gulma menggantikan semak-semak dan vegetasi bawah. Selain itu juga akan terjadi proses pembebasan unsur-unsur mineral melalui pencucian atau masuk ke
dalam tanah. Menurut Dove 1988 dalam Purbowaseso 2004 bahwa proses pengabuan
setelah kebakaran merupakan proses pelepasan zat-zat hara yang terdapat di batang, dahan, daun, dan humus ke tanah. Dalam proses tersebut, pada akhirnya
menyuburkan tanah. Kandungan unsur hara terlihat jelas semakin meningkat pada kondisi hutan setelah terbakar Tabel 16. Pada tingkat kebakaran sedang
menunjukkan ketersediaan unsur hara makro P, Ca, Mg, K, dan Na lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan tidak terbakar Tabel 16. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kebakaran sedang memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan seluruh kondisi hutan.
Kemudian, jumlah C-organik semakin tinggi pada kondisi hutan setelah terbakar seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya menunjukkan
kesuburan tanah yang meningkat Tabel 14. Nilai KTK yang semakin tinggi ditunjang oleh beberapa jenis semak belukar yang dapat membantu menyerap
unsur hara di dalam tanah. Sehingga penyerapan unsur hara dalam tanah menjadi lebih maksimal.
Dari keseluruhan pengaruh yang terjadi pada seluruh kondisi hutan terbakar menunjukkan perlu adanya pengelolaan lebih lanjut terhadap kondisi hutan bekas
terbakar. Keterbukaan lahan dan kemasaman tanah menyebabkan pemilihan jenis yang sesuai terhadap rehabilitasi areal bekas terbakar. Menurut Indrawan 2011,
pemilihan jenis untuk penanaman pengayaan yang sesuai dengan keadaan ekologis daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat
berperan dalam keberahasilan tanaman pengayaan yang akan dilakukan. Pada daerah-daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang
dipilih jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan cahaya matahari penuh heliophyt seperti Jabon Anthocephalus cadamba, Macaranga spp,
Trema spp, Sengon Paraserianthes falcataria, Acacia mangium, Eucaliptus spp,
Tectona grandis dan lain sebagainya Indrawan 2011.
5.9.1 Sekat Bakar
Selain itu pengayaan jenis yang dilakukan pada areal bekas terbakar dapat memilih jenis-jenis yang memenuhi syarat-syarat jalur hijau green belt. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya dalam pencegahan kebakaran hutan dengan menggunakan metode manajemen bahan bakar yang salah satu cara utamanya
adalah isolasi bahan bakar berupa pembuatan jalur hijau green belt. Sekat bakar dapat dibuat dengan lebar 60 m pada perbatasan antara areal
Tahura R. Soerjo dengan lahan penduduk Lampiran 53. Sekat bakar dibuat dengan lebar jalan inspeksi sebesar 10 m. Masing-masing sisi jalan inspeksi
dibuat lebar jalur kuning 5 m dan jalur hijau 20 m. Jadi jalur kuning dan jalur hijau mempunyai lebar 25 m terdapat di kiri dan kanan jalan inspeksi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
10 15 10 15 10 10 15 10 15 10
60 m
Gambar 3. Penampang melintang sekat bakar dengan lebar 60 m Keterangan gambar :
: Jalur Kuning : Jalan Inspeksi
: Jalur Hijau
Bila terdapat jurang di lapangan, jalan inspeksi tidak dibuat. Pada areal ini jalur hijau dan jalur kuning lebar 50 m dapat dibuat pada lokasi yang rawan
kebakaran dan berbatasan dengan pemukiman penduduk. Tahura R. Soerjo berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl, sehingga
menurut Indrawan 1987 jenis-jenis tanaman sekat bakar yang sesuai ditanam pada ketinggian 1000 - 1500 mdpl adalah sengon Paraserianthes falcataria,
kaliandra Callyandra calothyrsus, lamtoro gung Leucaena leucocephala, Macadamia hildebrandii
, sono kembang Pterocarpus indicus, asam jawa Tamarindus indicus, Samanea saman, dan puspa Schima walichii. Tanaman
sekat bakar ini harus ditanam setahun sebelum penanaman tanaman pokok, sehingga pada saat akan ditanam tanaman pokok, sekat bakar sudah dapat
berfungsi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kebakaran areal hutan di UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
mengakibatkan penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan. Hanya herba yang memiliki jumlah jenis yang
stabil pada seluruh kondisi hutan. 2.
Keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity H’ menunjukkan bahwa nilai indeks tertinggi pada tingkat semai sebesar 2,20
pada kondisi hutan tingkat kebakaran ringan, tingkat pancang sebesar 3,01 pada kondisi hutan tidak terbakar, tiang sebesar 2,85 pada kondisi hutan tidak
terbakar dan pohon sebesar 2,74 pada kondisi hutan tidak terbakar. Kebakaran hutan menurunkan nilai keanekaragaman jenis pada tingkat pancang, tiang dan
pohon. 3.
Pada tingkat kebakaran sedang, keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity
H’ menunjukkan nilai indeks bentuk pertumbuhan non- pohon tertinggi dimiliki oleh herba dengan nilai sebesar 2,82. Kebakaran
hutan menurunkan keanekaragaman jenis pada sebagian besar bentuk pertumbuhan non-pohon.
4. Struktur hutan pada tiap kondisi hutan memiliki kelas diameter tertinggi yang
berbeda. Kondisi hutan tidak terbakar memiliki diameter hingga ≥ 110 cm,
pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan kelas diameter tertinggi hanya mencapai 60 - 69 cm. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran
sedang kelas diameter tertinggi mencapai 80 – 89 cm, sedangkan pada kelas diameter kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat hanya mencapai 40 –
49 cm. Kebakaran menurunkan nilai kerapatan tingkat tiang dan pohon. 5.
Nilai kerapatan seluruh permudaan pohon mengalami penurunan nilai kerapatan pada kondisi hutan setelah terbakar. Pada kondisi hutan dengan
tingkat tidak terbakar nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masing- masing sebesar 25.100 indha, 1008 indha dan 46,7 indha. Pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran ringan nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masing-masing sebesar 8.433,3 indha, 224 indha, dan 34,7 indha. Pada