Tinjauan Teoretis 1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender

anggapan peran sosial laki-laki dan perempuan. Prosesnya cukup panjang sehingga gender lambat laun seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan tidak dapat diubah lagi. Padahal sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antar tempat. Selanjutnya menurut Mosse 1993, gender menentukan kehidupan individu ke depannya. Gender dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan sumber daya. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak. Gender akan menentukan hubungan dan kemampuan kita untuk membuat keputusan. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk individu akan menjadi apa nantinya.

2.1.2. Landasan Hukum Kesadaran Gender

Konferensi Internasional pertama tentang perempuan diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975. Pada konferensi itu hak-hak perempuan dibicarakan sebatas upaya meninjau kembali aturanperundangan yang ada sesuai dengan instrumen internasional yang ada dan bagaimana memperkuatnya. Di konferensi internasional di Mexico City ini untuk pertama kalinya dilaksanakan pertemuan NGO internasional yang berlangsung secara paralel dengan pertemuan resmi delegasi antarnegara. Topik-topik yang dibicarakan pada konferensi pertama adalah peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, perlakuan yang lebih baik terhadap tenaga kerja perempuan yang mencerminkan prinsip-prinsip dalam konfensi ILO, kesehatan dan pendidikan, konsep keluarga dalam masyarakat modern, kependudukan dan tren demografi, perumahan dan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan itu, dan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi situasi sosial seperti kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial, perempuan migran, orang tua, kriminalitas perempuan, prostitusi, dan trafficking. Konferensi ini menghasilkan world plan for action, yaitu suatu program untuk jangka waktu sepuluh tahun. Sasarannya adalah agar dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut perempuan dapat mencapai kemajuan sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan pembangunan. Konferensi internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen pada Tahun 198 0. Tema yang dibahas dalam konferensi adalah “ pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan”. Hal terpenting dari konferensi kedua ini adalah diadopsinya “konvensi perempuan” sebagai dokumen internasional yang dapat diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 165 negara anggota PBB. Konvensi ini merupakan dokumen internasional yang penting dalam menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum bagi perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam lingkup domestik dan dalam lingkup keluarga. Konvensi ini mencerminkan seperangkat nilai dan norma sekaligus instrumen yang prinsip-prinsipnya memungkinkan dipenuhi oleh negara yang meratifikasi. Konferensi internasional yang kedua i ni juga menghasilkan “ Conpenhagen Programme for Action” yang difokuskan untuk mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan melalui peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga kerja dan mendukung peran perempuan di bidang pertanian. Konferensi ketiga di Nairobi pada tahun 1985 mengambil tema “equity, development and peace ”. Tujuan dari konferensi ketiga ini adalah untuk meninjau pencapaian dari satu dekade kesetaraan gender dan mencatat kemajuan yang telah dicapai. Hasil d ari konferensi ini adalah “Nairobi Forward Looking Strategies for the Advancement of Women ” to the year 2000. Dokumen tersebut masih menyoroti fakta bahwa masih didapati ketidaksetaraan gender, kemiskinan massal dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di muka bumi terutama di banyak negara-negara berkembang. Konferensi Internasional keempat tentang perempuan berlangsung di Beijing pada tahun 1995. Hasil konferensi keempat ini adalah penegasan secara global mengenai peran sentral dari Hak Asasi Manusia HAM untuk perjuangan ke arah kesetaraan gender. Konferensi ini menghasilkan Beijing Platform for action BPFA yang melipui 12 bidang kritis keprihatinan critical point of concern, yaitu perempuan dan kemiskinan, perempuan dan pendidikan serta pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, perempuan dan politik dan pengambilan keputusan, HAM perempuan, mekanisme institusional, perempuan dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, dan hak anak perempuan. Selanjutnya, komitmen mengkonkretkan penanganan kualitas hidup penduduk termasuk perempuan dilanjutkan dengan lahirnya deklarasi Millenium Development Goals MDGs. MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dalam Konferensi Tingkat Tinggi KTT Milenium PBB bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 552 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa ARES552. United Nations Millennium Declaration. Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Dampak berbagai komitmen internasional tersebut terhadap Indonesia adalah dibentuknya kementerian untuk meningkatkan status dan kondisi perempuan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peningkatan Wanita Menmud-UPW tahun 1978 dalam rangka menindaklanjuti konferensi perempuan pertama di Mexico tahun 1975. Kementerian ini terus mengalami metamorfosis yang sampai sekarang dikenal dengan kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kemeneg PP-PA. Selanjutnya, menyadari perlunya penegakan keadilan dalam perbaikan kualitas hidup penduduk, terutama perempuan maka pemerintah pada tahun 2000 telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender PUG di segala bidang pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan pejabat daerah untuk melaksanakan PUG agar perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian kebijakan dan program pembangunan menjadi responsif gender. Untuk memperkuat aturan pengarusutamaan gender ke dalam semua aspek pembangunan, maka dikeluarkanlah permenndagri No. 123 tahun 2003. Kemudian, tahun 2008 dikeluarkan Inmendagri No. 15 untuk menggantikan permenndagri No. 123 tahun 2003 sebagai pedoman umum pelaksanaan PUG di daerah. Berikutnya pada tahun 2010, perencanaan dan penganggaran responsif gender sudah menjadi agenda nasional dan penyosialisasikannya ke daerah- daerah dilakukan oleh kemeneg PP-PA. Selain itu, tahun 2000 Indonesia ikut meratifikasi komitmen internasional untuk mencapai tujuan global yang dikenal dengan Millenium Development Goals MDGs. Indonesia mempunyai kewajiban melaporkan progres pencapaian MDG setiap tahunnya, di mana butir- butir MDGs tersebut dapat dicapai salah satunya melalui kesetaraan gender.

2.1.3. Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja

Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk usia kerja 15 tahun dan lebih yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja dan pengangguran. Selanjutnya, tenaga kerja adalah seseorang yang bekerja paling sedikit 1 jam tidak terputus dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usahakegiatan ekonomi. Pasar tenaga kerja terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan untuk dipekerjakan. Sedangkan penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang siap untuk disediakan. Terkait dengan permintaan tenaga kerja, perusahaan yang diasumsikan hendak memaksimalkan keuntungan akan membayar tenaga kerja sebesar value marginal product VMP. Oleh karena itu, kurva permintaan tenaga kerja merupakan kurva VMP. Sumber: Bellante dan Jackson 1990 Gambar 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja Permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersama- sama menentukan tingkat upah dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Pada Gambar 2 tampak bahwa tingkat upah keseimbangan W 1 dan tingkat penggunaan tenaga kerja keseimbangan L 1 ditentukan oleh interaksi kurva permintaan tenaga kerja D 1 =VMP 1 dengan kurva penawaran tenaga kerja S. Apabila permintaan tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi D 2 , maka akan terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja sebesar L 3 -L 1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar W 2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L 2 . Selanjutnya, apabila penawaran tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi S 2 Gambar 3, maka akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar L 3 -L 1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih rendah yaitu sebesar W 2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L 2 . Sumber: Bellante dan Jackson 1990 Gambar 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja

2.1.4. Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender

Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menyebabkan ketimpangan gender di mana salah satu gender mengalami kerugian dari kebijakan pembangunan misalnya tidak memiliki kesempatan yang sama dalam kepemilikan sumber daya, pendidikan dan pasar tenaga kerja.

a. Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja

Ketimpangan gender antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan dapat dikaji berdasarkan karakteristik produktif identik. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul karena adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kesamaan karakteristik produktif. Ketimpangan gender juga dapat dikaji antara laki-laki dan perempuan pada pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul ketika salah satu jenis kelamin terwakili secara berlebih pada segmen yang tidak menguntungkan. Ketimpangan Gender Berdasarkan Karakteristik Produktif yang Identik Menurut Bellante dan Jackson 1983, diskriminasi pasar tenaga kerja berdasarkan gender terjadi jika pekerja yang memiliki karakteristik produktif identik tetapi diperlakukan berbeda karena berasal dari jenis kelamin tertentu. Diskriminasi tersebut merupakan sumber ketimpangan gender yang terjadi antara pekerja laki-laki dan perempuan. Diskriminasi berdasarkan gender di dalam pasar tenaga kerja dibagi ke dalam dua bentuk yaitu diskriminasi upah wage discrimination dan diskriminasi pekerjaan occupational discrimination. Diskriminasi Upah Wage Discrimination Diskriminasi upah terjadi jika perusahaan membayar pekerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan kondisi memiliki lama pengalaman yang sama dan bekerja di bawah kondisi yang sama di pekerjaan yang sama. Ilustrasi diskriminasi upah dapat dilihat pada Gambar 4. Sumber: Bellante dan Jackson 1990 Gambar 4. Dampak Diskriminasi Upah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan Permintaan tenaga kerja perempuan ditentukan oleh rasio upah perempuan terhadap upah laki-laki W f W m . Perusahaan yang tidak diskriminatif akan menyamakan upah antara pekerja perempuan W f dan laki-laki W m . Sedangkan perusahaan yang diskriminatif akan menetapkan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perusahaan yang diskriminatif memiliki ukuran yang berbeda-beda W f W m S 1 S 2 A 0.75 1.0 D N 2 N N 1