Arahan Kebijakan HASIL DAN PEMBAHASAN

dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu : 1 Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, 2 Pengembangan keterampilan masyarakat, 3 Pengembangan kapasitas masyarakat, 4 Pengembangan kualitas diri, 5 Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta 6 Penggalian pengembangan nilai tradisional masyarakat.

5.3.7. Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi Stakeholder

Pada analisis sebelumnya telah di gambarkan stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi dan dibuktikan pada analisis yang lain tentang relasi antara stakeholder memiliki tingkat relasi yang kuat. Tingginya tingkat kepentingan Dinas Kelautan dan Perikanan DKP, Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Swasta, serta tingginya relasi stakeholder ini memunjulkan berbagai permasalahan antara lain semakin lemahnya posisi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Permasalahan lain yang juga ditemukan adalah lemahnya relasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan DKP, Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Swasta dengan masyarakat atau nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi nelayan dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir masih sangat marginal sehingga semangat partisipatif dan pelibatan masyarakat sebenarnya belum terlaksana.

5.4. Arahan Kebijakan

Uraian analisis diatas menunjukkan bahwa terdapat kegagalan pengelolaan sumberdaya alam pesisir di Kabupaten Luwu, hal ini disebabkan oleh, Pertama adanya kegagalan kebijakan lack of policy yang merupakan bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan sumberdaya pesisir yang ada. Kegagalan kebijakan lack of policy terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberlanjutan sumberdaya alam pesisir dan lingkungannya. Kedua adanya kegagalan masyarakat lack of community sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat lack of community terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihak- pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk bargaining position masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat sumberdaya alam pesisir dan lingkungan. Ketiga adanya kegagalan pemerintah daerah lack of local government sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan pemerintah daerah lack of local government terjadi akibat kurangnya kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap stakeholder. Menurut Khartodiharjo dan Jhamtani 2006, bahwa ada lima masalah pokok yang menghambat perubahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi pengelolaan yang lebih adil dan berkelanjutan yaitu; Pertama nilai-nilai yang dianut. Perkembangan politik pemerintahan setelah pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2011, juga tidak mengalami perubahan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kompromi-kompromi politik yang dilakukan diberbagai tingkatan masih berakhir dengan satu akibat yang pasti, yaitu peningkatan eksploitasi sumberdaya alam. Kedua, masalah argumen dalam pembaruan kebijakan. Ada dua argumen penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan, 1 Kepastian mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya alam lain, 2 Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting dalam mempertahankan daya dukung lingkungan. Ketiga, ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas, terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak mengetahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Keempat, Kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah yang mampu melaksanakannya dan Kelima, bagaimanapun juga kebijakan harus mendapat dukungan politik, yaitu mendapat kesepakatan atau menang dan memperoleh suara berdasarkan aturan-aturan perwakilan yang telah ditetapkan. Namun hal sebaliknya bisa terjadi, kesepakatan yang berjalan berdasarkan aturan perwakilan sering melahirkan kebijakan yang substansinya justru bertentangan dengan tujuan-tujuan konservasi maupun keadilan pemanfaatan sumberdaya alam. Tabel 7 menunjukkan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Tabel 7. Rumusan Masalah Pengelolan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah 1. Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga.  Kekurangan tenaga SDM  Skill yang terbatas baik kemampuan teknis dan manajemen.  Hubungan kerjasama kelembagaan yang masih lemah baik antara pusat-daerah maupun sesama lemabaga pemerintah daera h 2. Peran Kelembagaan Lokal  Kelembagaan masyarakat lokal memiliki posisi yang sangat lemah.  Pelibatan kelembagaan lokal tidak dilakuka n 3. Hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir  Belum ada definisi batas- batas yang jelas terhadap SDA Pesisir.  Hak dan tanggung jawab masyarakat tidak di atur secara jelas.  Masyarakat masih dalam posisi marjinal. 4. Substansi Peratun Daerah Perda  Proses pelibatan masyarakat dalam perumusan sangat minim.  Tidak ada sosialisasi kepada masyarakat.  Belum terlaksana di lapangan.  Belum terdapat substansi peraturan dan kebijakan yang mengatur perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan 5. Persoalan s takeholder  Persepsi kerusakan SDA pesisir sangat tinggi.  Partisipasi masyarakat terhadap SDA pesisir tinggi dan cenderung tidak terkontrol.  Terjadi konflik Pemanfaatan SDA pesisir khususnya lahan tambak dan konflik pemanfaatan lahan dengan pemerintah.  Relasi yang lemah antara stakeholder lain dengan masyarakat menyebabkan masyarakat nelayan tetap marjinal. Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari permasalahan di atas untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang memberikan akses yang lebih luas terkait kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pesisir, terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang berkeadilan dan keberlanjutan, adanya perbaikan peraturan perundangan ditingkat lokal termasuk pembenahan proses-proses administrasi, pelaksanaan program dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu maka berikut ini tabel arahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Tabel 8. Rekomendasi Tindakan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Luwu. Substansi Tingkat Tindakan Kebijakan Penyempurnaan Peraturan Daerah Langkah Kolektif Langkah Operasional Hak dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap SDA Pesisir diatur lebih jelas Peraturan Daerah secara tegas mengatur tentang distribusi dan kepastian hak dan akses terhadap SDA pesisir secara adil Penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pengelolaan SDA Pesisir Pengawasan terhadap pemanfaatan SDA pesisir Perda seharusnya memuat secara detail pengaturan kawasan lindung dan pengendalian kerusakan lingkunagn Peraturan Daerah diterjemahkan secara teknis kedalam Peraturan Bupati Koordinasi program antar lembaga Penetapan zona kawasan lindung SDA pesisir Evaluasi dan Pengawasan kinerja Pengelolaan SDA Pesisir diatur melalui kebijakan Sosialisasi Peraturan Daerah sebaiknya dilakukan melalui kelembagaan lokal Perumusan Kawasan lindung SDA Pesisir Pengendalian kerusakan SDA Pesisir Kapasitas Lembaga dan Hubungan antar Lembaga sebaiknya segera ditingkatkan Penguatan Koordinasi antara Eksekutif dan Legislatif daerah dalam penjabaran Peraturan Daerah Perumusan batas- batas hak dan tanggung jawab stakeholder atas SDA pesisir Penetapan daya dukung wilayah pesisir Kebijakan RTRW dan kebijakan pengelolaan SDA pesisir harus sejalan Keterbukaan informasi terhadap semua stakeholder dalam proses penyempurnaan Peraturan Daerah Perumusan model komunikasi yang efektif lintas institusi Pemerintah Daerah dalam pengendalian dampak kerusakan lingkungan Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari arahan kebijakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa depan pengelolaan sumberdaya Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sangat dipengaruhi oleh kebijakan daerah dan peraturan daerah, serta peran stakeholder dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan multipihak. Pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu semestinya benar-benar mengaflikasikan arti sesungguhnya dari pembangunan dan pengelolaan berbasis masyarakat. Melibatkan lembaga masyarakat, kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya, dari semua tahapan pengelolaan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi memberikan tempat bagi masyarakat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dari hasil analisis isi Peraturan Daerah dan analisis stakeholder menunjukkan bahwa beberapa masalah pengelolaan sumberdaya pesisir diantaranya adalah : 1 Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga yang masih sangat lemah, 2 Peran kelembagaan lokal yang pelibatan dan posisinya dalam analisis stakeholder masih sangat lemah, 3 Substansi Peraturan Daerah yang belum mengatur tentang penetapan kawasan konservasi, pengendalian kerusakan lingkungan, dan tidak melibatkan unsur masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan swasta dalam perencanaan, perumusan dan penetapannya menunjukkan bahwa peraturan daerah ini perlu untuk segera dilakukan pengkajian ulang, dan ke 4 Persoalan Stakeholder yang menunjukkan persepsi kerusakan yang sangat tinggi, partipasi pemanfaatan yang juga tinggi, konflik pemanfaatan lahan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat serta relasi yang lemah antara masyarakat dengan stakeholder lain menunjukkan posisi nelayan masih terpinggirkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Berbagai persoalan yang tergambarkan dari hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini melahirkan arahan kebijakan yang mengedepankan pada penyempurnaan Peraturan Daerah agar secara substantif dapat menjamin kepastian hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir bagi masyarakat, secara teknis mampu diturunkan dalam kebijakan atau peraturan Bupati, hasil dari penyempurnaan peraturan daerah sebaiknya disertai dengan sosialisasi melalui lembaga masyarakat, penguatan koordinasi antara eksekutif, legislatif, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan swasta dalam penyempurnaan Peraturan Daerah. Langkah kolektif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu di masa yang akan datang adalah penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, perumusan batas-batas hak dan tanggungjawab seluruh stakeholder terhadap sumberdaya pesisir, perumusan kawasan lindung sumberdaya pesisir, dan koordinasi program antar lembaga yang terkait langsung pengelolaan sumberdaya pesisir. Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat atau nelayan maka arahan kebijakan merumuskan langkah operasional antara lain: 1 Pemerintah bersama-sama seluruh stakeholder melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir, menetapkan zona kawasan lindung, 2 Penetapan daya dukung wilayah pesisir saat ini yang selanjutnya di sosialisasikan kepada masyarakat, 3 Melakukan upaya pengendalian terhadap kerusakan lingkungan dan 4 Pemerintah melakukan pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan meningkatkan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang studi kebijakan dan analisis stakeholders terkait desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil analisis substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 ditemukan bahwa Peraturan Daerah ini belum menjamin hak, tanggung jawab masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan dan kawasan perlindungan sumberdaya pesisir, serta keterlibatan stakeholder khususnya masyarakat atau nelayan yang masih lemah dalam perencanaan, perumusan dan penetapannya, sehingga perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah tersebut. 2. Dalam analisis stakeholder ditemukan bahwa stakeholder kunci Key players adalah Dinas Kelautan dan Perikanan DKP, Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Swasta. Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah Context setters. Masyarakat atau nelayan dan Bapedalda Subjects adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Badan Kelembagaan Masyarakat BKM, Perguruan Tinggi PT dan Bagian Pemerintahan Crowd merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Selain itu, relasi masyarakat yang lemah dengan hampir seluruh stakeholder lain, menunjukkan bahwa di era desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir posisi masyarakat masih tetap marjinal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir. 3. Lemahnya dukungan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkeadilan dan berkelanjutan, tingginya tingkat kerusakan sumberdaya pesisir yang mencapai lebih dari 50.0 persen, dan Lemahnya posisi masyarakat atau nelayan, baik peran serta, hak atas sumberdaya dan keterlibatan dalam perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu menandakan pentingnya untuk melakukan pembaruan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu sesuai dengan arahan kebijakan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

6.2. Saran