Pengarusutamaan Gender TINJAUAN PUSTAKA

Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender, oleh pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksaaan pengarusutamaan gender dibebankan kepada: 1 anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara APBN untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat, 2 Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara APBD untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Daerah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender secara berkala kepada Presiden. Laporan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender meliputi: 1 hambatan-hambatan yang tejadi, 2 upaya-upaya yang telah dilakukan, dalam mengatasi hambatan yang terjadi, dan 3 hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender. Anggaran Responsif Gender Dalam rangka mempertegas pengarusutamaan gender dalam pembangunan, maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 104 Tahun 2010. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2010, Anggaran Responsif Gender ARG adalah anggaran yang memberimengakomodasi terhadap 2 dua hal: 1. Keadilan bagi perempuan dan laki-laki dengan mempertimbangkan peran dan hubungan gendernya dalam memperoleh akses, manfaat dari program pembangunan, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya; 2. Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terhadap kesempatanpeluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan. ARG bukan suatu pendekatan yang berfokus pada klasifikasi anggaran. ARG lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran. Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam programkegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat ketimpangan gender. ARG bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu ARG melekat pada struktur anggaran program, kegiatan, dan output yang ada dalam RKA-KL. Suatu output yang dihasilkan oleh kegiatan akan mendukung pencapaian hasil outcome program. Hanya saja muatan subtansimateri output yang dihasilkan tersebut dilihat dari sudut pandang perspektif gender. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran responsif gender yaitu: 1. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil kebutuhan setiap warga negara dari berbagai kelompok yang berbeda, baik laki-laki maupun perempuan keadilan dan kesetaraan gender 2. Bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk pengarusutamaan gender, tapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan. Prinsip tersebut mempunyai arti: a. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan b. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatani ketimpangan status peran dan tanggung jawab laki-laki, perempuan serta kelompok lain c. ARG bukanlah dasar yang “valid” untuk meminta tambahan alokasi anggaran d. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan untuk program perempuan e. Bukan berarti bahwa alokasi ARG berada dalam program khusus pemberdayaan perempuan f. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50 laki-laki – 50 perempuan untuk setiap kegiatan g. Tidak harus semua program dan kegiatan perlu mendapat koreksi agar menjadi responsif gender

c. Desentralisasi Fiskal

Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan top down di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Menurut Said 2004, sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk sektor-sektor penting di daerah. Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah diganti dengan Undang-Undang RI No. 34 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah diganti dengan Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004. Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi otonomi daerah tersebut adalah penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan kecuali untuk beberapa urusan yang masih menjadi bagian pemerintah pusat, yaitu: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama Otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah leluasa untuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dana perimbangan, yaitu berupa: 1 peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, 2 peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan 3 pelimpahan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil Untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil by origin. Bagi hasil tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Dari Tabel 7 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan IHH, provisi sumber daya hutan PSDH, royalti dan land rent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk beberapa pos.