karena analisis ini dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah kebijakan diterapkan.
2.7.1. Analisis isi Content Analysis
Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip
wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya Krippendorf, 1980. Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi
yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari Riffe et al. 1998. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku
manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi Fraenkel dan Norman. 1996. Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena
sifatnya yang unobtrusive tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti, ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan
antar penguji Fraenkel dan Norman. 1996. Analisis isi content analysis untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan
tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan
sosial.
2.7.2. Proses perubahan kebijakan
Keputusan dan pembuatan suatu kebijakan publik harus mengakomodasi tuntutan masyarakat, yang tuntutan tersebut didelegasikan kepada seseorang atau
kelompok dalam model demokrasi perwakilan. Kebijakan publik yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat tidak mempunyai legitimasi, dan tidak
memenuhi rasa keadilan, yang menjadi cita-cita sosial masyarakat. Pada intinya keputusan dan pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah adalah public policy
consists of political decisions for implementing program to achieve societal goals ”kebijakan publik terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program
dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat” Fermana, 2009.
Sutton 1999 menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan
pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam
Rosylin 2008 menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi
juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama.
Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model linier. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-
sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut Sutton 1999 :
1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.
3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan
hambatan yang mungkin terjadi. 4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.
5. Pelaksanaan kebijakan. 6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.
Menurut IDS, 2006 proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan
masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.
2. Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga didasarkan pada
percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuran- ukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau
hasil kebijakan tunggal yang optimal.
3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa
permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.
4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran
utama.
5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan memberi kesempatan
untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai.
6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi
produksi bersama antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.
7. Co-produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan
berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.
8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.
Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling
berhubungan yaitu :
1. Pengetahuan dan diskursus apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’, Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan
lain sebagainya
2. Para pelaku dan jaringan kerja siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung dan
3. Politik dan kepentingan apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan
Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan Sumber : Institute of Development Studies 2006.
Sutton 1999 menjelaskan bahwa pengembangan narasi narrative development yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan
kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan Gambar 3. Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai
kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena
akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam
peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk
melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan policy space, yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan
baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan policy coalitionnetwork dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi
sangat berpengaruh.
2.7.3. Analisis stakeholder