Tinjauan Empiris TINJAUAN PUSTAKA

perkotaan dan pedesaan, rumahtangga diklasifikasikan menjadi tinggi, menengah, dan rendah menurut status ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan pangsa pedesaan berpendapatan rendah dan sedang signifikan lebih tinggi dibandingkan empat rumahtangga lainnya. Pada saat yang sama, kelompok berpenghasilan rendah perkotaan merupakan kantong kemiskinan di kawasan perkotaan. Sektor pertanian dan pertambangan memberikan dampak paling besar terhadap pengurangan kemiskinan total diikuti oleh transportasi dan jasa, dan manufaktur. Pengolahan makanan, tekstil, tenun, kulit dan kayu memiliki dampak pengentasan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan kertas, listrik bahan kimia, atau konstruksi. Ini kemungkinan besar merupakan refleksi dari perbedaan di antara sektor-sektor dalam hal keterkaitan ke belakang dan penggunaan tenaga kerja tidak terampil di Afrika Selatan Pengentasan kemiskinan untuk beberapa sektor industri seperti konstruksi, bahan kimia dan listrik sangat rendah hal ini disebabkan masyarakat miskin Afrika tidak dipekerjakan secara signifikan di sektor ini. Implikasi kebijakannya adalah orang Afrika miskin harus dibawa ke dalam proses industrialisasi secara langsung. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan kualitas sumberdaya manusia sehingga rekomendasi kebijakan jangka panjang yang diambil adalah pendidikan dan pelatihan kepada penduduk Afrika miskin. Hafizrianda 2007, melakukan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan Perekonomian Regional Provinsi Papua dengan alat analisis SNSE. Ada tiga yang menjadi tujuan berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, yaitu: 1 menganalisis peranan dari sektor-sektor ekonomi yang berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, 2 mengukur dan menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antara sektor-sektor ekonomi, rumahtangga dan tenaga kerja di provinsi Papua, 3 menganalisis dampak pembangunan sektor-sektor ekonomi berbasis pertanian terhadap penurunan ketimpangan pendapatan di Propinsi Papua. Alat analisis yang digunakan adalah analisis multiplier SNSE, dekomposisi multiplier SNSE, structural path analysis SNSE, Theil-index dan L-index. Penelitian ini melakukan pemutahiran Tabel Input Output Papua menjadi tahun 2003, yang kemudian menjadi dasar untuk membangun SNSE Papua. Neraca SNSE Papua dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neraca endogen dan eksogen. Neraca endogen terdiri atas blok neraca faktor produksi, blok neraca institusi, dan blok neraca aktivitas produksi. Faktor produksi terdiri atas tenaga kerja dan modal, di mana tenaga kerja didisagregasi menjadi tenaga kerja papua dan nonpapua. Institusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: rumahtangga rumahtangga desa berpendapatan rendah, rumahtangga desa pendapatan sedang, rumahtangga desa pendapatan tinggi, rumahtangga kota pendapatan rendah, rumahtangga kota pendapatan sedang, dan rumahtangga kota pendapatan tinggi dan institusi lainnya swasta dan pemerintah. Sedangkan aktivitas produksi meliputi 20 sektor dengan fokus utama pada sektor-sektor berbasisi pertanian. Neraca eksogen dipisah menjadi neraca kapital capital account, neraca pajak tak langsung indirect tax account, dan neraca rest of the world. Sebagai catatan, masuknya pemerintah ke dalam neraca endogen menyebabkan simulasi pengeluaran pemerintah tidak dapat dilakukan, sehingga simulasi hanya bergantung pada peran swasta saja. Data-data yang diperlukan untuk membangun SNSE Papua adalah hasil pemutahiran tabel input-output Papua tahun 2003, pengeluaran konsumsi penduduk Papua tahun 2002, statistik penduduk Papua tahun 2003, SNSE Indonesia tahun 2002, Survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga SKTIR tahun 2003, susenas 2003 dan statistik keuangan Papua 20022003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di Provinsi Papua. Hal ini dapat dilihat dari sebagian hasil simulasi yang menunjukkan bahwa sektor berbasis pertanian mampu mengurangi ketimpangan pendapatan dalam perekonomian Papua. Rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah redistribusi pendapatan yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horisontal. Berdasarkan Tabel Input-output 1993-1994, Fontana dan Wobst 2001 membangun sebuah SNSE Bangladesh dengan membagi tenaga kerja berdasarkan gender. SNSE yang dibangun terdiri atas 43 sektor dengan fokus analisis pada 10 sektor pertanian dan 19 sektor industri. Neraca institusi dibagi kedalam dua belas kelompok sosial-ekonomi untuk mempertajam analisis kesejahteraan rumahtangga dan kemiskinan. Sedangkan faktor produksi terdiri atas sepuluh yaitu modal, tanah dan delapan jenis tenaga kerja yang dipilah berdasarkan tingkat pendidikan dan gender. Dengan dipilahnya tenaga kerja maka SNSE yang dibangun dapat menjadi dasar untuk analisis sensitif gender ketika terjadi perubahan kebijakan. Tenaga kerja yang dipilah terdiri atas delapan kategori, yaitu: tenaga kerja perempuan tak terdidik, tenaga kerja perempuan berpendidikan rendah, tenaga kerja perempuan berpendidikan sedang, tenaga kerja perempuan berpendidikan tinggi, tenaga kerja laki-laki tak terdidik, tenaga kerja laki-laki berpendidikan rendah, tenaga kerja laki-laki berpendidikan sedang, tenaga kerja laki-laki berpendidikan tinggi. Dikatakan tidak terdidik jika tidak pernah mengikuti pendidikan formal, dikatakan berpendidikan rendah jika lama pendidikan antara 1-5 tahun, dikatakan berpendidikan sedang jika lama sekolah antara 5-10 tahun, dan dikatakan berpendidikan tinggi jika lama sekolah di atas 10 tahun. Wanjala dan Were 2010 meneliti tentang ketimpangan gender dan pertumbuhan ekonomi di Kenya dengan menggunakan SNSE. Penelitian ini menganalisis dampak investasi dari berbagai sektor terhadap pendapatan tenaga kerja di Kenya. Alat analisis yang digunakan adalah matriks pengganda SNSE, di mana SNSE yang digunakan memilah tenaga kerja berdasarkan gender sehingga diperoleh hasil penelitian yang responsif gender. Ketimpangan gender memang sudah ada di Kenya, hanya saja implementasi kebijakan yang buta gender dapat melanggengkan ketidaksetaraan gender di Kenya. Reformasi kebijakan Kenya bertujuan untuk meningkatkan peran swasta sehingga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan di sektor swasta yang sebagaian besar adalah sektor informal. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana ketimpangan di pasar tenaga kerja Kenya dan struktur ekonomi menjadi penentu terbesar yang menciptakan ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian Kenya memberikan dampak peningkatan tertinggi terhadap pendapatan tenaga kerja terutama tenaga kerja laki-laki terampil, sementara sektor industri tertinggi dalam persentase peningkatan lapangan kerja. Walaupun perempuan banyak diuntungkan oleh penciptaan tanaga kerja tersebut, tetapi lebih besar terjadi pada sektor informal. ketimpangan gender di Kenya adalah gambaran dari adanya ketimpangan di pasar tenaga kerja dan struktur sosial ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang ditujukan mengatasi kendala yang membatasi partisipasi efektif perempuan dalam Kenya pasar tenaga kerja, termasuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan keterampilan perempuan, adalah penting agar perempuan dan laki- laki memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati peningkatan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 10. Kerangka pemikiran dimulai dari adanya penetapan target pertumbuahan ekonomi dalam rencana pembangunan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu tujuan perekonomian yang selalu dikejar oleh setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia selalu menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam rencana pembangunannya baik dalam rencana pembangunan jangka panjang RPJP nasional, jangka menengah RPJM nasional, ataupun jangka pendek berupa rencana kerja pemerintah RKP. Berbagai usaha dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan tersebut. Ketika ekonomi tumbuh, maka terjadi peningkatan produksi barang dan jasa. Tambahan barang dan jasa tersebut memerlukan sejumlah tambahan tenaga kerja. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi maka semakin banyak barang dan jasa yang dihasilkan, selanjutnya semakin banyak pula tenaga kerja yang terserap. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai cara terbaik untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Demikian juga halnya dengan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah meningkatkan produksi barang dan jasa, sehingga memerlukan tambahan tenaga kerja untuk memproduksinya. Pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah tersebut akan meningkatkan tenaga kerja, baik laki-laki ataupun perempuan. Sebagian pekerja tersebut akan terserap sebagai pekerja formal yang memiliki upah layak dengan tunjangan kerja dan asuransi kesehatan. Sedangkan sebagian lagi akan terserap sebagai pekerja informal dengan upah relatif lebih rendah tanpa fasilitas perlindungan sosial berupa tunjangan kerja dan asuransi kesehatan seperti pada pekerja formal, sehingga rawan terhadap kemiskinan. Apabila proporsi tenaga kerja formal dan informal dihitung berdasarkan kelompok jenis kelamin, maka akan ditemukan gap. Gap tersebut merupakan indikator adanya ketimpangan gender. Gambar 10. Kerangka Pemikiran Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran Pemerintah sektoral Kebijakan PUG Produksi barang dan jasa Penyerapan Tenaga Kerja Pekerja Formal dan Informal Laki-laki Perempuan Proporsi TK Formal PF Proporsi TK Informal PI Proporsi TK Informal LI Proporsi TK Formal LF Gap: LFPF Ketimpangan Gender Gap: PFPI Target Pertumbuhan Ekonomi dalam RPJP, RPJM dan RKP Pasar tenaga kerja dikatakan timpang jika proporsi perempuan pekerja formal lebih kecil dari laki-laki. Atau sebaliknya, proporsi perempuan pekerja informal lebih besar dari laki-laki. Artinya, dibandingkan laki-laki, perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja dengan upah rendah tanpa fasilitas tunjangan dan asuransi. Kajian teoritis dan empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkatkan penyerapan tenaga kerja total, tetapi tenaga kerja perempuan cenderung terserap sebagai pekerja informal dan kurang terwakili sebagai pekerja formal dibandingkan laki-laki. Demikian juga dengan Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang terbukti mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja terindikasi memunculkan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Terkait dengan pengeluaran pemerintah, pemerintah memiliki andil besar dalam memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja tersebut, terutama melalui kebijakan pengeluarannya. Melalui Inpres No 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, seharusnya kebijakan pengeluaran pemerintah akan lebih responsif gender, yaitu lebih memperhatikan dampak pengeluaran pemerintah tersebut terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan termasuk kebutuhan dalam hal pekerjaan. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah yang responsif gender tersebut akan memberikan dampak terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pengeluaran pemerintah yang responsif gender seharusnya mampu meningkatkan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi formal. Inpres No 9 Tahun 2000 menguraikan dengan jelas tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Indonesia dimana setiap program pembangunan harus mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

3.2. Hipotesis

1. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja informal dibandingkan formal. 2. Pertumbuhan ekonomi menimbulkan adanya ketimpangan gender gap, karena proporsi perempuan pekerja informal lebih besar daripada laki-laki.