DARAH PROLIFERASI SEL LIMFOSIT

E. DARAH

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup kecuali tumbuhan tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan- bahan kimia hasil metabolisme , dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri . Fungsi-fungsi darah tersebut dijelaskan kembali pada Tabel 11. Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma, yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Darah tersusun atas komponen plasma darah dan sel darah. Bagian penyusun dan fungsi dari kedua komponen darah tersebut disajikan pada Lampiran 3. Tabel 11. Fungsi darah g Fungsi Darah Deskripsi Transportasi a. Berhubungan dengan respirasi b. Berhubungan dengan nutrisi zat-zat makanan yang telah tercerna c. Berhubungan dengan sekresi d. Berhubungan dengan regulasi Regulasi keseimbangan pH darah 7.0-7.2 Mengentalkan darah karena mempunyai plasma protein albumin, fibrinogen, dan globulin Regulasi keseimbangan Ada hubungan antara darah dengan jaringan Pencegahan pendarahan Peran trombosit Pertahanan tubuh Peran leukosit g Kresno 2001

F. SEL LIMFOSIT

Limfosit merupakan salah satu penyusun sel leukosit dan bertanggung jawab terhadap respons imun spesifik karena kemampuannya dalam mengenal berbagai macam antigen berbeda. Menurut Kresno 2001, sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun ekstraselular. Bentuk sel limfosit ditunjukkan pada Gambar 5 . Limfosit terbagi menjadi 2 kelompok yakni limfosit T sel T dan limfosit B sel B. Gambar 5. Bentuk sel limfosit manusia tunggal dengan SEM Anonim, 2010 b

1. Sel T

Sel T merupakan 65-85 dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar timus. Selain merupakan tempat sel T berdiferensiasi, di dalam bagian korteks timus terjadi proliferasi dan kematian sel yang berhubungan dengan proses seleksi klon. Klon yang autoreaktif akan bunuh diri mengalami apopotosis, sedangkan sel yang dipertahankan hidup adalah sel yang akan bermanfaat di kemudian hari sesuai fungsinya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama berdiferensiasi dalam timus adalah: a pembentukan berbagai reseptor antigen; b seleksi sel T aktif fungsional yang dapat mengenal antigen yang disajikan bersama molekul self-MHC; c eliminasi selektif sel-sel T autoreaktif; dan d diferensiasi populasi sel T yang mengekspresikan CD4 atau CD8 Kresno, 2001. Perkembangan dan seleksi sel T dalam timus dikontrol secara ketat oleh mekanisme seleksi positif, seleksi negatif, dan neglect. Sel T yang mengekspresikan TCR yang dapat berinteraksi dengan self-MHC yang ditampilkan dalam timus akan mengalami seleksi positif dan dilindungi dari proses apoptosis, sedangkan sel yang tidak diseleksi positif akan mati dengan cara apoptosis karena tidak terpelihara. Tetapi, sel T yang dapat bereaksi kuat dengan antigen yang terikat pada self-MHC juga diinduksi untuk mengalami apoptosis seleksi negatif. Selama proses ini lebih dari 95 sel T yang terbentuk dalam timus mati dan sisanya yang 5 bermigrasi ke organ limfoid perifer sebagai sel T yang matang. Banyak faktor yang turut mempengaruhi perkembangan dan seleksi sel T dalam timus di antaranya molekul Fas yang menrupakan anggota keluarga reseptor faktor pertumbuhan TNF yang berfungsi sebagai kostimulator Kresno, 2001.

2. Sel B

Sel B berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan organ limfoid perifer. Seperti halnya pada sel T, pembentukan reseptor antigen pada permukaan sel B surface-immunoglobulin, sIg merupakan salah satu tahap awal dalam proses diferensiasi. Sel B pada tahap awal mengeskpresikan IgM atau IgD sebagai reseptor permukaannya, tetapi dalam perkembangan lebih lanjut reseptor ini dapat berubah menjadi kelas imunoglobulin yang lain walaupun spesifisitasnya terhadap antigen tidak berubah Roitt, 1994; Kresno, 2001. Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin dan merupakan 5-15 dari limfosit dalam sirkulasi darah. Jumlah ini tidak mencakup sel-sel yang merupakan cikal-bakal sel B prekursor yang tidak menunjukkan sIg. Tingkat pematangan sel B dapat diketahui dengan menentukan sel-sel B sesuai stadium pematangannya, yaitu ada tidaknya imunoglobulin intra-sitoplasmik cIg, imunoglobulin permukaan sIg, dan antigen permukaan lainnya Kresno, 2001.

G. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT

Proliferasi sel limfosit merupakan fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel secara mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Respon proliferasi limfosit pada sistem in vitro digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen dan lektin. Baratawidjaja 2006 menyatakan bahwa kedua senyawa tersebut merupakan bahan alamiah yang mempunyai kemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi. Kedua senyawa tersebut merupakan aktivator poliklonal yang dapat mengaktifkan banyak klon limfosit dan bukan hanya merangsang klon dengan spesifisifitas khusus. Mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin yang memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit seperti PHA phytohaemagglutinin, PWK pokeweed, dan Con A Concanavalin A Ganong, 1979; Baratawidjaja, 2006, dan senyawa yang berasal dari dinding sel bakteri seperti LPS lipopolisakarida Baratawidjaja, 2006. Con A dan PHA adalah mitogen poten untuk sel T. LPS adalah mitogen pengaktif sel B. Dan PKW adalah mitogen yang baik untuk menstimulir sel B maupun sel T. PKW bersumber dari tanaman pokeweed Phytolacca americana dengan struktur molekul polimerik dengan ligan di N-asetilkitobiose, sedangkan Con A bersumber dari jack bean dan PHA bersumber dari kacang merah kidney bean. Baik Con A maupun PHA memiliki struktur molekul tetramer Kuby, 1997. Perhitungan jumlah sel limfosit yang masih hidup sebelum dilakukan pengujian dengan ekstrak sampel dan mitogen perlu dilakukan. Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah sel limfosit hidup adalah dengan metode pewarnaan tripan blue yang dilihat dengan mikroskop pada perbesaran maksimal 400 kali. Sel yang hidup tidak berwarna terang dan cerah dan berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati berwarna biru dan mengkerut. Sel mati tersebut berwarna biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru tripan dapat masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Sedangkan pada sel hidup, dinding sel tidak pecah sehingga pewarna tidak masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Viabilitas sel yang baik terlihat dengan semakin banyaknya jumlah sel yang hidup dengan jumlah minimal adalah 10 6 sel Shaper, 1988. Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan senyawa MTT 3-[4,5-dimetilthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue Prinsip dari metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dihitung absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 500-600 nm seperti microplate reader atau ELISA Reader dengan panjang gelombang 570 nm. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesa oleh semua sel pada mitokondria. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium juga banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak Bounous et al., 1992.

H. KULTUR SEL