartGama Pamulang dan pengajar privat SD di rumah. Prinsip hidupnya adalah jangan pernah menyerah pada kegagalan, selalu memotivasi diri untuk jadi yang lebih baik. Karena baginya, motivasi adalah kekuatan untuk terus maju menerjang semua rintangan yang ada untuk meraih apa yang kita inginkan.

Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sedari kecil. Menjadi guru memang bukan pekerjaan mudah. Seorang guru selain harus memiliki keterampilan berbicara, juga diharapkan memiliki kemampuan menyampaikan ilmu dengan cara yang kreatif dan inovatif. Baginya, pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Pendidikan mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari pendidikannya. Maka dari itu penulis ingin menjadi guru yang profesional yang mampu mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas.


Dokumen yang terkait

KONFLIK BATIN TOKOH RINAI DALAM NOVEL RINAI, TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA PADA PEMBELAJARAN Konflik Batin Tokoh Rinai dalam Novel Rinai, Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMK.

0 13 19

KONFLIK BATIN TOKOH RINAI DALAM NOVEL RINAI, TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA PADA Konflik Batin Tokoh Rinai dalam Novel Rinai, Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMK.

0 9 13

PENDAHULIAN Konflik Batin Tokoh Rinai dalam Novel Rinai, Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya Pada Pembelajaran Sastra di SMK.

0 2 5

ASPEK BUDAYA NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA: TINJAUAN SEMIOTIK DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.

8 49 34

ASPEK BUDAYA JAWA DALAM NOVEL “SETITIK KABUT SELAKSA CINTA (SKSC)” KARYA IZZATUL JANNAH : TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA.

3 11 24

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari : Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

0 2 12

PENDAHULUAN Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

2 10 41

JURNAL PENELITIAN Aspek Sosial Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Di SMA.

1 14 16

ASPEK BUDAYA DALAM NOVEL CINTA DI DALAM GELAS KARYA ANDREA HIRATA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Budaya Dalam Novel Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 11