semak belukar tertinggi sebesar 58,2 pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran ringan, nilai koefisien liana tertinggi sebesar 89,7
pada perbandingan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat, nilai koefisien pandan tertinggi sebesar 75,0 pada
perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang, nilai koefisien palem tertinggi sebesar 65,0 pada perbandingan kondisi hutan tidak
terbakar dan tingkat kebakaran ringan, dan nilai koefisien epifit tertinggi sebesar 75,8 pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran
sedang. Dari data hasil di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien kesamaan tidak
terlalu tinggi untuk seluruh perbandingan kondisi hutan pada seluruh bentuk pertumbuhan. Hal ini dapat disebabkan kondisi biotik maupun abiotik hutan yang
berubah setelah kebakaran. Berubahnya lingkungan biotik maupun abiotik menyebabkan beberapa jenis yang tidak ditemukan sama sekali di kondisi hutan
lain pada bentuk pertumbuhan tertentu, sehingga nilai indeks kesamaan hanya mencapai nilai 0 .
5.7 Struktur Tegakan
Berikut ini merupakan Tabel 13 yang berisi sebaran diameter tingkat tiang dan pohon berdiameter
≥ 10 cm pada tiap kondisi hutan. Tabel 13. Struktur Tegakan berdasarkan kelas diameter pohon pada tiap kondisi
hutan
Keterangan: TT Tidak Terbakar; TKR Tingkat Kebakaran Ringan; TKS Tingkat Kebakaran
Sedang; TKB Tingkat Kebakaran Berat
Kelas Diameter Kondisi Hutan
TT TKR TKS TKB
10 - 19 cm 140
104 68
12 20 - 29 cm
67 6
20 8
30 - 39 cm 31
3 3
1 40 - 49 cm
9 13
7 1
50 - 59 cm 14
2 4
- 60 - 69 cm
17 2
2 -
70 - 79 cm 9
- 1
- 80 - 89 cm
8 -
1 -
90 - 99 cm 9
- -
- 100 - 109 cm
4 -
- -
110 cm up 2
- -
-
Pada Tabel 13 menunjukkan kerapatan jenis pada kondisi hutan tidak terbakar memiliki nilai tertinggi dibandingkan seluruh kondisi hutan bekas
terbakar. Menurut Kepmenhut No.200Kpts-II1994 Tanggal 26 April 1994 menyebutkan kriteria teknis hutan produksi alam tidak produktif adalah :1 Pohon
inti yang berdiameter minimum 20 cm 25 btgha; 2 Pohon induk 10 btgha; 3 Permudaan alamnya kurang; a anakan alam tingkat semai seedling 1000
btgha, dan atau; b Pohon dalam tingkat pancang sapling 240 btgha; dan atau Pohon dalam tingkat tiang poles 75 btgha.
Kerapatan pohon inti pada kondisi hutan tidak terbakar sebesar 67 indha dan kerapatan tiang sebesar 140 indha. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang
memenuhi kriteria hutan produktif hanya kondisi hutan tidak terbakar. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan yang memenuhi salah satu kriteria
hutan produktif, yaitu kerapatan tiang yang mencapai 104 indha. Namun, nilai kerapatan tiang tersebut tidak dapat memenuhi kriteria hutan alam produktif.
Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat memiliki nilai kerapatan pohon inti masing-masing sebesar 20 indha dan 8 indha. Sedangkan,
nilai kerapatan tiang pada kondisi hutan tingkat kebakaran sedang dan berat masing-masing sebesar 68 indha dan 12 indha. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat termasuk dalam kriteria hutan alam tidak produktif.
Secara lebih jelas hubungan antara nilai kerapatan individu dan kelas diameter dapat dilihat dalam Gambar 2.
a b
b d
Gambar 2. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada kondisi hutan : a Tidak terbakar; b Tingkat kebakaran ringan; c Tingkat
kebakaran sedang dan; d Tingkat kebakaran berat. Berdasarkan Tabel 13, Gambar 2 menunjukkan struktur vegetasi pada tiap
kondisi hutan dengan kelas diameter yang berbeda. Menurut Daniel TW 1995, pada tegakan tidak seumur distribusi frekuensi jumlah pohon menurut kelas
diameter membentuk kurva “J” terbalik, yang bila diproyeksikan pada kertas semi logaritmis menghasilkan garis lurus. Pada setiap kondisi hutan menunjukkan
fluktuasi nilai kerapatan di setiap kelas diameter yang secara keseluruhan membentuk huruf “J” terbalik. Pada kondisi hutan tidak terbakar menunjukkan
penurunan jumlah individu pada kelas diameter 40-49 cm, penurunan jumlah individu per hektar menjadi 9 indha. Pada kelas diameter selanjutnya, jumlah
individu per hektar kembali mengalami kenaikan pada dua kelas diameter secara berurutan dan perlahan jumlah individu per hektar mengalami penurunan pada
dua kelas diameter secara berurutan. Penurunan jumlah tersebut tidak berlangsung hingga kelas diameter tertinggi, yaitu 110 cm up. Pada kelas
diameter 90-99 cm jumlah individu per hektar mengalami kenaikan walau hanya 1 indha, lalu menurun pada kelas diameter selanjutnya. Kondisi hutan tidak
terbakar merupakan kondisi hutan dengan kelas diameter tertinggi hingga mencapai 110 cm up.
Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ditemukan pula fluktuasi di pertengahan kelas diameter, yaitu kelas diameter 40-49 cm. Pada
kelas diameter tersebut terjadi kenaikan jumlah individu per hektar hingga 10 indha. Kenaikan tersebut diikuti dengan penurunan nilai kerapatan yang sangat
drastis pada kelas diameter selanjutnya menjadi 2 indha. Kondisi hutan ini hanya memiliki kelas diameter tertinggi sebesar 60-69 cm. Kondisi hutan dengan
tingkat kebakaran sedang memiliki kelas diameter tertinggi yang lebih besar dibandingkan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 80-89 cm.
Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ditemukan penurunan jumlah individu per hektar yang cukup drastis pada kelas diameter 30-39 cm.
Setelah kelas diameter tersebut, jumlah individu mengalami kenaikan menjadi 7 indha, kemudian mengalami penurunan jumlah individu per hektar secara
bertahap. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat merupakan kondisi hutan yang memiliki kelas diameter terendah dibandingkan seluruh kondisi hutan.
5.8 Sifat Kimia Tanah 5.8.1 pH Tanah