Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu

Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah PP, dan Peraturan Daerah Perda sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkatan kabupatenkota. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah. Pengaturan pengelolaan sumberaya pesisir yang diharapkan mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan keberlanjutan sumberdaya pesisir yang tersedia, menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bagi stakeholder di daerah. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, bahwa pada saat pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya alam SDA secara berkelanjutan dan berkeadilan, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yang dapat kita lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Janji-janji Otonomi Daerah Kesetaraan equity Desentralisasi diyakini dapat membantu pengembangan kesetaraan melalui efisiensi penggunaan sumberdaya yang lebih besar dan adil serta distribusi manfaat dari aktivitas lokal secara demokratis Efisiensi Efisiensi ekonomi dan managerial diyakini dapat ditingkat dengan : 1. Dalam setiap pengambilan keputusan dampak terhadap masyarakat lokal senantiasa dapat diperhitungkan 2. Meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengambilan keputusan 3. Mengurangi biaya transaksi 4. Memberikan pelayanan yang berorientasi kebutuhan 5. Memobilisasi pengetahuan lokal 6. Mengembangkan koordinasi 7. Menyediakan sumberdaya Sumber : Ribot 2002 dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 Dalam upaya desentralisasi pengelolaan sumberaya pesisir pemerintah Kabupaten Luwu merumuskan Peraturan Daerah Perda Nomor 02 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Kabupaten Luwu yang memiliki wilayah pesisir yang potensial dan strategis untuk dikelola secara profesional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan mendukung kelestarian lingkungan, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, terencana dan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dengan asas manfaat dan keadilan, merupakan tujuan utama peraturan daerah ini di rumuskan. Ada dua masalah penting yang juga menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu kapasitas lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Dalam hasil wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu 1 ditemukan bahwa dinas perikanan hanya memiliki 3 tiga orang tenaga penyuluh lapangan, 1 satu orang tenaga pengawas yang masih memiliki skill yang terbatas dan kemampuan teknis serta manajemen yang juga terbatas. Hal ini merupakan gambaran kapasitas lembaga yang mengelola sumberdaya pesisir dan lingkungan di Kabupaten Luwu. Selain itu, hubungan antara lembaga termasuk kolaborasi dan koordinasi antar lembaga sangat penting dalam pengelolaan secara partisipatif, dalam temuan lapangan hal ini masih sangat lemah. Keadaan ini mempengaruhi kinerja dan menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah. Berikut hasil narasi wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. “Dalam memperoleh data dan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan memiliki kesulitan karena petugas pengawas perikanan yang bertugas di Kabupaten luwu hanya terdiri dari 1 satu orang, selain itu untuk melakukan penyuluhan pengelolaan sumberdaya pesisir petugas yang kami punya hanya 3 tiga orang dan 2 dua orang diantaranya hanya tamatan SMA”. Dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu 2 , ditemukan bahwa lemahnya peran-peran kelembagaan lokal terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu disebabkan oleh lemahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia SDM dan kapasitas kelembagaan utamanya masih minimnya peran dan fungsi kelembagaan- kelembagaan lokal. Berikut kutipan hasil wawancara selanjutnya. 1 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 2 Lanjutan wawancara dengan Sarifudding Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. “Hanya ada beberapa kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya selama ini yang aktif, itu pun banyak diantara mereka yang belum memiliki kesadaran dalam membantu menjaga lingkungan, khususnya pembukaan kawasan mangrove untuk tambak. LSM yang mendampingi masyarakat sebelumnya juga sudah tidak aktif lagi setelah Perda tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut disetujui di DPRD” Menurut Wahyudin 2005, ciri pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif adalah 1 transparansi dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti berapa luas area yang dikelola atau dimanfaatkan, untuk kegiatan apa, bagaimana cara dan mekanisme pengelolaan siapa yang mengelola, 2 pertanggung jawaban pengelolaan kepada publik khususnya kepada stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, yang dalam Peraturan Daerah semestinya telah diatur sehingga pembagian kewenangan dan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder jelas dan menjadi hukum yang telah disepakati bersama. Dalam peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat, tidak terdapat pengaturan tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam bab dan pasal peraturan daerah tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang berlebihan sehingga terjadi degradasi terumbuh karang dan hutan mangrove secara massif yang mencapai tingkat kerusakan sampai 65 persen berikut data luas tutupan dan kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu. Adapun gambaran luas tutupan dan kondisi terumbu karang di Kabupaten Luwu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu No Kecamatan di pesisir Luas Tutupan ha Persentase Luas Terumbu Karang Sangat Baik Baik Sedang Rusak 1 Kabupaten Luwu 17.310 - 1.731 10 4.327 25 11.252 65 Keterangan : - = Data tidak tersedia Sumber : Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2010 Persoalan yang ditemukan dalam analisis substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu yaitu substansi perda yang masih cenderung eksploitatif, proses perumusan Peraturan Daerah yang belum partisipatif serta belum di jaminnya kepastian hak atas kekayaan sumberdaya alam pesisir bagi masyarakat sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, bahwa seluruh rangkaian sejarah serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari jaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1. Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam oleh berbagai pihak, baik secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2. Substansi Undang-undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor cenderung bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam. 3. Tindakan eksploitasi sumberdaya alam secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan sumberdaya alam bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan di sekitar lokasi sumberdaya alam. 4. Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan sumberdaya alam eksploitatif melalui mobilisasi suara. Demokratisasi pengambilan keputusan terbukti belum menghasilkan substansi keputusan yang mempertimbangkan arti penting pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan. Sedangkan menurut Rudyanto 2007, bahwa berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan ekonomi lokal atau daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal yang masih perlu disempurnakan antara lain: 1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal. 2. Untuk mencegah disinsentif, pemerintah daerah perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang yang menjadi tolok ukur bukanlah besarnya dana, tapi seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerahnya. 3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan stakeholder. 4. Memperbaiki fundamental ekonomi nasional dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada Usaha Kecil-Mikro UKM agar lebih berkembang melalui kebijakan ekonomi yang tidak diskriminatif. 5. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional dan arif, agar kekayaan resources endowment tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari green economic paradigm. 6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat public demand terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan ekonomi daerahnya. 7. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerahnya. 8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, pemerintah daerah tidak harus selalu menambah jenis pungutan. 9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat pemerintah daerah harus mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan Pemerintah Daerah sebagai institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Dengan semangat otonomi daerah umumnya ditemukan dalam wawancara dengan stakeholder bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu antara lain : 1 Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi daerah, 2 Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman dan acuan implementasi otonomi daerah, 3 Keterbatasan kemampuan aparatur pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, 4 Keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah, 5 Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerah. Substansi regulasi di atas banyak mengkonsentrasikan kewenangan pada pemerintah pusat, sehingga mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal, menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak terkontrol. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pelanggaran yang terjadi, seperti kegiatan penangkapan dengan menggunakan potas maupun pengambilan biota yang dilindungi, kegiatan pembukaan lahan tambak baru atau eksploitasi hutan mangrove yang massif di hampir seluruh kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Luwu. Salah satu temuan penelitian setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu 3 , ditemukan bahwa Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu masih memiliki keterbatasan tenaga pengawas dalam melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang hanya terdiri 3 tiga orang tenaga pengawas yang sekaligus berfungsi sebagai tenaga penyuluh perikanan. Selain itu, kelemahan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir juga di tunjukkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Bapedalda khususnya Kepala Bidang Pengendalian AMDAL 4 yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sumberdaya pesisir 3 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 4 Wawancara dilakukan dengan Jahiriah Kepala Bidang Pengendalian AMDAL. Dilakukan pada hari Rabu tanggal 6 Juli 2011 di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Bappedalda, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. oleh pihak swasta dan masyarakat. Dari wawancara mendalam ditemukan informasi lemahnya penanganan dampak lingkungan yang hanya mengandalkan laporan dari masyarakat. Berikut ini kutipan wawancara dengan pihak Bapedalda. “Saat ini terjadi eksploitasi kawasan mangrove akibat pembukaan lahan tambak untuk budidaya tambak rumput laut, tetapi kami tidak bias mengambil tindakan selama belum ada aturan yang mengatur secara rinci batas pemanfaatan hutan mangrove dari pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Selama ini untuk masalah pencemaran lingkungan akibat penambangan atau aktivitas perusahaan kami biasanya menunggu laporan masyarakat”. Dalam wawancara dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda 5 ditemukan bahwa tingkat pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan peraturan daerah masih sangat lemah. Selanjutnya secara subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat Kabupaten Luwu akan di kaji dengan melihat persoalan pemberian kesempatan pada masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Selanjutnya kutipan hasil wawancara dengan pihak Bappeda. “Perda ini diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan LSM KTNA, namun tidak melibatkan kelompok masyarakat nelayan atau kelompok pembudidaya, selain itu pada prosesnya beberapa instansi terkait seperti Bappedalda tidak terlibat secara aktif. Persoalan yang banyak terjadi saat ini adalah potensi terjadinya abrasi di pemukiman pesisir jika tidak segera di lakukan penguatan aturan perda ini. Terkait juga dengan masalah hulu, karena sisa penebangan yang terbawa ke muara juga menyebabkan terjadi kerusakan tanaman mangrove”. Temuan dari wawancara di atas menunjukkan lemahnya koordinasi instansi terkait pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Selain itu, 5 Hasil wawancara dengan Zainal Arifin Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Pesisir Bappeda Kabupaten Luwu . Dilakukan pada kamis tanggal 7 Juli 2009 di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. saat ini telah terjadi degradasi lingkungan yang sangat tinggi khususnya pada hutan mangrove. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan dan perencanaan Perda tentang pengelolaan pesisir juga tidak dilakukan. Kenyataan ini memerlukan kebijakan baru yang lebih mengedepankan pemberian tanggungjawab kepada masyarakat dalam melakukan perlindungan sumberdaya pesisir yang semestinya dilakukan dengan lebih dahulu memberikan ruang keterlibatan dalam perencanaan, evaluasi dan monitoring sehingga masyarakat lokal selain memiliki kesadaran juga memiliki rasa tanggungjawab. 5.2. Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Penetapan peraturan Daerah Perda adalah suatu proses politik yang secara umum melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan semestinya melibatkan multipihak. Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat yang dianalisis dalam penelitian ini diinisiasi oleh pihak eksekutif melalui Dinas Perikanan dan Kelautan 6 . Dalam prosesnya sampai di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD peraturan daerah ini hanya melibatkan satu kelompok Tani Nelayan Tambak dan satu Lembaga Swadaya Masyarakat KTNA dari pihak diluar pemerintahan. Peraturan Daerah ini disusun atas dasar bahwa wilayah pesisir dan laut di daerah Kabupaten Luwu merupakan kawasan yang sangat potensial dan strategis untuk dikelola secara professional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir. Selain itu Kabupaten Luwu yang berbatasan langsung dengan Kawasan Teluk Bone penting untuk mendukung kelestarian, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat berlandaskan asas-asas manfaat dan keadilan. Pada Tabel 5 di bawah ini 6 Hasil wawancara dengan Sarifudding Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. menggambarkan tentang stakeholder yang terlibat dalam penyusunan Perda tersebut. Tabel 5. Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Instansi Pemerintah LSM-ORMAS  Dinas Perikanan dan Kelautan  Badan Perencana Pembangunan Daerah Bappeda  Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah Bapedalda  Bagian Hukum  Bagian Pemerintahan  Bagian kelembagaan masyarakat  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD  Kabid Fisik dan Prasarana  Kasubid. Tata Ruang  Kasubid Lingkungan Hidup  Kabid Amdal  Kadis Perikanan  Kasubag. Peraturan Perundang-undangan  Lurah  Perguruan Tinggi  LSM KTNA  Kelompok Tani Nelayan Tambak Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat merupakan peraturan yang dibuat sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah ini di sahkan pada bulan Maret 2007, dilakukan perumusan selama 2 dua tahun sejak tahun 2005, sedangkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disyahkan pada bulan Juli 2007. Secara eksplisit peraturan daerah ini merujuk pada Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan daerah ini ditemukan bahwa tidak terdapat rujukan terhadap Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10MEN2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang sesungguhnya mengatur secara teknis pedoman untuk perencanaan wilaya pesisir secara terpadu. Peraturan daerah ini terdiri dari 15 lima belas bab dan 24 dua puluh empat pasal yang akan di kaji selanjutnya terkait dukungan peraturan daerah terhadap kesempatan masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan pesisir. Proses peraturan daerah No. 02 Tahun 2007 dimulai jauh sebelum kegiatan pengesahan peraturan daerah ini dilakukan yaitu berkisar 2 dua tahun dengan melakukan studi terlebih dahulu oleh Dinas Perikanan dan Keluatan yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM KTNA. Definisi wilayah pesisir secara umum memberikan gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi pada wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. 5.2.1. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi Menurut Carter 1996, mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu 1 Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, 2 Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, 3 Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, 4 Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis, 5 Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, 6 Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, serta 7 Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Namun apakah konsep ini sudah menjiwai peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat selanjutnya dilakukan analisis substansi peraturan tersebut. Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat diharapkan dapat memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Pada pasal 14 empat belas tentang Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam peraturan daerah ini terdiri dari 3 tiga ayat yang hanya menekankan pada peran dan tanggungjawab pihak swasta, pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta peran pemerintah daerah dalam mendorong kerjasama dengan lembaga keuangan untuk memudahkan masyarakat memperoleh atau mengakses bantuan permodalan atau penguatan modal operasional. Secara substantif peraturan daerah ini belum memberikan tekanan pada upaya mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang lebih spesifik, usaha meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada serta belum menggambarkan secara eksplisit aturan yang mendukung efisiensi secara ekonomis. Selain itu peraturan daerah ini belum memberikan motivasi terhadap masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan pemerataan dan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat community based management yang menjadi tema utama dalam peraturan daerah ini. Tetapi setelah melakukan pengkajian secara subtantif peraturan ini belum memenuhi semangat yang memberikan pada jaminan terhadap komunitas atau masyarakat yang memiliki adat istiadat, nilai- nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hal ini terbukti dengan belum adanya pasal dalam isi peraturan daerah yang menunjukkan keberpihakan terhadap beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan masyarakat secara alami sebagai daerah wisata contohnya di Kecamatan Larompong Selatan yang saat ini di dimanfaatkan sebagai pelubahan angkutan laut dan Buntu Mata’bing yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan ikan secara tradisional saat ini menjadi kawasan wisata pesisir Buntu Mata’bing. Temuan ini sesuai dengan pendapat Satria 2009b, mengatakan bahwa kebijakan pengembangan taman wisata telah banyak mengubah hak-hak kepemilikan nelayan tradisional. Misalnya sebelumnya masyarakat memiliki hak- hak atas sumberdaya itu dari hak akses hingga hak eksklusi, setelah keberdaan taman wisata hak tersebut menjadi hilang. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini merupakan kecenderungan di berbagai Negara bukan hanya di Indonesia. 5.2.2. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lebih dikenal dengan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat PBM atau community based management CBM. Menurut Carter 1996, Community-Based Resource Management CBRM didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Dari hasil analisis keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat kecil hanya mencapai 4.5 persen. Hal ini bertentangan dengan semangat pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang semestinya diikuti oleh upaya pelibatan dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya alam. Pada Bab VII tentang Partispasi Masyarakat hanya terdiri atas 1 satu Pasal dan 6 enam ayat yang secara subtantif menekankan pada tanggungjawab masyarakat atas pelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan biota lainnya. Selanjutnya pada ayat lain menekankan pada tanggungjawab badan usaha dalam pelestarian sumberdaya hutan mangrove dan terumbu karang. Peraturan daerah ini belum mengatur definisi batas-batas pemanfataan sumberdaya pesisir, daerah perlindungan sumberdaya pesisir dan belum melibatkan masyarakat dalam dimensi perencanaan tapi lebih menekankan pada bagaimana tanggung jawab masyarakat dalam pelaksanaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006, bahwa ada dua argument penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan: 1 Kepastian mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya lain, 2 Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Walaupun ada prosedur normatif untuk merumuskan atau memperbarui kebijakan dengan pertimbangan hasil evaluasi kebijakan yang telah berjalan, namun evaluasi kebijakan itu sendiri jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Selanjutnya dalam peraturan daerah ini juga tidak ditemukan bab atau pasal yang mengatur tentang upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir. Dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya. Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi sinergi dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat menjadi hal penting yang semestinya dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat. Meminjam defenisi COREMAP-LIPI 1997 dalam Wahyudin 2005 menyatakan bahwa tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir berbasis masyarakat adalah mendorong peran serta masyarakat secara aktif dan terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk menjamin dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga dapat menjamin adanya pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dilakukan untuk 1 Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi kerusakan lingkungan, 2 Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu yang sudah disetujui bersama, 3 Membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan, dan 4 Memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat. Hal di atas belum ditekankan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat sehingga penting untuk segera dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah atau merumuskan daerah perlindungan sumberdaya pesisir melalui Peraturan Bupati. Selanjutnya dalam melakukan analisis stakeholder ditemukan beberapa hal terkait persepsi, partisipasi masyarakat, relasi, kepentingan, pengaruh dan peta posisi stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu yang bertentang dengan semangat substansi peraturan daerah yang telah dianalisis sebelumnya.

5.3. Analisis Stakeholder