Desentralisasi Fiskal TINJAUAN PUSTAKA

penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan kecuali untuk beberapa urusan yang masih menjadi bagian pemerintah pusat, yaitu: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama Otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah leluasa untuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dana perimbangan, yaitu berupa: 1 peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, 2 peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan 3 pelimpahan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil Untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil by origin. Bagi hasil tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Dari Tabel 7 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan IHH, provisi sumber daya hutan PSDH, royalti dan land rent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk beberapa pos. Tabel 7. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 No. Jenis Penerimaan Lama Baru Pusat Prop Kab Kota Pusat Prop Semua Kab Kota Kab Kota Penghasil Kab Kota Lain I Bagian daerah 1. Pajak bumi bangunan PBB 2. Bea perolehan atas tanah bangunan BPHTB 3. Pajak penghasilan PPh perorangan 4. SDA kehutanan: - Iuran hasil hutan IHH - Provisi sumber daya hutan PSDH 5. SDA pertambangan umum: - royalti 3.3 dari 13.5 batu bara + emas - landrent iuran tetap 6. SDA migas: - royalti migas a. Minyak bumi b. gas alam 7. Agraria 8. Royalti perikanan - pungutan pengusaha perikanan PPP pungutan hasil perikanan PHP 10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 - 16.2 16 20 30 70 16 16 - - 40 - 64.8 64 - 15 - 64 64 - - 20 - 10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16.2 16 20 16 16 16 16 3 6 - - 64.8 64 - - - - - - - - 80 - - - 64 32 32 64 6 12 - - - - - - 32 32 - 6 12 - - II DAU SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - - III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan Sumber: Tambunan 2001 Dana Alokasi Umum Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal horizontal imbalance antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah bangunan, dan pajak penghasilan perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Menurut Tambunan 2001, setelah otonomi dana alokasi umum sebelumnya dikenal dengan istilah dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah meningkat signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan. Dana Alokasi Khusus Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: 1 kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasiprasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2 kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut Sidik, 2002. Desentralisasi fiskal menyebabkan dana transfer dari pemerintah pusat dan daerah meningkat cukup tinggi. Akhmad 2012 menunjukkan bahwa DBH dan DAU meningkat sekitar Rp 22 triliun dan Rp 61 miliar dari sebelumnya sebesar Rp 4 triliun dan Rp 15 triliun. Meskipun DAK mengalami penurunan menjadi Rp 1 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 10 triliun, tetapi secara keseluruhan total dana perimbangan mengalami peningkatan sebesar 184 persen. Peningkatan dana perimbangan tersebut terjadi di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Barbara 2008 menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal, dana perimbangan kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah meningkat menjadi Rp 544 miliar dari sebelumnya sebesar Rp 246 miliar, atau naik sebesar 121.32 persen. Rindayati 2009 menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan rata-rata dana perimbangan daerah Jawa Barat meningkat menjadi Rp 3 triliun 2001-2005 dari sebelumnya sebesar Rp 0.4 triliunr 1995-2000, atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 571 persen. Berikutnya, Astuti 2007 menggambarkan bahwa kebijkan desentralisasi fiskal menyebabkan rata-rata penerimaan dana perimbangan kabupaten dan kota di Bengkulu meningkat dari Rp 129 miliar 1998-2000, menjadi Rp 372 miliar 2001-2003, atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 190 persen. Terakhir, Panjaitan 2006 menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan dana perimbangan pemerintah daerah Sumatera Utara naik sekitar 41 persen.

2.1.7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja dapat dianalisis dengan menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE. Alat analisis yang sama digunakan oleh Wanjala dan Were 2010 untuk mengkaji dampak investasi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Kenya. Daryanto dan Hafizrianda 2010 menjelaskan SNSE sebagai berikut. Tabel input-output adalah komponen dasar untuk membentuk SNSE. Apabila variabel endogen tabel input-output terdiri dari faktor produksi dan sektor produksi, maka SNSE melengkapinya dengan menambahkan satu variabel endogen yaitu institusi. Adanya variabel institusi ini menyebabkan SNSE mampu menganalisis distribusi pendapatan ketika variabel eksogen berubah.

a. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Kerangka dasar pembentukan SNSE adalah berbentuk matriks dengan ukuran 4x4, yang berbasis pada neraca-neraca pelaku ekonomi actors yang telah dikonsolidasikan. Bentuk dari matriks yang menggambarkan perilaku dari pelaku- pelaku ekonomi dalam bentuk berbagai transaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kerangka Dasar SNSE Pengeluaran Penerimaan Neraca Endogen Neraca Eksogen Jumlah Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi 1 2 3 4 5 Ne ra ca Endoe n Faktor Produksi 1 T 13 X 1 Y 1 Institusi 2 T 21 T 22 X 2 Y 2 Sektor produksi 3 T 32 T 33 X 3 Y 3 Neraca eksogen 4 L 1 L 2 L 3 L 4 Y 4 Jumlah 5 Y’ 1 Y’ 2 Y’ 3 Y’ 4 Sumber: Daryanto dan Hafizrianda 2010 Tabel 8 ini merupakan tabel contoh yang sangat ringkas yang tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana sistem data ini bekerja. Susunan angka- angka yang terlihat pada tabel merupakan suatu sistem neraca, di mana pada setiap angka yang ada pada sel-sel matriks mencerminkan hubungan antara transaksi pada satu neraca dengan transaksi pada neraca yang lainnya. Dalam kerangka SNSE terdapat 4 neraca utama, yaitu: 1. Neraca faktor produksi, 2. Neraca institusi, 3. Neraca sektor produksi, dan 4. Neraca lainnya rest of the world Masing-masing neraca tersebut menempati satu lajur baris dan satu lajur kolom. Isian pada setiap lajur baris menjelaskan tentang struktur penerimaan, sedangkan isian pada setiap lajur kolom menjelaskan tentang struktur pengeluaran. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lainnya memberikan arti tersendiri. Tabel 9 memberikan arti secara singkat mengenai masing-masing perpotongan tersebut. Tabel 9. Arti Hubungan Antarneraca dalam Kerangka SNSE Pengeluaran Penerimaan Neraca Endogen Neraca Eksogen Jumlah Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi 1 2 3 4 5 Ner ac a E n d o en Faktor Produksi 1 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi Pendapatan faktor produksi dari luar negeri Distribusi pendapatan faktorial Institusi 2 Alokasi pendapatan faktor ke institusi Transfer antar institusi Transfer dari luar negeri Distribusi pendapatan institusional Sektor produksi 3 Penerimaa n domestik Penerimaan antara Ekspor dan investasi Total output menurut sektor produksi Neraca eksogen 4 Alokasi pendapatan faktor ke luar negeri Tabungan pemerintah swasta dan rumahtang ga Impor dan pajak tak langsung Transfer lainnya Total penerimaan neraca lainnya Jumlah 5 Distribusi pengeluaran faktor Distribusi pengeluara n institusi Total input Total pengeluaran lainnya Sumber: Daryanto dan Hafizrianda 2010 Neraca SNSE dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu neraca endogen dan neraca eksogen. Neraca endogen terdiri dari neraca sub-sistem faktor produksi, neraca institusi kecuali pemerintah, neraca sektor produksi, dan neraca komoditas. Sedangkan yang dikelompokkan dalam neraca eksogen adalah neraca atau variabel yang dapat dijadikan alat untuk mengatur kebijaksanaan policy tools oleh pemerintah atau variabel yang sulit dikontrol di luar jangkauan model, yang meliputi neraca pemerintah, neraca kapital, pajak tak langsung neto, dan neraca luar negeri.

b. Keterkaitan Antarindustri

Ketika kita berbicara tentang guncangan sisi permintaan eksogen untuk ekonomi, kita mengacu kepada perubahan ekspor permintaan, pengeluaran pemerintah, atau investasi permintaan. Dampak guncangan ini memiliki baik