Ruang Lingkup Penelitian PENDAHULUAN

berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya memperoleh dan memperbesar sumber-sumber pendapatannya tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir Dharmawan, 2009. Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah 26.909 Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an. Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang, produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan, dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk Bone. 2.5. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif; bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal Satria, 2004. Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan Satria, 2004. Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan Satria, 2004. Berdasarkan hasil penelitian Balitbangda Sulawesi Selatan maka dapat dirumuskan sembilan program indikatif yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pantai Timur Sulawesi Selatan, yaitu : 1 Program pengembangan lembaga keuangan masyarakat; 2 Program peningkatan keterampilan manajemen usaha dan pemasaran; 3 Program penyehatan lingkungan; 4 Program peningkatan sarana pendukung produksi; 5 Program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; 6