Minangkabau yang bersinonim atau mempunyai arti yang sama dengan bahasa Indonesia.
2. Sistem Pengetahuan
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil,
para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi
guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Orang Minangkabau
haruslah bisa menyesuaikan dan mengembangkan dirinya di manapun ia berada, baik di kampung atau di rantau. Masyarakat Minang juga
dituntut bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal
dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan. Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau juga tidak terbatas di
kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di antara mereka yang pergi merantau.
Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di
Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek ilmu yang empat adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu:
53
a Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang diri
sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri yang diiringi dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab.
b Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang
orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta peduli dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar.
53
Diradjo, op.cit., h. 318.
c Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang alam
di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan dan alam sekitarnya. d
Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan agama dan melaksanakan syariat agama dengan baik sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama. Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang,
sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang diambil dari prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukkan oleh tokoh Fikri. Hal itu
dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut: “Saya akan merantau Bu,” jawab Fikri.
“Lagi-lagi merantau. Ke mana kau hendak pergi?” “Ke Padang.”
“Ke Padang? Sejauh itu? Selama ini kau belum pernah ke mana-mana. Apa yang akan kau kerjakan di kota sebesar
itu?” Lagi-lagi Maimunah meragukan tekad anaknya itu. “Ibu saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah dewasa.
Saya akan berusaha bekerja apa saja asalkan saya dapat kuliah.”
Perempuan itu diam. Ia tentu sudah sangat bosan mendengar kata-kata kuliah yang selalu diucapkan Fikri.
dapatkah anak seorang buruh dan anak tukang cuci meraih gelar sarjana di bangku kuliah? Mungkin demikian pikiran
perempuan itu. Dan di dala hati Fikri menjawab, bisa Ya, ia harus bisa. Ia seorang anak laki-laki. Ia punya tenaga dan
pikiran. Yang lebih berharga dari itu ia punya ijazah SMA yang akan memudahkannya mendaftar di perguruan tinggi.
54
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Fikri memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Demi tercapainya
impian untuk kuliah ia rela pergi merantau ke tempat yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Ini membuktikan bahwa Fikri seorang
pemuda Minang yang mewarisi budaya merantau bagi sebagian masyarakat Minangkabau. Berbagai rintangan dan cobaan yang ia
hadapi dalam meraih cita-citanya itu. Berkat semangat dan
54
Subhan, Op.cit., h. 16.
kegigihannya Fikri dapat menjadi seorang sarjana. Berikut kutipannya:
Berbilang tahun, selesailah sudah segala pelajarannya di bangku perkuliahan. Dia pun dapat kabar lulus dengan
predikat yang menggembirakan; Cumlaude. Betapa senang hatinya, ia telah bergelar sarjana sekarang. Pak Usman dan Bu
Rohana serta Yusuf yang mendengar kabar baik itu tak kurang senangnya. Sujud syukur mereka atas karunia yang diberikan
Allah kepada anak muda itu. Telah sampai cita-citanya, telah sampai impiannya yang ia rangkai sejak merantau dari Aceh
ke Padang beberapa tahun silam.
55
Kutipan di atas menerangkan bahwa sebagai pemuda Minang ia tahu akan tugas dan kewajibannya dalam menuntut ilmu setinggi-
tingginya. Meski ia pemuda miskin tetapi ia mempunyai hak yang sama dengan orang-orang dalam hal menuntut ilmu. Prinsip kedua
yaitu tahu pada orang ditunjukkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar, seperti filosofi Minang yang mengatakan di
mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Maknanya ialah di mana kita tinggal aturan atau adat kebiasaan di sanalah yang kita pakai.
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terlihat pada tokoh Fikri ketika di Padang. Fikri di Padang tinggal bersama induk semang atau
orangtua angkatnya. Fikri tahu menempatkan diri di kampung orang, ia rajin membantu Pak Usman berladang, bila ada waktu senggang
ikut pula ia mengajarkan anak-anak mengaji di surau. Kehalusan budi pekertinyalah yang membuat banyak orang suka padanya. Berikut
kutipannya: Orang-orang di kampung itu pun cepat mengenalnya
lantaran rajinnya ia ke surau salat berjamaah, ikut mengajarkan anak-anak mengaji, dan juga pandai dalam pergaulan sehingga
banyak orang suka kepadanya.
56
55
Ibid., h. 312.
56
Ibid., h. 159.
Prinsip yang ketiga yaitu tahu pada alam. Prinsip ini terlihat pada kearifan lokal di Kampung Kajai yaitu filosofi ikan larangan.
Ikan larangan adalah sebuah kearifan lokal yang dibuat masyarakat Minangkabau dahulu hingga sekarang. Ikan larangan, ikan yang
sengaja dipelihara dan dibiarkan hidup di sungai dan perairan bebas lainnya dan tidak boleh diambil sembarangan, hanya pada musim
tertentu bisa diambil. Hasil panen ikan akan digunakan untuk membiayai pembangunan desa setempat. Berikut kutipannya:
Di beberapa cabang anak sungai, di jembatan- jembatannya terlihat tulisan “Ikan Larangan”. Mulanya ia
heran dengan kalimat itu. Setelah ia tanya pada penumpang yang duduk di sebelahnya pahamlah ia bahwa di anak-anak
sungai itu diternak orang ikan yang dilarang dikail. Hasil panen ikan nantinya akan digunakan orang untuk membiayai
pembangunan masjid, membuat jalan, ataupun meperbaiki rumah gadang kaum yang sudah tiris. Itulah kearifan lokal
yang ia dapat dari filosofi ikan larangan.
57
Prinsip atau ilmu yang keempat adalah tahu pada Allah. Prinsip ini terlihat pada adat kebiasaan masyarakat Minangkabau
dalam kebiasaan mengadakan pengajian bila ada kerabat yang meninggal, ketaatan dalam beribadah masyarakat Minangkabau
dengan menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, mengaji di surau, serta mengadakan pengajian majelis taklim di rumah. Berikut
kutipannya: Usai shalat malam, ia sempatkan kembali tidur hingga
subuh. Selesai shalat subuh ia ambil al-quran dan membaca dengan sangat khusuknya. Terkenang ia masa-masa kecil
dahulu ketika masih mengaji di kampungnya di Aceh.
58
57
Ibid., h. 45.
58
Ibid., h. 292.
Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan atau ilmu tidak hanya didapatkan di lembaga pendidikan
saja melainkan dari alam dan masyarakat bisa didapatkan pengetahuan yang dapat dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan di dunia.
3. Sistem Religi