Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan

antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut. Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin PETI, pencurian kayu dan penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut. Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan kerusakan sumberdaya alam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006.

2.4. Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan

Kinerja pembangunan sumberdaya alam dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari dua kejadian penting, yaitu krisis ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah. Akar krisis ekonomi telah membuka mata mengenai besarnya korupsi dan kolusi yang melingkupi seluruh sendi kehidupan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; sementara awal pelaksanaan otonomi daerah menghadirkan persoalan governance, khususnya menyangkut kewenangan pemanfaatan sumberdaya alam, yang masih sulit diprediksi arah penyelesaiannya Fahmi et al. 2003. PERATURAN PERUNDANGA N Hak atas Sumberdaya Alam PENGETAHU AN Komoditi -Private goods Daya dukung -Common pool goods Bentang -Public goods Alamstock Karakteristik Ekosistem Sumberdaya Alam Norma, Etika, SIKA P KAPASIT Modal, Teknologi, Informasi PENGAMBIL AN KEPUTUSAN PERTIMBANG AN UNTUNG- RUGI Struktur Pasar PERTIMBANG AN UNTUNG- RUGI PASAR DALAM NEGERI DAN GLOBAL TATA Yudikatif Eksekutif Legislatif KINERJA : Kerusakan Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dengan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infstruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Bengen, 2009. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : 1 Pemanfaatan berlebih over eksploitation sumberdaya hayati, 2 Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, 3 Perubahan dan degradasi fisik habitat, 4 Pencemaran, 5 Introduksi spesies asing, 6 Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, 7 Perubahan iklim global serta bencana alam Dahuri, 2001. Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak public benefitcost, di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi private goods yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Karena itu, tersedia pilihan-pilihan bentuk hak-hak rights – lazim disebut rejim hak regimes of property rights terhadap sumberdaya alam, berkisar dari yang dikuasai negara state property, diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu common property, atau berupa hak individu private property hanna, dkk. 1996 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergantungan antara kelompok masyarakat tertentu dengan lainnya Bromley 1991 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Kesadaran nilai strategis dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir seperti sasi, mane’e, panglima laot dan awig-awig, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaannya belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumberdaya non hayati disubstitusi dengan sumberdaya lain Kusnadi, 2002. Aspek kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di era otonomi daerah perlu mendapatkan perhatian serius dan pengkajian mendalam. Masalah pengelolaan sumberdaya pesisir mengalami bentuk aktualitas baru dan relevan menjadi objek kajian. Terdapat kerancuan pemahaman bahwa pemerintah daerah seringkali mempunyai persepsi bahwa pelaksanaan otonomi daerah identik dengan kewenangan dan keleluasaan semata. Bahkan terdapat persepsi yang berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya memperoleh dan memperbesar sumber-sumber pendapatannya tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir Dharmawan, 2009. Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah 26.909 Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an. Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang, produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan, dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk Bone. 2.5. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif; bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal Satria, 2004. Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan Satria, 2004. Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan Satria, 2004. Berdasarkan hasil penelitian Balitbangda Sulawesi Selatan maka dapat dirumuskan sembilan program indikatif yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pantai Timur Sulawesi Selatan, yaitu : 1 Program pengembangan lembaga keuangan masyarakat; 2 Program peningkatan keterampilan manajemen usaha dan pemasaran; 3 Program penyehatan lingkungan; 4 Program peningkatan sarana pendukung produksi; 5 Program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; 6 program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya buatan; 7 Program optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan; 8 Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan 9 Program peningkatan kualitas kelembagaan Balitbangda Sulsel 2006. Selanjutnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa : 1 Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan mempunyai prospek pengembangan yang baik, namun hingga saat ini belum memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; 2 Kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; 3 Infrastruktur wilayah yang ada masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan dukungan penuh bagi upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; 4 Kebijakan menyangkut kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup sehingga belum ada instrumen pengelolaan yang memadai; dan 5 Skala usaha dan produk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi masih sangat kecil sehingga belum dapat memberi kontribusi yang basar bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah di Pantai Timur Sulawesi Selatan Balitbangda Sulsel, 2006. Dari hasil penelitian pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantai Timur Sulawesi Selatan, maka ada lima kebijakan yang direkomendasikan, yaitu : 1 Optimalisasi Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa lingkungan; 2 Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kondisi sosial ekonomi masyarakat; 3 Peningkatan infrastruktur ekonomi wilayah; 4 Kebijakan pengelolaan pada tingkat kabupaten perlu disempurnakan; dan 5 Penyempurnaan kelembagaan pengelolaan, terutama di tingkat kabupaten Balitbangda Sulsel, 2006. 2.6. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun masyarakat sekaligus mempertahankan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir. Program-program pembangunan saat ini sebagian besar bersumber dari wacana pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam Nasution et al. 2007. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegara- negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah Dahuri et al. 2001. Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial social capital dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya Bengen, 2009. Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang berpihak terhadap paradigma pembangunan keberlanjutan sustainable diharapkan pula mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir Bengen, 2009. Berbagai permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan kawasan dan pengelolaan sumberdaya pesisir perlu untuk segera di atasi. Pada beberapa daerah pengelolaan kawasan pesisir membawa dampak terhadap degradasi kualitas lingkungan pesisir. Disamping itu pengelolaan kawasan pesisir juga membawa dampak terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pedoman umum pengelolaan kawasan pesisir di sangat diperlukan karena beberapa hal antara lain : 1 Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir disebabkan karena belum adanya regulasi yang jelas sebagai pedoman dan panduan dalam pengelolaan kawasan pesisir. 2 Pengelolaan kawasan pesisir selama ini cenderung bersifat sektoral. Misalnya kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan kawasan perumahan atau pelabuhan kadang-kadang kurang memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan. Demikian juga pembangunan kawasan wisata di daerah pesisir kadang-kadang kurang memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. 3 Kawasan pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem tidak dapat dilihat hanya dalam batas wilayah administratif pemerintahan. Sebagai suatu kesatuan ekosistem pengelolaan kawasan pesisir pada Daerah Otonom yang berbatasan perlu dilakukan secara terpadu. 4 Kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah merupakan suatu kebijakan nasional yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kewenangan Daerah dalam mengelola kawasan pesisir perlu ditingkatkan implementasinya Irwansyah, 2007. Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini akan menjadi kajian dalam penelitian ini dengan melihat kebijakan, respon dan perilaku stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu, yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia SDM, serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan Satria, 2009. Berbagai kajian menunjukkan bahwa institusi komuniti dapat menyediakan common-pool reosurces dengan lebih baik, termasuk jika dibandingkan dengan institusi negara. pemanfaatan institusi komuniti yang telah terbentuk, khususnya komuniti karena kesamaan teritorial, untuk mengelola suatu kawasan tertentu yang langsung berkaitan dengannya, serta mengembangkan aransemen institusional multi-pihak untuk mengelola common-pool resources yang berada di luar kawasan yang disebut sebelumnya. Untuk mengokohkan kedua aransemen institusional dimaksud, dapat dikaji prinsip desain design principle institusi yang mampu bertahan lama menyediakan common-pool resources, sebagaimana dirumuskan oleh Ostrom dan Edella 1996 yang mengatakan bahwa prinsip desain tersebut adalah: 1 Adanya batas boundaries yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan common-pool resourcesnya sendiri; 2 Kesesuaian antara aturan rules pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; 3 Modifikasi susunan pilihan-kolektif collective-choice arrangements, khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan pihak-pihak yang terkena dampaknya; 4 Pemantauan perilaku pengambil manfaat appropriators dan kepada siapa pemeriksa kondisi common- pool resources bertanggungjawab; 5 Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; 6 Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan 7 Pengakuan minimal atas hak komuniti untuk mengorganisasikan diri Fahmi et al. 2003. Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu terpadu berbasis masyarakat, akan melihat kesiapan di tingkat lokal bahwa ketiga jalur aksi worlds of action, yaitu tingkat pilihan operasional operational choice, tingkat pilihan kolektif collective choice dan tingkat pilihan konstitusional constitutional choice, yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain Fahmi et al. 2003, semestinya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

2.7. Analisi Kebijakan