menit, jumlah sel dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali.
Uji keberadaan sel limfosit ini dilakukan dengan menghitung jumlah sel dengan menggunakan pewarna biru trifan yang dimaksudkan untuk menentukan viabilitas sel yang
akan diuji, yaitu sebelum dilakukan pengujian sel harus dalam kondisi hidup sebesar 95. Untuk mengetahui angka ini, maka perlu dihitung pula jumlah sel yang mati atau rusak
pada area yang sama Puspawati, 2009. Selain viabilitas sel berdasarkan persentase, perlu diketahui juga jumlah konsentrasi
sel yang akan dikultur. Jumlah konsentrasi sel tersebut sebaiknya sekitar 1-4 x 10
6
selml Bellanti, 1993 dan ditentukan melalui asumsi bahwa sel limfosit akan mampu bertahan
hidup dan melewati siklus hidupnya selama waktu inkubasi 72 jam Paul, 1972. Jika konsentrasi sel yang terhitung rendah atau kurang dari 1.50 x 10
5
selml, maka sel tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh Bellanti, 1993.
Sel limfosit yang hidup akan tampak transparan dan berbentuk benar-benar bulat, sedangkan sel limfosit yang rusak atau mati akan berbentuk tidak beraturan atau berwarna
biru seluruhnya. Perhitungan sel limfosit hidup dan mati dilakukan pada dua area kotak besar yang berada di pojok dan saling bersebrangan. Persamaan 5.1 digunakan untuk
menghitung konsentrasi sel yang terdapat pada suspensi sel limfosit hasil kegiatan isolasi sel limfosit. Kegiatan penghitungan ini dilakukan dalam waktu kurang dari 3 menit.
5.1 Keterangan:
Ā = Rata-rata jumlah sel terhitung dari dua area kotak besar
FP = Faktor pengenceran 2, diperoleh dari penambahan pewarna biru trifan :
suspensi sel yaitu 1:1 10
4
= Faktor koreksi volume hemasitometer yang setiap kotak sekundernya berukuran 1 x 1 mm dan kedalaman 0.1 mm, sehingga volumenya 0.1 mm
3
1 ml = 1 cm
3
= 1000 mm
3
Setelah diketahui jumlah viabilitas sel limfosit yang telah diisolasi, maka selanjutnya suspensi sel limfosit tersebut akan dikulturkan bersama larutan RPMI, larutan
mitogen, dan larutan kerja ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang telah dibuat sebelumnya. Tahapan ini merupakan tahapan pengujian aktivitas proliferasi sel
limfosit dengan MTT.
d. Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit dengan MTT modifikasi Yanuwar, 2009
Suspensi limfosit dalam media lengkap sebanyak 80 µl dimasukkan ke dalam masing- masing sumur pada lempeng mikrokultur, kemudian masing-masing sumur ditambah
dengan 10 µl larutan serum darah AB dan 20 µl larutan kerja ekstrak. Untuk kontrol positif, sel limfosit dikultur dengan 20 µl larutan mitogen dengan konsentrasi 9.09
µ gml pada
kultur sel. Penggunaan larutan mitogen sebagai kontrol positif pada pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat dengan ekstrak β-glukan memiliki perbedaan. Pengujian ekstrak hasil
ekstraksi bertingkat menggunakan larutan mitogen pokeweed PKW dan lipopolisakarida LPS, sedangkan pengujian ekstrak β-glukan menggunakan kedua larutan mitogen
sebelumnya dan concavalin A Con A. Jumlah sel limfositml = Ā x FP x 10
4
selml
Sebagai kontrol standar, suspensi sel limfosit dikultur dengan media RPMI, lalu semuanya diinkubasi dalam inkubator pada 37
C, CO
2
5, O
2
95 dan RH 96 selama 3 x 24 jam. Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian kali ini secara menyeluruh terbagi
menjadi 3 macam, yakni perlakuan dengan kontrol standar, perlakuan dengan kontrol positif, dan perlakuan dengan larutan kerja ekstrak. Agar mudah diingat, pada waktu
peletakan kultur ke sumur dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap jenis ekstrak, mitogen dan kontrol standar untuk menghindari kesalahan pada waktu pembacaan
absorbansi. Peta sumur pada microplate dapat dilihat pada Lampiran 14 untuk pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat dan Lampiran 15 untuk pengujian ekstrak
β -glukan.
Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel ditambahkan 10 µl larutan pereaksi garam tetrazolium MTT 0.5 pada setiap sumur.
Larutan MTT 0.5 dibuat dengan melarutkan bubuk MTT sebanyak 0.25 g dalam 50 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Larutan kemudian disterilisasi dengan membran
sterilisasi diameter 0.22 µ m. Inkubasi dilanjutkan kembali hingga tercapai masa inkubasi 3 x 24 jam. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel
ditambahkan larutan HCl dalam isopropanol 0.04 N sebanyak 80 µl untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. HCl-isopropanol 0.04 N dibuat dengan cara menambahkan
HCl 37 sebanyak 23.4 µl pada 8.97 ml isopropanol PA. Tahap akhir adalah pengukuran nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm.
Dari hasil pengukuran absorbansi dapat dihitung aktivitas proliferasi yang dinyatakan sebagai nilai IS indeks stimulasi menggunakan persamaan 5.2.
IS = OD yang distimulasi dengan ekstrak atau mitogen 5.2
OD pada kontrol standar Keterangan:
IS = Indeks Stimulasi
OD = Optical Density absorbansi pada panjang gelombang 570 nm
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DERAJAT SOSOH DAN RENDEMEN BIJI PEARL MILLET TERSOSOH
Derajat sosoh adalah tingkat pelepasan lapisan aleuron dari biji serealia selama proses penyosohan. Jika derajat sosoh 80, berarti masih ada 20 lapisan aleuron yang menempel pada
biji serealia, sedangkan jika derajat sosoh mencapai 100 berarti tidak ada lapisan aleuron yang menempel. Makin tinggi derajat sosoh makin bersih penampakan biji serealia. Namun,
penyosohan yang lebih lama dengan tujuan untuk lebih mengilapkan biji serealia akan menurunkan kandungan proteinnya
Anonim, 2008 .
Sebelumnya, dalam penelitian Yanuwar 2009 telah ditemukan waktu sosoh optimum biji pearl millet adalah 100 detik berdasarkan aktivitas antioksidan dan evaluasi sensori produk bubur
pearl millet yang terbaik. Namun, waktu sosoh ini agak sulit untuk langsung diaplikasikan dalam beberapa industri pangan karena pada umumnya mereka menentukan standardisasi penyosohan
berdasarkan derajat sosohnya. Tahapan penentuan derajat sosoh pada penelitian berguna untuk memberikan informasi baru terhadap aspek penyosohan biji pearl millet sehingga dapat
diaplikasikan secara baku untuk keperluan industri pangan. Selain derajat sosoh, rendemen biji tersosoh juga perlu diketahui sebagai informasi jumlah biji jewawut hasil sosoh yang selanjutnya
dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengolahan biji jewawut menjadi pangan tertentu. Jenis jewawut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pearl millet dengan pertimbangan varietas ini
dinilai cukup produktif dan cukup banyak ditanam di Indonesia. Selain itu varietas ini tidak perlu diairi dan dipupuk secara intensif Yanuwar, 2009.
Penentuan derajat sosoh untuk waktu sosoh 100 detik dilakukan dengan melakukan penyosohan 100 detik dan mencari waktu sosoh biji pearl millet tersosoh sempurna. Keadaan biji
tersosoh sempurna ini ditunjukkan dengan tidak adanya lagi lapisan kulit yang membungkus biji. Oleh sebab itu, sejumlah biji pearl millet disosoh pada enam waktu sosoh yang berbeda, yakni 0
detik tidak disosoh, 100 detik waktu sosoh optimum berdasarkan Yanuwar 2009, 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik. Hal ini dilakukan guna mencari waktu sosoh yang
memberikan penampakan biji tersosoh sempurna, yang adalah pada waktu sosoh 300 detik. Hasil produk sampingan dari proses penyosohan ditimbang secara terpisah dengan biji
pearl millet yang telah tersosoh. Selanjutnya masing-masing data produk sampingan di setiap waktu sosoh dan produk sampingan dari penyosohan selama 300 detik dimasukkan di dalam
persamaan 1.1 untuk mendapatkan derajat sosoh dalam persentase. Contoh perhitungan derajat sosoh dan rendemen biji pearl millet dengan waktu sosoh 100 detik disajikan pada Lampiran 16.
Perolehan persentase derajat sosoh yang diperoleh dalam penelitian ini untuk waktu sosoh 0 detik, 100 detik, 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik secara berurutan adalah 0.00, 27.27,
45.45, 63.63, dan 100. Derajat sosoh untuk biji pearl millet pada waktu sosoh 100 detik adalah sebesar 27.27
yang berarti masih ada 72.73 lapisan aleuron yang masih melapisi biji pearl millet. Hal ini membuktikan perolehan data aktivitas antioksidan yang dilakukan dalam penelitian Yanuwar
2009 karena pada lapisan aleuron tersebut masih terdapat banyak komponen bioaktif yang bermanfaat sebagai senyawa antioksidan, seperti senyawa-senyawa asam fenolik dan golongan
flavonoid Dykes dan Rooney, 2006. Rendemen biji tersosoh selama 100 detik adalah sebesar 90.67 yang menunjukkan masih banyaknya jumlah biji jewawut tersosoh yang dapat
dimanfaatkan selanjutnya dalam proses pengolahan pangan, yakni 136 g biji jewawut tersosoh dari 150 g biji jewawut awal yang masuk dalam alat penyosoh. Penampakan biji-biji pearl millet yang