Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

Dari wawancara dengan salah satu masyarakat atau nelayan 7 ditemukan informasi bahwa, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap bom di wilayah terumbuh karang dan pemanfaatan terumbuh karang sebagai fondasi bangunan untuk rumah penduduk. Hal ini berbeda dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi padang lamun dimana terdapat 50.0 persen responden menyatakan baik dan 19.8 persen menyatakan sangat baik hal ini disebabkan karena pemanfataan atas sumberdaya ini masih kurang oleh nelayan. Data di atas menunjukkan nilai yang sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu yaitu Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Luwu tahun 2010, yang menunjukkan nilai sumberdaya terumbu karang yang masih baik hanya 1.731 ha atau 10 persen, sedang 4.327 ha atau 25 persen dan11.252 ha atau 65 persen dinyatakan rusak. Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat secara sadar mengatahui bahwa tingkat sumberdaya pesisir yang selama ini mereka manfaatkan telah mengalami banyak kerusakan. Kesadaran masyarakat ini, pada dasarnya memberikan peluang bagi pelibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan jika dalam proses perencanaan masyarakat dilibatkan secara aktif. Dengan pengetahuan masyarakat tentang kondisi kerusakan sumberdaya pesisir jika dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan perlindungan kawasan atau pengendalian kerusakan akan lingkungan masyarakat akan lebih bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Selain mengukur persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir juga dilakukan analisis terhadap partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.

5.3.2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

7 Hasil wawancara dengan Dawalang. Dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 di Dusun Biru, Kelurahan Larompong, Kecamatan Larompong. Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yaitu pemanfaatan terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat yaitu keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum. Menurut Hardjasoemantri 1993 bahwa perlu terpenuhi syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna antara lain: 1 Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. 2 Informasi lintas batas transfortier information, mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting, 3 Informasi tepat waktu timely information suatu proses peran masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum keputusan terakhir diambil. sehingga masih adan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan, 4 Informasi yang lengkap dan menyeluruh comphrehensif information walau isi dari suatu informasi akan berbeda tergantung keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegiatan secara rinci termasuk alternati-alternatif lain yang dapat diambil, 5 Informasi yang dapat dipahami. Seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berikut ini tingkat partispasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu Gambar 6. Gambar 6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan terumbu karang sangat tinggi dimana ada 49.5 persen responden yang menyatakan tinggi dan 28.1 persen yang menyatakan sangat tinggi, sama halnya dengan pemanfaatan mangrove yang menunjukkan bahwa 46.7 persen yang mengatakan sangat tinggi dan 26.7 persen responden yang menyatakan tinggi. Berbeda dengan sumberdaya padang lamun dimana 53.8 persen responden menyatakan rendah dan 20.0 persen menyatakan sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat tidak cukup memberikan penekanan pada upaya pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum memiliki konstribusi terhadap pengendalian kerusakan lingkungan. 5.3.3. Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Dari hasil analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbuh karang ditemukan bahwa tingkat kerusakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu mencapai 73.1 persen untuk terumbu karang dan hutan mangrove mencapai 60.5 persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sangat tinggi mencapai 77.6 persen untuk pemanfaatan terumbuh karang dan 73.4 persen untuk tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan mangrove. Hal ini menimbulkan persoalan bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Dengan tingkat partisipasi yang sangat tinggi, masyarakat dan pihak swasta perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari pihak pemerintah daerah. Penggunaan alat tangkap yang merusak keberlanjutan sumberdaya terumbu karang perlu untuk segera ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan yang lebih intensif. Selain itu dengan berkurangnya area hutan mangrove akibat pembukaan lahan tambak yang sangat massif maka pemerintah daerah seharusnya mampu merumuskan aturan tentang pengendalian kerusakan lingkungan dan penetapan kawasan lindung. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dengan melihat hasil analisis diatas yaitu keberadaan peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu belum terlaksana secara baik dan terdapat kesalahan pada tingkat penerapan. 5.3.4. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat maka dilakukan analisis terhadap persepsi masyarakat terhadap perda tersebut. Analisis ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan kuesioner terhadap 210 dua ratus sepuluh masyarakat atau nelayan yang berada di 7 tujuh kecamatan yang berbeda masing-masing 30 tiga puluh orang tiap kecamatan. Dari wawancara mendalam dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD juga ditemukan bahwa keberdaan peraturan daerah tersebut belum banyak diketahui masyarakat, bahkan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD sendiri peraturan ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap penerapan dan pelaksanaannya di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Gambar 7 berikut menunjukkan persepsi masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Gambar 7. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa 77.6 persen responden tidak mengetahui keberadaan peraturan daerah tersebut dan hanya 22.4 persen responden yang mengatakan mengetahui. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum diketahui oleh masyarakat. Dengan tingginya ketidaktahuan masyarakat maka dapat pula diasumsikan bahwa sosialisasi peraturan daerah tersebut tidak berjalan, dan sebelum peraturan ini diterapkan tidak dilakukan penguatan terhadap posisi kelompok kelembagaan masyarakat lokal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, bahwa ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak mengtahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Para pembuat kebijakan pada umumnya hanya menggunakan sistem nilai dan keyakinan mereka sendiri, atau mengundang msyarakat dalam proses pembaruan kebijakan sebagai persyaratan partisipasi publik. Mereka memaknai hal itu sebagai cara atau teknologi baru dalam pembuatan kebijakan, tanpa memahami arti penting mengubah cara pandang menuju kesejajaran pemerintah-rakyat dalam pembuatan keputusan sebagai landasan filosofis proses partisipasi tersebut. Dikatakan pula bahwa kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah yang memang mampu melaksanakannya. Birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah memiliki pola modern, dan terdiri dari kumpulan putra-putri terbaik bangsa. Namun, birokrasi yang cenderung mapan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan yang pesat pada berbagai bidang diluar lingkungan mereka. Birokrasi yang di masa lalu paling mengetahui bidangnya well informed, kini justru jauh tertinggal dari dunia usaha dan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Karena itu timbul kesan bahwa birokrasi berjalan lamban dan cenderung mengutamakan prosedur daripada substansi. Birokrasi tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public services dengan harga dan kualitas bersaing jika dibandingkan dengan apa yang dapat dilakuakan masyarakat Kartasasmita 1996 dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006. Dalam beberapa pendekatan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat, 1 Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, 2 Mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan 3 Berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian sebuah kebijakan. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 bahwa pemerintah pada dasarnya mendapat mandat dari negara untuk mengendalikan pengelolaan sumberdaya alam dan bertanggung jawab atas pelestariannya. Namun mandat itu mendapat pandangan dikalangan birokrasi bahwa kewenangan mereka merupakan hak mutlak. Pandangan seperti ini sering terjadi dalam era otonomi daerah. Akhirnya menyebabkan penyusunan Perda yang seharusnya melibatkan multipihak yang memungkinkan pertukaran informasi yang lebih dalam dan dapat mempengaruhi keputusan tidak terjadi. Sejalan dengan itu menurut Satria 2009b bahwa salah satu persoalan yang seringkali muncul dari setiap formulasi perundangan adalah siapa yang diuntungkan. Dari sekian stakeholder nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu mengartikulasi aspirasi dan kepentingan sehingga dalam interaksi politik proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan. 5.3.5. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam SDA dan lingkungan hidup diakibatkan salah satunya oleh adanya kegagalan kebijakan lack of policy sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan lack of policy terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan sumberdaya alam SDA dan lingkungan. Artinya bahwa, pada kebijakan tersebut terjadi kesalahan asumsi yang menyebabkan lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan idealnya harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab dan turut berperan serta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Gambar 8 menunjukkan tingkat keterlibatan stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu. Gambar 8 . Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam Perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat daerah DPRD memiliki tingkat keterlibatan paling tinggi yaitu 57.1 persen sangat aktif, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat LSM 50.0 persen sangat aktif, pemerintah daerah 33.3 persen sangat aktif dan 33.3 persen menunjukkan aktif dan perguruan tinggi 50.0 persen. Diagram ini juga memperlihatkan tingkat keterlibatan Masyarakat yang sangat rendah yang hanya mencapai 4.5 persen dan Swasta yang tidak terlibat aktif dalam perumusan perda tersebut. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan daerah tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya pelibatan masyarakat belum dilakukan pada tingkat perumusan kebijakan, dan masyarakat masih diposisiskan sebagai objek kebijakan. Kenyataan ini mengakibatkan secara nyata partisipasi masyarakat terhadap pemahaman peraturan sangat rendah dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pelestarian sumberdaya menjadi sangat kecil. Dari data di atas juga dapat disimpulkan bahwa Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir masih memposisikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi bukan subjek dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Hasil analisis ini sejalan dengan pendapat Satria 2009b yang menyatakan bahwa salah satu cirri nelayan kecil small scale fisher adalah tidak adanya kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga masyarakat atau nelayan terus berada dalam posisi dependen dan marjinal. Terlihat bahwa faktor kapital menjadi sangat dominan dalam menentukan posisi nelayan. Semakin besar penguasaan kapital maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengkaji persoalan hukum pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tidak terlepas dari peran stakeholder yang beragam kepentingan, latar belakang sosial, status ekonomi,maupun sosial- politik selalu menciptakan konflik kepentingan. Dari sekian stakeholder yang beragam tersebut, nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya sehingga dalam interaksi politik proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, bahwa Perda sebagaimana juga undang-undang, merupakan produk politik. Dengan demikian aspek baik atau buruk suatu perda mencerminkan kualitas dari suatu proses politik. Kualitas perda ditentukan oleh perimbangan kekuatan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi politik didalamnya. Selanjutnya dikatakan bahwa; 1 Perda sebagai naskah hukum merupakan pengejawantahan dari policy narrative uraian kebijakan yang dapat menjadi tidak berarti apabila posisi dan kekuatan pihak-pihak bergeser kea rah yang berlawanan dari tujuan perumusan perda itu sendiri, 2 Perda semestinya dianggap sebagai instrumen kebijakan dan bukan hasil kebijakan. Inisiatif untuk menyusun Perda bukanlah akhir dari suatu tindakan, melainkan proses antara untuk menentukan arah tujuan yang telah ditetapkan, 3 Kegiatan perumusan kebijakan bukanlah penyusunan naskah Perda. Kegiatan penyusunan naskah Perda adalah bagian kecil dari penguatan modal sosial yang tidak senantiasa dapat ditentukan waktunya karena kan berevolusi sesuai dengan factor ekonomi, sosial, budaya, maupun peran lembaga yang sangat kompleks. 5.3.6. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan salah satu cara untuk menghasilkan informasi tentang aktor yang relevan, memahami perilaku mereka, kepentingan, agenda, dan pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan Brugha dan Varvasovsky, 2000. Selain melihat tingkat keterlibatan stakeholder dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir, penelitian ini juga menganalisis tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Gambar 9 berikut ini menunjukkan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Gambar 9. Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Sumber : Hasil analisis, 2011 Diagram ini menunjukkan bahwa stakeholder kunci Key players adalah Dinas Kelautan dan Perikanan DKP, Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Swasta, yang merupakan stakeholder yang harus dipersiapkan untuk menjadi aktif, karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi atas fenomena tertentu, Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah Context setters. Bapedalda dan masyarakat atau nelayan Subjects adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Meskipun mereka mendukung, mereka tidak memiliki kapasitas untuk menimbulkan perubahan. Mereka mungkin menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lain. Mereka ini sering merupakan stakeholder marjinal yang perlu diberdayakan. Sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat LSM, Bagian Kelembagaan Masyarakat BKM, Perguruan Tinggi PT dan Bagian Pemerintahan Crowd merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Selanjutnya peta keterkaitan antara stakeholder ditunjukkan pada Table 7 . Dari analisis Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu pada Gambar 9 ditemukan bahwa posisi masyarakat yang sesungguhnya memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir masih dalam posisi subjek yang tidak dapat mempengaruhi kebijakan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat belum mendapat hak dan tanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Masyarakat atau nelayan perlu untuk di posisikan bukan hanya sebagai objek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir melainkan juga menjadi subjek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir baik dari aspek pelibatan dalam perencanaan maupun dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Menurut Robbin 2004 dalam Satria 2009b bahwa pendekatan yang berpusat pada pelaku actor oriented berpijak pada politicised environment memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi sehingga masalah lingkungan bukanlah masalah teknis pengelolaan semata. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor yaitu 1 Biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, 2 Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan ekonomi, 3 Dampak sosial-ekonomi yang bebeda dari perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hubungansatu aktor dengan aktor yang lain. Table 6 menunjukkan relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu. Tabel 6. Relasi antara Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu. Stakeholder Bappeda Bapedalda DKP Bagian Hukum Bag. Pemerintahan Bag.BK M DPRD Swasta LSM PT Masy Nelayan Bappeda RL RK RL RL RL RK RL RL RK TR Bapedalda RL RK RL RL RL RL RL RL TR Dinas Perikanan dan Kelautan DKP RL RL RL RL RL RL RL RL Bagian Hukum RL RK TR TR TR RL RB Bagian Pemerintahan RL TR TR TR TR TR Bagian Kelembangaan Masyarakat BKM TR TR RK TR RL DPRD RK RB RL RL Swasta RB RL RL LSM TR RL Perguruan Tinggi PT RL MasyarakatNelayan Sumber : Hasil analisis, 2011 Keterangan : RK = Relasi Kuat RL = Relasi Lemah RB = Relasi Berlawanan TL = Tidak ada Relasi Table 6 menggambarkan bahwa Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan DKP, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Perguruan Tinggi PTmemiliki relasi kuat. Selain itu relasi kuat di tunjukkan pula pada hubungan antara DPRD dan pihak Sawasta serta relasi kuat juga dapat dilihat pada antara relasi antara Bagian Kelembagaan Masyarakat dengan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dalam hal ini LSM KTNA. Selanjutnya relasi lemah dapat dilihat pada relasi antara BKM dengan nelayan dan DPRD dengan nelayan hal ini menunjukkan bahwa fungsi pemerintah daerah khususnya bagian kelembagaan masyarakat dan pengawasan DPRD belum berjalan sebagaimana mestinya. Peta relasi antar stakeholder ini secara umum menunjukkan bahwa posisi stakeholder dalam hal ini nelayan masih sangat lemah dalam hal akses terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di kabupaten Luwu. Menurut Nurmalasari 2008, bahwa ada dua pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat yaitu pendekatan struktural dan pendekatan subyektif. Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu, penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus menerus menempatkan masyarakat pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut : 1. Pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumberdaya alam. Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan sustainable. 2. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda. Pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan. 3. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi. Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. 4. Pengembangan kapasitas kelembagaan. Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut 5. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai nelayan. 6. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait stakeholder, baik jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Selanjutnya pendekatan subyektif non struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu : 1 Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, 2 Pengembangan keterampilan masyarakat, 3 Pengembangan kapasitas masyarakat, 4 Pengembangan kualitas diri, 5 Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta 6 Penggalian pengembangan nilai tradisional masyarakat.

5.3.7. Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi Stakeholder