yakni 1 Sumberdaya yang dapat pulih renewable resources, 2 Sumberdaya tidak dapat pulih unrenewable resources, 3 Energi lautan dan 4 Jasa-jasa
lingkungan kelautan environmental services. Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove,
terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut marine culture. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambanggalian,
minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC ocean thermal energy convertion, pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga
dari kewenangan provinsi 12 dua belas mil yang meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung
jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas
tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan.
Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar
laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar
laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.
2.3. Pengertian Kelembagaan
Secara umum Parsons dalam Scott, 1993 mengemukakan bahwa kelembagaan kultural adalah hubungan antara organisasi dan lingkungannya
dengan sistem nilai yang terlembagakan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa dimensi kelembagaan oleh individu adalah kesepakatan-kesepakatan norma yang
kemudian menjadi dasar untuk setiap tindakan individu. Kelembagaan adalah sebuah sistem norma yang membatasi relasi individu atau organisasi. Pada
komunitas-komunitas bahari, di negara-negara berkembang termasuk indonesia,
terdapat sekurang-kurangnya empat kelembagaan atau pranata tradisional traditional institution yang tetap bertahan, yaitu pranata kekerabatan
kinsipdomestic institution, pranata agama atau kepercayaan religious institution, pranata ekonomi economic institution, dan pranata pendidikan
education institution Kusnadi, 2002.
Ketentuan pokok kelembagaan pemerintah daerah adalah menyangkut mekanisme, bentuk dan susunan kelembagaan daerah beserta perangkatnya.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kelembagaan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2003. Isu
utama dalam penataan kelembagaan di daerah adalah pada jumlah yang diperkenankan bagi setiap daerah untuk membentuk instansi baik berupa dinas,
badan, kantor maupun bagian. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 ini, kriteria penataan organisasi perangkat daerah didasarkan atas perhitungan skor penetapan,
di mana faktor-faktor umum yang diperhatikan diantaranya luas wilayah, jumlah penduduk, ratio belanja pegawai dalam APBD, jumlah kecamatan dan desa, serta
aspek karakteristik daerah pengembangan atau pertumbuhan. Namun demikian, kriteria yang dikembangkan ini tidak mencerminkan realitas teknis yang menjadi
tugas dari setiap lembaga yang akan dibentuk sehingga hasil perhitungan yang diperoleh juga sering tidak mendasari perlunya pembentukan suatu satuan
birokrasi tertentu Dwiyanto et al. 2005.
Kelembagaan pemerintah daerah adalah kelembagaan yang ada didalam daerah. Sedangkan perangkat daerah adalah organisasi atau lembaga pemerintah
daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perangkat daerah terdidri atas sekertariat daerah, dinas daerah,
lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan desa Ambordi dan Prihawantoro 2002. Selanjutnya, Dorward et al. 1998 dalam Kartodiharjo dan
Jhamtani, 2006 mengatakan bahwa penataan kelembagaan merupakan upaya untuk mengurangi biaya transaksi. Dalam pembangunan ekonomi, biaya transaksi
mengakibatkan penyimpangan perilaku yang akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ketidakseimbangan pemilikan hak, dan penguasaan terhadap
sumberdaya alam, ketidakseimbangan informasi akan menentukan biaya transaksi,
dan ukuran biaya transaksi menentukan perilaku serta pengambilan keputusan individu atau organisasi.
Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam
dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Pengetahuan tersebut bukan hanya berkaitan dengan keterbatasan daya dukung, melainkan juga sifat-sifatnya
yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai private goods, club goods, common pool goods dan public goods Ostrom 1977 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani,
2006. Pengetahuan ini menentukan ketepatan kelembagaan. Misalnya, kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa
prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun
pengakuan oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pengetahuan mengenai karakteristik sumberdaya alam dapat diadopsi menjadi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi-transaksi politik yang menentukan peraturan perundangan serta ketepatan kebijakan dalam
mengintervensi struktur pasar. Lebih jauh peraturan-perundangan menentukan hak-hak yang diterima masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada saat yang
sama pengambilan keputusan mereka dipengaruhi pertimbangan untung-rugi serta kemampuan dan kapasitas untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut.
Dalam kondisi demikian dinamika dan transaksi akan tumbuh di dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Salah satu indikator terdapatnya masalah dalam kelembagaan adalah dengan melihat kinerja yang dihasilkan oleh kelembagaan. Apabila hasilnya
berupa kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup, maka dapat diduga ada masalah dalam lembaga bersangkutan, informasi antara pelaku tidak
seimbang, kapasitas tidak seimbang, masalah dalam hal menetapkan hak atas sumberdaya alam, perilaku menyimpang- rent seeking dan rent seizing Ross
2001 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Semuanya disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan politik antara pemerintah,
pelaku usaha komersial swasta dan masyarakat madani. Hubungan Hubungan
antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi
pengambilan keputusan Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi
mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa
contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin PETI, pencurian kayu dan penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut.
Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan
kerusakan sumberdaya alam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006.
2.4. Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan