konstitusional pemerintah daerah dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan berbasis komunitas dan
masyarakat dengan melihat peraturan-peraturan daerah dan analisis stakeholder yang menunjukkan peta stakeholder yang dominan mengakses dan memiliki
tingkat kepentingan terhadap sumberdaya alam pesisir Kabupaten Luwu.
4.6. Kebijakan Sektor Pesisir
Lima belas kabupatenkota yang berada di kawasan Teluk Bone telah bersepakat mengembangkan sistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia
SDM dalam pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu berbasis wilayah dengan prinsip kemitraan, yaitu kerja sama antar daerah yang juga merupakan
gagasan dari Dewan Perwakilan Daerah DPD-RI, khususnya yang mewakili Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan telah menjadi salah satu
program prioritas Dewan Perwakilan Daerah DPD-RI.
Wilayah pesisir Teluk Bone terbagi atas 15 kabupatenkota yang meliputi: Kabupaten Bulukumba, Selayar, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, uwu Utara, Luwu
Timur, Kota Palopo, Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Bombana, Muna, Kota Bau Bau dan Kabupaten Buton, di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara yang membentang sepanjang 1128 km garis pantai dengan luas sekitar 31.837 km2 dan dihuni oleh 3.885.472 jiwa penduduk.
Teluk Bone merupakan salah satu kawasan potensial perikanan yang apabila dikelola secara optimal dan terpadu diharapkan dapat memberikan
kontribusi nyata pada program pemerintah dalam revitalisasi perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 pasal 60 tentang Perikanan, dan
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasioanal RPJMN yang meliputi program pengentasan kemiskinan pro-poor,
penciptaan lapangan kerja pro-job, dan percepatan pertumbuhan pro-growth.
Inisiatif pengelolaan Kawasan Teluk Bone Terpadu dalam penelitian ini dinilai dengan melihat kesiapan pemerintah daerah dalam mempersiapkan
prasyarat-prasyarat kebijakan melalui peraturan daerah yang ada, rencana aksi kolektif pemerintah daerah dan sampai pada kesiapan level operasional dengan
melakukan studi kebijakan dan analisis stakeholder di Kabupaten Luwu.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu
Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam
pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya
alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan
dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah.
Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme
pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya
tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan
persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini
masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah PP, dan Peraturan Daerah Perda sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak
ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkatan kabupatenkota.
Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan
lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.