Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan

Selain itu dari hasil pengamatan yang didapat, menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan herba merupakan bentuk pertumbuhan tertinggi di seluruh kondisi hutan, kecuali pada kondisi hutan tidak terbakar. Bentuk pertumbuhan herba, semak belukar, paku-pakuan dan liana terdapat pada seluruh kondisi hutan. Bentuk pertumbuhan pandan dan liana berkayu tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat. Sedangkan, bentuk pertumbuhan palem tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat. Bentuk pertumbuhan epifit hanya tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki jumlah jenis bentuk pertumbuhan yang paling mendekati kondisi awal, yaitu kondisi hutan tidak terbakar. Bahkan jumlah jenis bentuk pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang lebih besar daripada kondisi hutan tidak terbakar. Namun pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang bentuk pertumbuhan palem tidak ditemukan sama sekali. Sedangkan, jumlah jenis pada kondisi hutan tingkat kebakaran berat ditemukan lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis semak belukar pada kondisi hutan tidak terbakar.

5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan

Kerapatan tumbuhan merupakan hasil dari pengolahan data analisis vegetasi tiap kondisi hutan. Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan. Hasil dari kerapatan tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerapatan jenis tumbuhan pada tiap kondisi hutan No. Bentuk Pertumbuhan Kondisi hutan TT indha TKR indha TKS indha TKB indha 1 2 3 4 5 6 1 Semai 25.100,0 8.433,3 6.500,0 1.800,0 2 Pancang 1008,0 224,0 784,0 240,0 3 Tiang 46,7 34,7 22,7 4,0 4 Pohon 56,7 8,3 12,7 3,3 5 Herba 178.033,3 244.100,0 221.833,3 254.966,7 6 Semak Belukar 13.666,7 31.933,3 33.700,0 36.700,0 7 Paku-pakuan 4.633,3 26.833,3 1.066,7 6.833,3 8 Liana 1.461,3 48,0 384,0 85,3 Tabel 3 Lanjutan 1 2 3 4 5 6 9 Pandan 21,3 0,0 26,7 0,0 10 Palem 26,7 5,3 0,0 0,0 11 Liana Berkayu 113,3 0,0 1,0 0,0 12 Epifit 203,3 3,3 23,3 0,0 Keterangan: TT Tidak Terbakar; TKR Tingkat Kebakaran Ringan; TKS Tingkat Kebakaran Sedang; TKB Tingkat Kebakaran Berat Berdasarkan Tabel 3, kerapatan jenis pada tiap bentuk pertumbuhan di kondisi hutan yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan kerapatan jenis tiap individu per hektar. Dari seluruh kondisi hutan menunjukkan bahwa kerapatan bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai tertinggi di seluruh kondisi hutan. Jumlah kerapatan jenis tertinggi herba pada tiap kondisi hutan antara lain sebesar 178.233,3 indha pada kondisi hutan tidak terbakar, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 244.100,0 indha, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sebesar 221.833,3 indha, dan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebesar 254.966,7 indha. Nilai kerapatan jenis tertinggi herba berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Pada tiap kondisi hutan memiliki nilai kerapatan jenis terendah yang beragam pada tingkat pertumbuhan. Pada kondisi hutan tidak terbakar menunjukkan bahwa kerapatan jenis terendah dimiliki oleh bentuk pertumbuhan pandan dengan nilai sebesar 21,3 indha. Kerapatan jenis terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ialah epifit sebesar 3,3 indha. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki kerapatan jenis terendah adalah liana berkayu sebesar 1,0 indha. Kerapatan jenis terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ialah pohon yang memiliki nilai kerapatan jenis sebesar 3,3 indha. Dari data tersebut menunjukkan bahwa, penurunan kerapatan pohon dan permudaan terjadi pada seluruh kondisi hutan. Namun, kerapatan kondisi hutan tidak terbakar pada tingkat pohon dan permudaan tidak mengalami penurunan kerapatan yang sama dengan kondisi hutan lainnya. Pada kondisi hutan tidak terbakar, nilai kerapatan tiang 46,7 indha lebih kecil daripada nilai kerapatan pohon 56,7 indha. Hal ini disebabkan penyebaran tingkat tiang yang kurang merata di lapangan sehingga kerapatan tiang tidak seluruhnya terwakili dalam petak pengamatan. Rendahnya nilai kerapatan tiang pada kondisi hutan tidak terbakar dapat disebabkan oleh persaingan tempat tumbuh yang terjadi di lapangan. Selain kerapatan tumbuhan hasil analisis vegetasi menunjukkan frekuensi tumbuhan pada tiap kondisi hutan dalam Tabel 4. Tabel 4. Nilai frekuensi penyebaran tertinggi bentuk pertumbuhan pada tiap kondisi hutan No Kondisi Hutan Bentuk Pertumbuhan Nama Jenis F 1 2 3 4 5 1 Tidak Terbakar Semai Kaliandra Callyandra calothyrsus 0,47 Pancang Pasang Quercus sp. 0,19 Tiang Kemadu Laporetea sinueta 0,05 Pohon Kukrup Engelhardia spicata 0,23 Herba Teh-tehan Eupatorium riparium 0,87 Semak Belukar Sikatan Eupatorium odoratum 0,33 Paku Pakis Doryoteris sp. 0,48 Liana Tebu sawur Polygonum sp 0,27 Pandan Pandan hutan Ophiopogon sp. 0,04 Palem Palem Pinanga coronata dan Rotan Daemonorops sp. 0,01 Liana Berkayu Grunggung Harristonia sp 0,19 Epifit Pakis Sphaerostephnos hirsutus 0,23 2 Tingkat Kebakaran Ringan Semai Kaliandra Callyandra calothyrsus 0,21 Pancang Cemara gunung Casuarina junghuhniana 0,11 Tiang Gmelina Gmelina arborea 0,12 Pohon Pinus Pinus merkusii 0,12 Herba Resap Manisuris granularis 0,59 Semak Belukar Grebes Chromolaena odorata 0,44 Paku-pakuan Pakis Doryoteris sp. 0,33 Liana Tebu sawur Polygonum sp 0,05 Pandan - - Palem Rotan Daemonorops sp. 0,01 Liana Berkayu - - Epifit Pakis pohon Sphaerostephnos hirsutus dan Simbar Asplenium spp. 0,01 3 Tingkat Kebakaran Sedang Semai Kaliandra Callyandra calothyrsus 0,36 Pancang Kaliandra Callyandra calothyrsus 0,16 Tiang Waru Abutilon sp. dan Dadap Erythrina lithosperma 0,04 Pohon Kebek Ficus alba 0,07 Herba Resap Manisuris granularis 0,64 Semak Belukar Genjret Phytolacea dioica 0,39 Paku-pakuan Pakis Doryoteris sp. 0,11 Tabel 4 Lanjutan 1 2 3 4 5 3 Tingkat Kebakaran Sedang Liana Tebu sawur Polygonum sp 0,16 Pandan Pandan hutan Ophiopogon sp. 0,01 Palem - - Liana Berkayu Wali songo 0,03 Epifit Pakis Sphaerostephnos hirsutus dan Simbar Asplenium spp. 0,04 4 Tingkat Kebakaran Berat Semai Cemara gunung Casuarina junghuhniana 0,11 Pancang Cemara gunung Casuarina junghuhniana 0,08 Tiang Kesek dan Gmelina Gmelina arborea 0,01 Pohon Cemara gunung Casuarina junghuhniana 0,07 Herba Teh-tehan Eupatorium riparium 0,29 Semak Belukar Grebes Chromolaena odorata 0,40 Paku-pakuan Pakis Doryoteris sp. 0,40 Liana Tebu sawur Polygonum sp 0,08 Pandan - - Palem - - Liana Berkayu - - Epifit - - Berdasarkan Tabel 4, tiap kondisi hutan menunjukkan nilai frekuensi yang berbeda-beda. Pada tingkat semai hampir tiap kondisi hutan memiliki frekuensi tertinggi dengan jenis yang sama, yaitu Kaliandra Callyandra calothyrsus. Hanya kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat yang memiliki jenis berbeda, yaitu Cemara gunung Casuarina junghuhniana. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang jenis Kaliandra Callyandra calothyrsus merupakan frekuensi tertinggi pada tingkat semai dan pancang. Pada kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran berat, frekuensi tertinggi memiliki jenis yang sama, yaitu Teh-tehan Eupatorium riparium. Kemudian, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran sedang memiliki bentuk pertumbuhan herba dengan frekeunsi tertinggi yang sama, yaitu Resap Manisuris granularis . Bentuk pertumbuhan non-pohon semak belukar memiliki jenis yang sama pada dua kondisi hutan, yaitu kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat. Jenis semak belukar tersebut ialah Grebes Chromolaena odorata. Pada kondisi hutan tidak terbakar yang memiliki nilai frekuensi tertinggi, bentuk pertumbuhan herba nilai frekuensi sebesar 0,87. Sedangkan nilai frekuensi terendah pada kondisi hutan tidak terbakar adalah bentuk pertumbuhan Palem Pinanga conorata dan Rotan Daemonorops sp.. Palem Pinanga conorata dan Rotan Daemonorops sp. memiliki nilai frekuensi yang sama, yaitu 0,01. Lalu pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 0,59. Jenis herba ini ialah Resap Manisuris granularis. Sedangkan, nilai frekuensi terendah sebesar 0,01. Nilai ini dimiliki oleh bentuk pertumbuhan non-pohon, yaitu bentuk pertumbuhan palem dengan jenis Rotan Daemonorops sp. dan bentuk pertumbuhan epifit dengan jenis Pakis pohon Sphaerostephnos hirsutus serta Simbar Asplenium spp. . Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki nilai frekuensi tertinggi ialah Kaliandra Callyandra calothyrsus pada tingkat semai. Nilai frekuensi semai ini sebesar 0,36. Sedangkan, nilai frekuensi terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ialah jenis Pandan hutan Ophiopogon sp. pada bentuk pertumbuhan pandan. Nilai frekuensi Pandan hutan Ophiopogon sp. sebesar 0,01. Nilai frekuensi tertinggi kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat berasal dari bentuk pertumbuhan herba berjenis Teh-tehan Eupatorium riparium sebesar 0,29. Sedangkan, nilai frekuensi terendah berasal dari tingkat tiang, yaitu jenis Kesek dan Gmelina Gmelina arborea . Nilai frekuensi kedua jenis tiang itu masing-masing sebesar 0,01. Nilai frekuensi pada Tabel 4, masing-masing kondisi hutan memiliki nilai frekuensi tumbuhan yang berbeda antara satu kondisi hutan dengan kondisi hutan lainnya. Pada kondisi-kondisi hutan terbakar menunjukkan jenis-jenis yang dapat bertahan pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan lainnya. Sehingga pada kondisi hutan terbakar, jenis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi, dapat bertahan. Selain itu terdapat pula jenis-jenis yang merupakan tanaman dalam rangka reboisasi setelah lahan tersebut terbakar. Jenis tersebut antara lain, Kaliandra Callyandra calothyrsus dan Gmelina Gmelina arborea. Dari masing-masing kondisi hutan bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai frekuensi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis yang paling mudah beradaptasi dengan seluruh kondisi hutan baik sebelum kebakaran atau setelah terbakar adalah jenis bentuk pertumbuhan herba. Karena jenis ini telah ada baik sebelum kebakaran maupun di sekitar areal bekas terbakar.

5.1.3 Dominansi Jenis