Pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia

(1)

BETRIXIA BARBARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

dengan disertasi saya yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia” merupakan gagasan atas hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukkannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2013

Betrixia Barbara NRP. H363080091


(3)

BETRIXIA BARBARA. Economic Growth, Government Expenditure and Gender Inequality in the Labor Market of Indonesia (D. S PRIYARSONO as Chairman, WILSON HALOMOAN LIMBONG and RATNA WINANDI as Commission Members)

The determination of economic growth target is quite effective in encouraging Indonesian economy to grow positively. Economic growth is certainly able to provide new jobs, but it is not always able to deal with gender inequality in the labor market in Indonesia, and the government indeed has a major role in reducing the gender inequality. Further investigation is undoubtedly necessary to find out whether the Indonesian government expenditure can improve the gender inequality in the labor market. The aims of this study were (1) to analyze the impact of the economic growth target on employment in Indonesia, (2) to analyze the impact of the economic growth target on gender inequality in the labor market in Indonesia and (3) to analyze the impact of the government spending on gender inequality in the labor market in Indonesia. The study was conducted in the Indonesian scope, and the data used were secondary data in form of SNSE table of Indonesia from BPS 2008. The table was adapted to the purpose of the research, resulting in 42x42 matrix, with the production factor of labor being broken up based on gender, education, and employment formality. This study concluded that sectoral economic growth target showed that there was a gender inequality because women had less opportunity to seek employment in the formal sector largely due to their low education and dual roles. It is the dual roles which eventually lead many well-educated women to choose careers in the informal economic sector so that they can still play their role as a mother, that is, taking care of their family. Although the government spending was not free from gender inequality in which more women were absorbed in the informal sector, the sectoral government spending had been admittedly able to reduce the existing gap in the Indonesian labor market.

Key words: economic growth, government expenditure, gender inequality, labor market


(4)

Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia (D. S PRIYARSONO sebagai Ketua, WILSON HALOMOAN LIMBONG dan RATNA WINANDI sebagai Anggota Komisi)

Penetapan target pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan lapangan kerja baru tetapi belum diketahui bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pemerintah memiliki peran besar dalam mengurangi ketimpangan gender tersebut melalui kebijakan anggarannya. Kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) memberikan konsekuensi anggaran pemerintah Indonesia lebih responsif gender. Akan tetapi masih perlu diteliti lebih lanjut apakah pengeluaran pemerintah Indonesia tersebut mampu memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

Berdasarkan informasi tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, (2) menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia, dan (3) menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia.

Penelitian dilakukan pada lingkup Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun 2008 dari BPS. Tabel SNSE tersebut dimodifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian. SNSE yang telah dimodifikasi berupa matriks 42x42, dengan faktor produksi tenaga kerja dipilah berdasarkan gender, pendidikan, dan formalitas pekerjaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja informal yaitu sebesar 3.44 juta orang, sedangkan tenaga kerja formal hanya sebesar 1.67 juta orang. Meskipun tenaga kerja formal terserap lebih kecil, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5.24 persen. Sedangkan pekerja informal hanya meningkatkan sebesar 4.81 persen.

Penyerap tenaga kerja formal paling besar adalah sektor jasa. Sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja formal sebesar 1.14 juta orang, sedangkan sektor industri dan pertanian masing-masing hanya sebesar 0.34 juta orang dan 0.19 juta orang. Selain itu, sektor jasa memiliki potensi paling tinggi dalam mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja formal dengan persentase peningkatan sebesar 3.57 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 1.08 persen dan 0.59 persen.

Dilihat dari proporsinya, tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan proporsi lapangan pekerja formal yang memadai, yaitu hanya sebesar 32.69 persen. Proporsi tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja informalnya, yaitu dengan proporsi sebesar 67.31 persen.


(5)

28.91 persen, dan 36.49 persen. Sedangkan proporsi tenaga kerja informalnya masing-masing sebesar 76.45 persen, 71.09 persen dan sebesar 63.51 persen. Akan tetapi tenaga kerja informal tersebut hanya mengakumulasi total pendapatan yang jauh lebih kecil yaitu dengan proporsi pendapatan sektor pertanian sebesar 53.94 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing dengan proporsi sebesar 51.34 persen dan 46.09 persen.

Tingginya proporsi penyerapan tenaga kerja informal yang diikuti oleh rendahnya proporsi pendapatan kelompok pekerja tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh ketiga sektor utama lebih banyak menyerap tenaga kerja informal berpendapatan rendah yang rentan terhadap kemiskinan.

Tingginya proporsi tenaga kerja informal terkait erat dengan rendahnya mayoritas sumber daya pekerja Indonesia. Tampak bahwa tenaga kerja baru didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu sekitar 70 persen untuk semua sektor.

Bila dianalisis dari aspek gender diketahui bahwa secara nominal peningkatan tenaga kerja laki-laki sebesar 3.1 juta orang, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya sebesar 2.0 juta orang. Hal yang sama tampak pada pertumbuhan ekonomi sektoral. Tenaga kerja laki-laki yang terserap ketika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, industri dan jasa adalah masing-masing sebesar 0.41 juta orang, 0.70 juta orang, dan 1.99 juta orang. Sedangkan tenaga kerja perempuan masing-masing hanya sebesar 0.39 juta orang, 0.49 juta orang dan 1.13 juta orang.

Meskipun secara nominal perempuan terserap lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5,17 persen, sedangkan laki-laki hanya sebesar 4,81 persen. Persentase peningkatan lebih tinggi terutama untuk pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian dan industri (1.00 persen dan 1.26 persen). Sedangkan pada sektor jasa, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan hampir berimbang (3.09 persen dan 2.90 persen).

Akan tetapi, tingginya persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja perempuan tersebut belum dapat membuktikan bahwa ketimpangan gender tidak terjadi ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai. Apabila hasil analisis dipilah berdasarkan jenis kelamin dan formalitas pekerjaan, tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal sebesar 15.01. Gap tersebut disebabkan karena perempuan pekerja formal hanya sebesar 23.59 persen, lebih rendah dibadingkan laki-laki dengan proporsi sebesar 38.60 persen.

Hal yang sama tampak ketika pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap

kesempatan bekerja sebagai pekerja formal (pertanian: 17.02; industri: 15.72; jasa: 12.80). Gap ini disebabkan karena pekerja laki-laki lebih banyak terserap


(6)

tertumpuk sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara 71.67 persen- 85.19 persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi hanya sekitar 58.87 persen – 68.16 persen.

Tertumpuknya pekerja perempuan sebagai pekerja informal disebabkan karena tingginya jumlah pekerja perempuan berpendidikan rendah. Pada semua simulasi, proporsi perempuan pekerja informal berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan laki-laki (pertanian 75.13 persen; industri 67.24 persen; jasa 56.71 persen). Apabila dikaitkan dengan analisis sebelumnya, tampaknya peningkatan pendidikan perempuan masih belum mampu mengakomodasi sebagian besar tenaga kerja perempuan. Keterbatasan pendidikan menyebabkan banyak perempuan berakhir sebagai pekerja informal tanpa ikatan kerja resmi, perlindungan hukum dan asuransi.

Membaik atau memburuknya ketimpangan gender dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai gap simulasi dan nilai awalnya. Tampak bahwa ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, gap yang tercipta (15.01) lebih besar daripada gap awal (14,85). Artinya, tecapainya target pertumbuhan ekonomi tidak hanya menggambarkan ketimpangan gender, tetapi juga potensial memperbesar ketimpangan .

Kontribusi terbesar untuk memperlebar gap adalah sektor pertanian dan industri. Tampak bahwa tercapainya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan industri menunjukkan nilai yang lebih besar jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 17.02; industri 15.72; nilai awal 14.85).

Selanjutnya, sektor jasa merupakan sektor yang potensial memperkecil ketimpangan gender dengan gap sebesar 12.80, lebih kecil dari nilai awalnya. Salah satu penyebab kecilnya gap tersebut adalah karena ketika sekolah, perempuan cenderung memilih jurusan dalam sektor jasa yang memiliki lapangan kerja formal tingi diantara sektor lainnya.

Gap yang tercipta dari pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing sebesar 14.11, 14.10 dan 10.90. Gap ini menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara 68.77 persen- 85.32 persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi sekitar 57.87 persen – 71.21 persen.

Meskipun ada gap, tetapi pengeluaran pemerintah sektoral mampu memperbaiki ketimpangan gender. Tampak bahwa gap sektor pertanian, industri, jasa menunjukkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 14.11; industri 14.10; jasa 10.90; nilai awal 14.85). Hal ini menujukkan bahwa persentase peningkatan perempuan pekerja formal yang didorong pengeluaran pemerintah sektoral telah mampu memperbaiki ketimpangan gender yang terjadi di pasar tenaga kerja Indonesia.

Sebagai saran, sebaiknya program pembangunan yang didorong oleh kedua sektor tersebut sebaiknya menggunakan kajian gender yang lebih mendalam agar mampu mengurangi ketimpangan. Selanjutnya, perlu kesungguhan pemerintah daerah dalam menerapkan pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender untuk memperbesar dampaknya terhadap pengurangan ketimpangan gender di Indonesia.


(7)

@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantum atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(8)

BETRIXIA BARBARA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada

Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA; Staf Pengajar Dept. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS; Staf Pengajar Dept. Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Harianto; Staf Pengajar Dept. Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Siti Amanah, MSc; Staf Pengajar Dept. Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor


(10)

Nama Mahasiswa : Betrixia Barbara Nomor Induk Mahasiswa : H363080091

Program Studi/Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2013 Tanggal Lulus: Ir. D. S Priyarsono, Ph.D

Ketua

Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS Anggota

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Anggota


(11)

Nama Mahasiswa

Nomor Induk Mahasiswa Program Studi/Mayor

Betrixia Barbara H363080091

Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Ir. D. S Priyarsono, Ph.D Ketua

Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS Dr. Ir. Ratna W· andi, MS

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor IImu Ekonomi Pertanian

Dr. If. Sri Hartoyo, MS


(12)

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga saat ini Penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Judul disertasi penulis adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap kondisi ketimpangan gender yang tidak saja merugikan kaum perempuan, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Staf administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS yang telah menjadi penguji luar komisi sidang tertutup Penulis.

3. Dr. Ir. Harianto dan Ir. Siti Amanah, MSc yang telah menjadi penguji luar komisi sidang terbuka Penulis

4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 5. Ir. D. S Priyarsono, Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbingan, Prof. Dr. Ir.

Wilson Halomoan Limbong, MS, dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing Penulis dalam penyelesaian disertasi

6. Kedua orang tua, adik dan kakak di Palangka Raya

7. Teman-teman sekerja di Universitas Palangka Raya, terutama di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

8. Teman-teman kuliah di EPN, terutama S3 Angkatan 2008.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan. Namun Penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2013


(13)

Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 25 Januari 1980. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Selwi Lesa dan Ibu Lundiana Dansen.

Penulis menyelesaikan S1 pada Tahun 2003 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Tahun 2005 Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, dan selesai pada tahun 2008. Pada tahun 2008, Penulis kembali mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama. Saat ini penulis adalah Staf pengajar di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.


(14)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan teoretis ... 9

2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender ... 9

2.1.2. Landasan Hukum Kesadaran Gender ... 10

2.1.3. Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja ... 13

2.1.4. Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender ... 15

2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja ... 24

2.1.6. Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja ... 33

2.1.7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 43

2.2. Tinjauan Empiris ... 49

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran ... 55

3.2. Hipotesis ... 57

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian, Jenis dan Sumber Data ... 59

4.2. Metode Analisis ... 59


(15)

ii

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA ... 63

VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN 6.1. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 69

6.2. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja ... 74

6.3. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja ... 82

VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 87

7.2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(16)

iii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010 ... 5 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan

Jenis Kelamin di Indonesia, 2010 ... 5 3. Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal ... 21 4. Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS ... 22 5. Target Pertumbuhan Ekonomi 2010 – 2014 Menurut Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II ... 31 6. Target Pertumbuhan Ekonomi 2013 menurut Rencana Kerja

Pemerintah... 32 7. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah ...

Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ... 41 8. Kerangka Dasar SNSE ... 44 9. Arti Hubungan Antarneraca Dalam Kerangka SNSE ... 45 10. Nilai Injeksi Variabel Eksogen Untuk Mencapai Target Pertumbuhan

Ekonomi ... 60 11. Modifikasi Neraca Eksogen dan Endogen Secara Garis Besar ... 62 12. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Kerja Utama,

Tahun 2010 ... 63 13. Proporsi Tenaga Kerja Formal dan Informal Indonesia,

Tahun 2007-2010 ... 63 14. Proporsi Tenaga Kerja Formal dan Informal Berdasarkan Jenis

Kelamin di Indonesia, Tahun 2007-2010 ... 65 15. Tenaga Kerja Informal Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status

Pekerjaan Utama di Indonesia, Tahun 2010 ... 65 16. Proporsi Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Indonesia,

2007-2010 ... 66 17. Proporsi Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis

Kelamin di Indonesia, 2007-2010 ... 66 18. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap


(17)

iv

19. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas

Pekerjaan ... 70 20. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan

Pekerja ... 71 21. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Proporsi Peningkatan Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja

Berdasarkan Formalitas Pekerjaan ... 72 22. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi

Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat

Pendidikan ... 73 23. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan,

Tahun 2007 ... 73 24. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74 25. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan

pekerja ... 76 26. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas

Pekerjaan ... 77 27. Pertumbuhan Ekonomi, Pekerja Perempuan dan Upah Pekerja

Perempuan Indonesia, Tahun 2008-2010 ... 79 28. Persentase peningkatan Tenaga kerja Perempuan berdasarkan Tingkat

Pendidikan, Tahun 2008-2010 ... 79 29. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga

Kerja Indonesia ... 80 30. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga


(18)

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2005-2010 ... 4 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja ... 14 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja ... 15 4. Dampak Diskriminasi Upah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Perempuan ... 16 5. Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga

Kerja Perempuan ... 18 6. Struktur Ekonomi Informal ... 24 7. Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang Waktu

pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara ... 26 8. Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional ... 30 9. Kurva Perpotongan Keynesian ... 34 10. Dampak Pengeluaran Pemerintah dalam Jangka Pendek dan Penyerapan

Tenaga Kerja ... 35 11. Keterkaitan Transaksi dalam SNSE ... 47 12. Kerangka Pemikiran ... 56 13. Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja Formal dan Tenaga Kerja

Informal ... 64 14. Upah Tenaga Kerja Laki-laki dan Perempuan Indonesia,

2007-2010 ... 67 15. Proporsi Siswa SMK berdasarkan Jurusan dan Jenis kelamin ... 84


(19)

vi

Nomor Halaman

1. Klasifikasi SNSE Indonesia Berdasarkan Gender Ukuran 42x42 ... 91

2. Tabel SNSE Gender Indonesia Tahun 2008 ... 93

3. Matriks Pengganda (Mα)Dampak Tercapainya Target Pertubuhan Ekonomi ... 101

4. Matriks Pengganda (Mα)Dampak Pengeluaran Pemerintah ... 106

5. Perhitungan Koefisien Tenaga Kerja ... 111

6. Matriks Koefisien Tenaga Kerja (L ) ... 112

7. Perhitungan Target Pertumbuhan Ekonomi ... 117

8. Kejutan Eksternal (X*) untuk Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi (Y) ... 118

9. Hasil Simulasi Dampak Tercapainya Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja... 119

10. Hasil Simulasi Dampak Tercapainya Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ... 121

11. Hasil Simulasi Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ... 123


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan sejumlah tambahan tenaga kerja untuk memproduksinya. Oleh karena itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pentingnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan banyak negara yang secara rutin menargetkan pertumbuhan ekonominya, kemudian berusaha untuk mencapainya.

Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas hidup perempuan. World Bank (2011a) melaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia antara tahun 1980 dan 2008 berdampak terhadap mengecilnya gap partisipasi kerja antara perempuan dan laki-laki dari 32 persen menjadi 26 persen, tetapi perempuan lebih banyak terwakili sebagai pekerja informal dan pekerja dengan produktivitas rendah.

Hal senada diungkapkan Seguino (2000) yang menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Argumen ini didukung oleh penelitian Busse dan Spielmann (2006), yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki memiliki ekspor lebih tinggi pada industri padat karya. Selanjutnya, Wanjala dan Were (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal jika dibandingkan dengan laki-laki.

Terkait dengan pekerja informal, Chen (2007) menyatakan bahwa pekerja informal umumnya menerima upah yang rendah tanpa fasilitas tunjangan kerja dan asuransi kesehatan seperti yang diperoleh pekerja formal, sehingga rawan terhadap kemiskinan (Lindenthal, 2005). Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal tersebut merupakan salah satu bentuk dari ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.


(21)

Menurut Nazara (2009), keberadaan pekerjaan informal tidak bisa terhindarkan dan tidak selalu berarti buruk. Penyebabnya adalah karena pekerjaan informal merupakan alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Akan tetapi, karena sifat pekerjaan informal yang sering tidak menguntungkan pekerja, menyebabkan keberadaannya diharapkan sangat kecil. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan pekerjaan formal senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan suatu negara.

Pilihan sebagai pekerja informal menjadi keputusan terbaik bagi sebagian perempuan, alasannya adalah fleksibilitas waktu kerja. Fleksibilitas waktu tersebut perlu karena sebagian besar tenaga kerja perempuan masih harus menanggung pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak. Selain itu, pekerja informal tidak mensyaratkan pendidikan tinggi dan dapat dimulai atau diakhiri kapan saja (Hubeis, 2010).

Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal menyebabkan rata-rata upah perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki. Kerugian ekonomi bagi negara akibat rendahnya rata-rata upah perempuan tersebut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya. Kerugian ekonomi tersebut antara lain berupa hilangnya kesempatan untuk memaksimalkan akumulasi tabungan agregat. Floro dan Seguino (2003) berkesimpulan bahwa peningkatan pendapatan perempuan relatif terhadap laki-laki berdampak pada peningkatan tabungan agregat di 20 negara semi industri. Tingkat tabungan agregat yang tinggi merupakan sumber pembiayaan investasi yang mampu mendorong perekonomian.

Berikutnya adalah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang lebih tinggi. Qian (2008) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan perempuan di China berdampak terhadap peningkatan lama sekolah anak laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, generasi terdidik itu nantinya akan menjadi sumberdaya manusia yang mampu mendorong petumbuhan ekonomi.

Selanjutnya adalah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki gizi masyarakat. Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa kesempatan istri untuk memperoleh penghasilan akan mendukung program perbaikan gizi pada


(22)

masyarakat miskin. Pendapatan istri pada keluarga miskin umumnya akan dihabiskan untuk memenuhi pangan dan kebutuhan gizi keluarga terutama anak-anak.

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dapat menggunakan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, dan selanjutnya meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi tambahan permintaan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah yang sensitif gender diharapkan mampu memperbaiki ketimpangan di pasar tenaga kerja. Anggaran negara yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Anggaran responsif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi laki-laki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003).

1.2.Perumusan Masalah

Pemerintah Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi di dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, kemudian dijabarkan secara terinci dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional dan rencana kerja pemerintah (RKP). RPJP nasional merupakan rencana pembangunan periode dua puluh (20) tahunan, RPJM nasional merupakan rencana pembangunan periode lima (5) tahunan, sedangkan RKP merupakan rencana pembangunan periode satu (1) tahunan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang sangat penting, karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat seperti ketersediaan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu adanya target pertumbuhan ekonomi sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian. Ketika target pertumbuhan ekonomi ditetapkan, pemerintah akan mengaplikasikan berbagai kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut. Penetapan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya cukup efektif mengarahkan ekonomi ke arah pertumbuhan yang positif.


(23)

Sumber: BPS, 2012

Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2005-2010

Ekonomi Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup baik di dunia. Ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan di atas 4.5 persen tiap tahunnya (Gambar 1). Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia belum meningkat secara konsisten, tetapi hal ini lebih disebabkan karena pengaruh perekonomian dunia yang tidak stabil. Ketika pertumbuhan ekonomi di banyak negara lain negatif akibat krisis ekonomi global yang di awali dari krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 masih mampu mencapai pertumbuhan 4.63 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik juga diungkap dalam studi World Bank (2011b). Studi tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pendorong perekonomian global dan diprediksi akan memberikan kontribusi untuk separuh pertumbuhan ekonomi dunia bersama lima negara lain, yakni Rusia, Korea Selatan, India, China, dan Brasil.

Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai Indonesia tersebut telah mampu menciptakan lapangan kerja baru. BPS (2011) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 mampu menyediakan lapangan kerja baru kepada sekitar 1.5 juta orang. Oleh karena itu, pengejaran target pertumbuhan ekonomi masih cukup efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.

5.69 5.50 6.35 6.01

4.63

6.22 6.49

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

P

er

tumbuhan

ekonomi

(%

)


(24)

Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010

Kegiatan Seminggu yang Lalu

Laki-laki Perempuan

Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1. Angkatan Kerja

Bekerja 67 462 223 78.61 40 745 544 47.24

Menganggur 4 419 540 5.15 3 900 239 4.52

2. Bukan Angkatan Kerja

Sekolah 7 092 205 8.26 6 919 573 8.02

Mengurus rumahtangga 1 550 879 1.81 31 420 577 36.43

Lainnya 5 296 092 6.17 3 263 467 3.78

85 820 939 100 86 249 400 100

Sumber: BPS, 2010

Ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia akan terlihat ketika data dipilah berdasarkan jenis kelamin seperti pada Tabel 1. Tampak bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan yang bekerja hanya sebesar 47.24 persen dari total perempuan umur produktif, sedangkan laki-laki sebesar 78.61 persen. Ketimpangan gender dalam hal kesempatan bekerja seringkali dianggap wajar bagi sebagian besar masyarakat karena umumnya perempuan lebih banyak mengurus keluarga sehingga harus menarik diri dari dunia kerja. Hal ini tampak jelas dari data yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengurus rumahtangga memiliki persentase yang tinggi, yaitu sebesar 36.43 persen.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010

Jenis Pekerja Laki-laki (orang) Persentase (%) Perempuan (orang) Persentase (%)

Formal 28 841 706 42.75 15 563 626 38.20

Informal 38 620 517 57.25 25 181 918 61.80

Jumlah 67 462 223 100 40 745 544 100

Total Tenaga Kerja = 108.207.776 Sumber: BPS, 2010

Ketimpangan ternyata tidak hanya terjadi pada partisipasi bekerja, tetapi juga terjadi ketika para perempuan tersebut telah masuk pasar tenaga kerja. Mayoritas perempuan pekerja terserap sebagai pekerja informal, yaitu sebesar 61.0 persen (Tabel 2). Perempuan sebagai pekerja formal hanya sebesar 38.20 persen. Pekerja laki-laki lebih beruntung karena memiliki peluang yang lebih besar sebagai pekerja formal, yaitu sebesar 42.75 persen. Artinya, perempuan


(25)

tidak hanya memiliki kesempatan yang kecil dalam hal kesempatan bekerja, tetapi juga dalam hal mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak sebagai pekerja formal.

KPPA (2011) mengungkapkan bahwa upah pekerja informal di Indonesia lebih rendah sekitar 30 persen dari yang diterima pekerja formal. Kondisi pekerja informal tidak hanya lebih buruk dalam hal upah, tetapi umumnya juga kurang memperoleh asuransi, pelatihan dan hak pensiun. Oleh karena itu tingginya persentase perempuan di sektor informal menggambarkan tingginya persentase perempuan yang memperoleh upah rendah dengan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan.

Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah Indonesia melalui kebijakan pengeluarannya memiliki peran besar untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga. Teori Keynesian menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkatkan output nasional. Selanjutnya, peningkatan output membutuhkan sejumlah tambahan tenaga kerja seperti yang ditunjukkan pada fungsi produksi. Oleh karena itu, dengan kebijakan pengeluaran yang sensitif gender akan mampu memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

Pengeluaran pemerintah yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Pengeluaran sensitif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi laki-laki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003).

Upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketimpangan gender melalui kebijakan pengeluarannya dilakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Inpres ini mengamanatkan semua kementerian dan lembaga untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan yaitu mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi pada semua bidang pembangunan. Inpres ini seharusnya berimplikasi pada pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender.


(26)

Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa penetapan target pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan lapangan kerja baru tetapi belum diketahui apakah pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.

Selanjutnya diketahui juga pengeluaran pemerintah berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan kebijakan kesetaraan gender melalui PUG di Indonesia telah menjadi kebijakan nasional. PUG memiliki konsekuensi terhadap anggaran pemerintah yang lebih sensitif gender. Akan tetapi masih belum diketahui bagaimana dampaknya terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut, maka dikemukakan perumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia?

2. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia?

3. Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

2. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia.

3. Menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan perbaikan ketimpangan gender dalam pengejaran pertumbuhan ekonomi. Selain itu sebagai masukan dalam mempertimbangkan pengalokasian anggaran yang sensitif gender.


(27)

1.4.Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ketimpangan gender adalah ketika proporsi perempuan pekerja formal lebih kecil dibandingkan laki-laki sehingga menyebabkan proporsi perempuan pekerja informal lebih besar dibandingkan laki-laki.

Pekerja formal mewakili pekerja dengan upah dan kondisi pekerjaan yang layak (mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Sedangkan pekerja informal mewakili pekerja dengan upah rendah dan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan (tidak mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Kriteria pekerja formal dan informal menggunakan kriteria yang digunakan BPS.

Sektor ekonomi dalam penelitian ini meliputi 21 sektor. Faktor produksi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Faktor produksi tenaga kerja didisagregasi menjadi 12 berdasarkan jenis kelamin (laki-laki/perempuan), formalitas pekerjaan (formal/informal), dan tingkat pendidikan (tinggi/rendah/sedang).

Selanjutnya, tenaga kerja dikatakan berpendidikan tinggi jika minimal lulus D1. Tenaga kerja dikatakan berpendidikan sedang jika lulus SMA/sederajat, dan dikatakan berpendidikan rendah jika maksimal lulus SMP.

Penggunaan alat analisis SNSE ini memiliki kelebihan antara lain: 1) mampu merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu wilayah untuk suatu kurun waktu tertentu, sehingga dapat dengan memudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; 2) memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah, sehingga dapat mempermudah dalam memberikan gambaran distribusi pendapataan; 3) dapat menunjukkan dengan baik dampak suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat maupun distribusi pendapatan (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2009 dalam


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoretis

2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender

Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan merupakan hal yang penting karena terkait masalah pembangunan yang tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor sosial budaya dan lingkungan. Keseluruhan faktor ini akan menentukan posisi dan bentuk hubungan laki-laki dan perempuan selaku sasaran pembangunan. Dalam hal ini pemahamanan nilai gender oleh para perencana pembangunan dengan sendirinya akan turut mempengaruhi pendekatan dan orientasi program pembangunan untuk laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus (Hubeis, 2010).

Membicarakan persoalan gender berarti membahas persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dipertautkan dengan pembagian kerja dan tanggung jawab. Pembahasan tersebut kerap diacu pada pembedaan biologis yang merupakan produk kodrati yang dibawa oleh setiap anak manusia. Belakangan ini, persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki tidak lagi sekedar dilihat dari perbedaan biologis tetapi juga dilihat dari nilai-nilai sosial historis dan budaya, lingkungan sosial ekonomi dan politik sebagai suatu proses pembelajaran sosial yang eksis di masyarakat (Hubeis, 2010).

Membedakan relasi sosial antara lelaki dan perempuan dari acuan biologis dan acuan pembelajaran sosial merupakan sesuatu yang sulit dicari garis pemisahnya secara jelas karena keduanya bersifat saling melengkapi. Namun, perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki apapun wujudnya merupakan pusat perhatian analisis gender.

Untuk memahami persoalan gender perlu dipahami dahulu pengertian gender dan seks (jenis kelamin). Menurut Sugiarti dan Handayani (2008), seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan, dan bersifat kodrati, misalnya adalah bentuk tubuh dan alat reproduksi. Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial, agama, budaya, bahkan kekuasaan negara sehingga lahir beberapa


(29)

anggapan peran sosial laki-laki dan perempuan. Prosesnya cukup panjang sehingga gender lambat laun seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan tidak dapat diubah lagi. Padahal sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antar tempat.

Selanjutnya menurut Mosse (1993), gender menentukan kehidupan individu ke depannya. Gender dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan sumber daya. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak. Gender akan menentukan hubungan dan kemampuan kita untuk membuat keputusan. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk individu akan menjadi apa nantinya.

2.1.2. Landasan Hukum Kesadaran Gender

Konferensi Internasional pertama tentang perempuan diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975. Pada konferensi itu hak-hak perempuan dibicarakan sebatas upaya meninjau kembali aturan/perundangan yang ada sesuai dengan instrumen internasional yang ada dan bagaimana memperkuatnya. Di konferensi internasional di Mexico City ini untuk pertama kalinya dilaksanakan pertemuan NGO internasional yang berlangsung secara paralel dengan pertemuan resmi delegasi antarnegara.

Topik-topik yang dibicarakan pada konferensi pertama adalah peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, perlakuan yang lebih baik terhadap tenaga kerja perempuan yang mencerminkan prinsip-prinsip dalam konfensi ILO, kesehatan dan pendidikan, konsep keluarga dalam masyarakat modern, kependudukan dan tren demografi, perumahan dan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan itu, dan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi situasi sosial seperti kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial, perempuan migran, orang tua, kriminalitas perempuan, prostitusi, dan trafficking.

Konferensi ini menghasilkan world plan for action, yaitu suatu program untuk jangka waktu sepuluh tahun. Sasarannya adalah agar dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut perempuan dapat mencapai kemajuan sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan pembangunan.

Konferensi internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen pada Tahun 1980. Tema yang dibahas dalam konferensi adalah “ pekerjaan, kesehatan,


(30)

dan pendidikan”. Hal terpenting dari konferensi kedua ini adalah diadopsinya “konvensi perempuan” sebagai dokumen internasional yang dapat diratifikasi oleh

negara-negara anggota PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 165 negara anggota PBB.

Konvensi ini merupakan dokumen internasional yang penting dalam menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum bagi perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam lingkup domestik dan dalam lingkup keluarga. Konvensi ini mencerminkan seperangkat nilai dan norma sekaligus instrumen yang prinsip-prinsipnya memungkinkan dipenuhi oleh negara yang meratifikasi. Konferensi internasional yang kedua ini juga menghasilkan “ Conpenhagen Programme for Action” yang

difokuskan untuk mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan melalui peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga kerja dan mendukung peran perempuan di bidang pertanian.

Konferensi ketiga di Nairobi pada tahun 1985 mengambil tema “equity, development and peace”. Tujuan dari konferensi ketiga ini adalah untuk meninjau

pencapaian dari satu dekade kesetaraan gender dan mencatat kemajuan yang telah dicapai. Hasil dari konferensi ini adalah “Nairobi Forward Looking Strategies for the Advancement of Womento the year 2000. Dokumen tersebut masih menyoroti fakta bahwa masih didapati ketidaksetaraan gender, kemiskinan massal dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di muka bumi terutama di banyak negara-negara berkembang.

Konferensi Internasional keempat tentang perempuan berlangsung di Beijing pada tahun 1995. Hasil konferensi keempat ini adalah penegasan secara global mengenai peran sentral dari Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perjuangan ke arah kesetaraan gender. Konferensi ini menghasilkan Beijing Platform for action (BPFA) yang melipui 12 bidang kritis keprihatinan (critical point of concern), yaitu perempuan dan kemiskinan, perempuan dan pendidikan serta pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, perempuan dan politik dan pengambilan keputusan, HAM perempuan, mekanisme institusional, perempuan dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, dan hak anak perempuan.


(31)

Selanjutnya, komitmen mengkonkretkan penanganan kualitas hidup penduduk termasuk perempuan dilanjutkan dengan lahirnya deklarasi Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United NationsMillennium Declaration).

Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Dampak berbagai komitmen internasional tersebut terhadap Indonesia adalah dibentuknya kementerian untuk meningkatkan status dan kondisi perempuan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peningkatan Wanita (Menmud-UPW) tahun 1978 dalam rangka menindaklanjuti konferensi perempuan pertama di Mexico tahun 1975. Kementerian ini terus mengalami metamorfosis yang sampai sekarang dikenal dengan kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PP-PA).

Selanjutnya, menyadari perlunya penegakan keadilan dalam perbaikan kualitas hidup penduduk, terutama perempuan maka pemerintah pada tahun 2000 telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG) di segala bidang pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan pejabat daerah untuk melaksanakan PUG agar perencanaan,


(32)

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian kebijakan dan program pembangunan menjadi responsif gender.

Untuk memperkuat aturan pengarusutamaan gender ke dalam semua aspek pembangunan, maka dikeluarkanlah permenndagri No. 123 tahun 2003. Kemudian, tahun 2008 dikeluarkan Inmendagri No. 15 untuk menggantikan permenndagri No. 123 tahun 2003 sebagai pedoman umum pelaksanaan PUG di daerah. Berikutnya pada tahun 2010, perencanaan dan penganggaran responsif gender sudah menjadi agenda nasional dan penyosialisasikannya ke daerah-daerah dilakukan oleh kemeneg PP-PA. Selain itu, tahun 2000 Indonesia ikut meratifikasi komitmen internasional untuk mencapai tujuan global yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia mempunyai kewajiban melaporkan progres pencapaian MDG setiap tahunnya, di mana butir-butir MDGs tersebut dapat dicapai salah satunya melalui kesetaraan gender. 2.1.3. Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja

Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja dan pengangguran. Selanjutnya, tenaga kerja adalah seseorang yang bekerja paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Pasar tenaga kerja terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran tenaga kerja.

Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan untuk dipekerjakan. Sedangkan penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang siap untuk disediakan.

Terkait dengan permintaan tenaga kerja, perusahaan yang diasumsikan hendak memaksimalkan keuntungan akan membayar tenaga kerja sebesar value marginal product (VMP). Oleh karena itu, kurva permintaan tenaga kerja merupakan kurva VMP.


(33)

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja

Permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersama-sama menentukan tingkat upah dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Pada Gambar 2 tampak bahwa tingkat upah keseimbangan (W1) dan tingkat penggunaan tenaga kerja keseimbangan (L1) ditentukan oleh interaksi kurva permintaan tenaga kerja (D1=VMP1) dengan kurva penawaran tenaga kerja (S). Apabila permintaan tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi D2, maka akan terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar W2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L2.

Selanjutnya, apabila penawaran tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi S2 (Gambar 3), maka akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih rendah yaitu sebesar W2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L2.


(34)

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja 2.1.4. Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender

Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menyebabkan ketimpangan gender di mana salah satu gender mengalami kerugian dari kebijakan pembangunan misalnya tidak memiliki kesempatan yang sama dalam kepemilikan sumber daya, pendidikan dan pasar tenaga kerja.

a. Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja

Ketimpangan gender antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan dapat dikaji berdasarkan karakteristik produktif identik. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul karena adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kesamaan karakteristik produktif.

Ketimpangan gender juga dapat dikaji antara laki-laki dan perempuan pada pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul ketika salah satu jenis kelamin terwakili secara berlebih pada segmen yang tidak menguntungkan.


(35)

Ketimpangan Gender Berdasarkan Karakteristik Produktif yang Identik Menurut Bellante dan Jackson (1983), diskriminasi pasar tenaga kerja berdasarkan gender terjadi jika pekerja yang memiliki karakteristik produktif identik tetapi diperlakukan berbeda karena berasal dari jenis kelamin tertentu. Diskriminasi tersebut merupakan sumber ketimpangan gender yang terjadi antara pekerja laki-laki dan perempuan. Diskriminasi berdasarkan gender di dalam pasar tenaga kerja dibagi ke dalam dua bentuk yaitu diskriminasi upah (wage discrimination) dan diskriminasi pekerjaan (occupational discrimination).

Diskriminasi Upah (Wage Discrimination)

Diskriminasi upah terjadi jika perusahaan membayar pekerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan kondisi memiliki lama pengalaman yang sama dan bekerja di bawah kondisi yang sama di pekerjaan yang sama. Ilustrasi diskriminasi upah dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: Bellante dan Jackson (1990)

Gambar 4. Dampak Diskriminasi Upah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan

Permintaan tenaga kerja perempuan ditentukan oleh rasio upah perempuan terhadap upah laki-laki (Wf/Wm). Perusahaan yang tidak diskriminatif akan menyamakan upah antara pekerja perempuan (Wf) dan laki-laki (Wm). Sedangkan perusahaan yang diskriminatif akan menetapkan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perusahaan yang diskriminatif memiliki ukuran yang berbeda-beda

Wf/Wm

S1

S2 A

0.75 1.0

D

N2 N0 N1


(36)

terhadap upah diskriminatifnya, ada yang rendah dan tinggi. Hal ini menyebabkan kurva permintaan tenaga kerja patah pada titik A. Kurva ini menggambarkan bahwa untuk mempekerjakan perempuan lebih dari N0 menyebabkan turunnya rasio upah perempuan (Wf) terhadap upah laki-laki (Wm).

Jika penawaran tenaga kerja perempuan relatif kecil (S1), maka seluruh pekerja perempuan akan direkrut oleh perusahaan yang tidak diskriminatif sehingga tidak terjadi perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Tetapi jika jumlah perempuan yang mencari pekerjaan relatif besar (S2) maka sejumlah perusahaan yang diskriminatif akan merekrut pekerja perempuan sehingga menurunkan rasio upah pekerja perempuan terhadap laki-laki. kombinasi penawaran dan permintaan pekerja perempuan pada Gambar 4 menyebabkan rasio upah turun menjadi 0.75.

Diskriminasi Pekerjaan (Occupational Discrimination)

Diskriminasi pekerjaan terjadi jika pekerja perempuan dengan pendidikan dan potensi produktivitas yang sama ditempatkan di pekerjaan dengan upah rendah, sedangkan pekerjaan bergaji tinggi diposisikan untuk laki-laki. Diskriminasi pekerjaan berbeda dengan seagregasi pekerjaan. Seagregasi pekerjaan terjadi jika suatu pekerjaan tertentu didominasi oleh perempuan dan pekerjaan yang lain didominasi oleh laki-laki. Seagregasi pekerjaan menggambarkan diskriminasi pekerjaan jika pilihan pekerjaan bagi gender tertentu tersebut secara langsung dibatasi atau menggambarkan upah yang lebih rendah pada tingkat sumberdaya manusia yang sama.

Diskriminasi pekerjaan menyebabkan perempuan terkumpul pada pekerjaan tertentu yang terbatas jumlahnya, sehingga menurunkan upah di pekerjaan tersebut. Di sisi lain, luasnya lapangan pekerjaan yang didominasi laki-laki menyebabkan tingginya permintaan tenaga kerja laki-laki-laki-laki sehingga mendorong upah di sektor-sektor tersebut.

Diskriminasi pekerjaan dapat diilustrasikan seperti Gambar 5. Misalkan ada 2 pekerjaan yang secara tradisi pekerjaan M diperuntukan bagi laki-laki dan pekerjaan F diperuntukan bagi perempuan. Tanpa ada diskriminasi pekerjaan, upah di kedua pekerjaan itu adalah sama pada tingkat We. Hal tersebut terjadi karena ketika upah di salah satu pekerjaan meningkat, menyebabkan terjadinya


(37)

We

Wf

perpindahan tenaga kerja dari pekerjaan lebih murah sehingga secara perlahan upah di kedua pekerjaan tersebut bergerak kembali menjadi sama. Ketika ada diskriminasi pekerjaan, peningkatan upah di sektor M tidak menyebabkan perpindahan tenaga kerja perempuan dari sektor F yang bergaji lebih murah ke sektor M yang bergaji lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pekerja perempuan akan menumpuk pada sektor F sehingga berdampak pada rendahnya upah Wf yang diterima perempuan. Sedangkan laki-laki akan menikmati upah Wm yang lebih tinggi karena pasar tenaga kerja di sektor M tidak sejenuh di sektor F. Jadi, adanya diskriminasi menghalangi pekerja perempuan untuk berpindah dari sektor F ke sektor M.

Sektor M Sektor F Sumber: Bellante D dan Jackson M (1990)

Gambar 5. Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan

Gambar 5 menunjukkan bahwa tenaga kerja di kedua sektor dibayar berdasarkan produk marginalnya. Upah yang lebih rendah yang diterima pekerja perempuan bukan karena dibayar di bawah produk marginalnya, melainkan karena tertumpuknya pekerja perempuan pada sektor F yang memaksa produk marginal pekerja perempuan harus diturunkan lebih rendah daripada pasar tenaga kerja yang bebas.

Diskriminasi pekerjaan tersebut disebabkan karena empat faktor yaitu: prasangka dari perusahaan, informasi yang kurang sempurna dari perusahaan, prasangka di pihak pekerja, dan prasangka di pihak pelanggan. Umumnya

S2

Wf S1

S1

S2 Wm

D= VMP D= VMP

E2 E1 E2 E1


(38)

sumber tingkah laku diskriminasi yang pertama terkait dengan alasan pribadi perusahaan sedangkan tingkah laku ketiga lainnya merupakan akibat dari tingkah laku ingin meraih keuntungan maksimal.

Prasangka perusahaan dapat terjadi bila perusahaan secara pribadi menaruh prasangka terhadap pekerja perempuan. Ada kemungkinan seorang perusahaan memiliki alasan pribadi untuk menyukai atau tidak menyukai mempekerjakan pekerja perempuan sehingga mengorbankan keuntungan atas pilihannya tersebut. Sedangkan informasi yang kurang sempurna dari perusahaan bisa terjadi karena perusahaan memiliki pengalaman masa lalu yang menggambarkan bahwa pekerja perempuan memiliki produktivitas lebih rendah. Selain itu perusahaan juga bisa melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka yang dimiliki pihak pekerja. Misalkan pekerja laki-laki bisa saja menolak bekerja secara berdampingan dengan pekerja perempuan, di mana hubungan tenaga kerja yang serius mengakibatkan perusahaan hanya memperkerjakan pekerja laki-laki saja. Sumber diskriminasi terakhir adalah prasangka dari pihak pelanggan, di mana pelanggan lebih menyukai pekerja laki-laki atau pekerja perempuan saja sehingga menyebabkan perusahaan melakukan diskriminasi dalam memilih pekerjanya. Keempat sumber diskriminasi tersebut dapat menyebabkan diskriminasi di pasar tenaga kerja, baik itu berupa diskriminasi upah ataupun diskriminasi jabatan.

Ketimpangan Gender Berdasarkan Segmentasi Pasar Tenaga Kerja

Menurut Hulk (2011), Pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang cenderung sangat tersegmentasi dengan upah dan kondisi kerja yang berbeda di setiap sektor dan mobilitas tenaga kerja yang rendah dari pekerjaan "kurang produktif" ke pekerjaan "lebih produktif". Tenaga kerja akan memilih pekerjaan

“kurang produktif” sebagai alternatif pekerjaan untuk keluar dari pengangguran.

Pekerjaan “kurang produktif” memiliki pendapatan dan kondisi kerja di bawah pekerjaan "lebih produktif". Pekerjaan “kurang produktif” seringkali diwakili oleh pekerjaan informal, sedangkan pekerjaan "lebih produktif" diwakili oleh pekerjaan formal. Menurut ILO, pekerjaan informal adalah pekerjaan dengan upah lebih rendah tidak memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti pada pekerjaan formal.


(39)

Ketimpangan dengan kriteria pekerja formal dan informal digunakan oleh Wanjala dan Were (2010) untuk melihat ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Kenya. Wanjala dan Were (2010) menyimpulkan bahwa ketimpangan gender terjadi di pasar tenaga kerja Kenya disebabkan karena perempuan terwakili secara berlebih sebagai pekerja informal.

b. Definisi dan Kriteria Pekerja Formal dan Informal

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003, pekerja informal mengacu pada orang yang bekerja tanpa relasi kerja, yang berarti tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara umum mendefinisikan sektor informal sebagai semua bisnis komersial dan non-komersial (atau aktivitas ekonomi) yang tidak terdaftar, yang tidak memiliki struktur organisasi formal dan secara umum memiliki ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, kegiatan berskala kecil, padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber daya lokal.

Banyak istilah digunakan para peneliti yang merujuk pada ekonomi informal. Istilah-istilah itu antara lain irregular economy (Ferman dan Ferman, 1973), the subterranean economy (Gutmann, 1977), the underground economy

(Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), the black economy (Dilnot dan Morris, 1981), the shadow economy (Frey, Weck, dan Pommerehne, 1982; Cassel dan Cichy, 1986), dan informal economy (Mc Crohan dan Smith, 1986).

Istilah formal dan informal dalam ketengakerjaan pertama kali diperkenalkan dalam studi ILO tentang pasar tenaga kerja Ghana. Studi tersebut menyimpulkan ada dualisme dalam pasar tenaga kerja di daerah perkotaan, yaitu sektor informal yang terdiri dari usaha-usaha tidak terdaftar dan berproduktivitas rendah sangat banyak muncul berdampingan dengan sektor formal yang terdiri dari usaha terdaftar dan sektor publik.

ILO bersama sekelompok peneliti telah memperluas definisi sektor informal dengan menggunakan istilah ekonomi informal (Chen, 2007). Menurut definisi baru ini, ekonomi informal tidak hanya mencakup usaha-usaha yang tidak terdaftar, tetapi juga terkait dengan hubungan kerja yang secara resmi tidak diatur dan tidak dilindungi. Bentuk tidak dilindunginya pekerja informal adalah tidak


(40)

memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti yang diberikan kepada tenaga kerja formal. Tenaga kerja Informal umumnya memiliki upah yang lebih rendah dibanding pekerja formal sehingga sering dihubungkan dengan tingkat kemiskinan (ILO, 2013).

Secara singkat, Bertulfo (2011) meringkas pembagian tenaga kerja formal dan informal menurut ILO seperti yang terlihat pada Tabel 3. Sektor informal mengacu pada usaha informal, sedangkan tenaga kerja informal mengacu pada pekerjaan informal. Tenaga kerja di ekonomi informal didefinisikan sebagai jumlah dari tenaga kerja di sektor informal dan tenaga kerja informal yang berada di luar sektor informal (A+B+C).

Tabel 3. Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal

Jenis Usaha Pekerjaan Informal Pekerjaan Formal

Usaha sektor Informal A B

Usaha Sektor Formal C D

Keterangan:

A + C = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja informal

A + B = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja di sektor informal C = Tenaga kerja informal di luar sektor informal

B = Tenaga kerja formal di dalam sektor informal A + B + C = Total tenaga kerja di dalam ekonomi

Selanjutnya, BPS (2009) menyatakan bahwa kegiatan informal mengacu pada kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan secara tradisional oleh organisasi bertingkat rendah ataupun yang tidak memiliki struktur, tidak ada akun transaksi (transaction accounts) dan ketika terdapat relasi kerja biasanya bersifat musiman (casual), pertemanan atau relasi personal, ketimbang berbasis perjanjian kontrak. Secara spesifik, kegiatan informal dan formal merupakan tabulasi silang antara status pekerjaan dan pekerjaan utama seperti yang terlihat pada Tabel 4. Selanjutnya, data yang dikumpulkan BPS tersebut digunakan sebagai data dasar penelitian ini.

Status pekerjaan menurut BPS dikategorikan menjadi tujuh, yaitu: 1) Berusaha sendiri


(41)

2) Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan tidak dibayar

3) Pengusaha dengan pekerja tetap atau pekerja diupah 4) Karyawan/staf/pekerja

5) Pekerja musiman di bidang pertanian 6) Pekerja musiman di bidang non-pertanian 7) Pekerja tidak dibayar

Tabel 4. Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS Status Pekerjaan Jenis Pekerjaan Umum Berusaha sendiri Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan Pengusaha dengan pekerja tetap/ pekerja diupah Karyawan /staf/ pekerja Pekerja musiman di bidang pertanian Pekerja musiman di bidang non-pertanian Pekerja tidak dibayar Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya

F F F F F F INF

Pekerja administrasi dan manajerial

F F F F F F INF

Pekerja juru tulis

dan terkait F F F F F F INF

Pekerja bidang

penjualan INF INF F F INF INF INF

Pekerja bidang

jasa INF F F F INF INF INF

Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu

INF F F F INF INF INF

Pekerja produksi

dan terkait INF F F F INF INF INF

Sumber: Nazara, 2009

Sedangkan pekerjaan utama menurut BPS dikategorikan menjadi 10 kategori, yaitu:

1) Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya 2) Pekerja administrasi dan manajerial

3) Pekerja juru tulis dan terkait 4) Pekerja bidang penjualan 5) Pekerja bidang jasa


(42)

6) Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu 7) Pekerja produksi dan terkait

8) Operator dan pekerja perlengkapan pengangkutan 9) Buruh

10) Lain-lain

Pembagian pekerja informal berdasarkan kriteria BPS tersebut mirip dengan definisi ekonomi informal ILO. Bisa saja sektor informal memiliki pekerja formal. Contohnya adalah pekerjaan pemulung yang dikutip dari Nazara (2009). Seorang bos pemulung yang melaksanakan beberapa pekerjaan administratif, manajerial bahkan sejumlah pekerjaan profesional, kemungkinan mendapatkan imbalan finansial cukup banyak. Terkait dengan itu, pemulung yang sebenarnya pergi dari satu rumah ke rumah lain dapat dikategorikan sebagai pekerja informal (pekerja berusaha sendiri di bidang penjualan), namun bos yang menjalankan bisnis pemulung ini dapat dikategorikan sebagai pekerja formal. Bos tersebut menjalankan pekerjaan profesional atau manajerial. Fenomena ini banyak ditemukan di kota-kota besar di seluruh dunia.

Di sisi lain, terdapat juga kasus-kasus di mana semakin banyak pekerja yang berusaha sendiri dapat dikategorikan sebagai seorang profesional. Seorang programer komputer dapat dikategorikan sebagai pekerja formal, walaupun orang tersebut mungkin saja bekerja sendiri atau dibantu oleh pekerja sementara.

Meskipun pekerja informal umumnya dikenal terkait dengan kemiskinan, tetapi ada satu kajian yang dilakukan Angelini dan Hirose (2004) dalam Nazara (2009) menunjukkan bahwa hampir seperlima dari pekerja/karyawan yang terlibat dalam kegiatan informal mampu memperoleh pendapatan lebih dari rata-rata nasional. Namun menurut Nazara (2009), diperlukan sebuah kajian yang lebih sistematis dengan sampling yang dapat digeneralisir untuk mencapai kesimpulan tersebut.

Menurut Nazara (2009), peningkatan informalitas tidak selalu berarti buruk dan tidak terhindarkan pekerjaan informal adalah alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Tapi


(43)

pergerakan ke arah formalisasi ekonomi senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan.

Segmentasi ternyata juga terjadi pada ekonomi informal. Menurut Chen (2007) ekonomi informal terdiri dari beberapa segmen yang dapat memengaruhi pendapatan di setiap segmen. Segmen paling bawah adalah outworker (pekerja lepas) industrial atau pekerja rumahan, dan pekerja lepas diupah. Segmen paling atas adalah karyawan informal dan pengusaha informal.

Segmen paling bawah berada dalam posisi paling terakhir dalam hal penghasilan dan didominasi oleh pekerja perempuan. Sedangkan segmen paling atas memiliki penghasilan pada posisi tertinggi dan didominasi oleh pekerja laki-laki.

Sumber: Chen (2007)

Gambar 6. Struktur Ekonomi Informal

2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja

Pakar ekonomi menggunakan banyak jenis data untuk mengukur kinerja perekonomian. Salah satu kinerja perekonomian yang penting adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan indikator ekonomi yang mengukur jumlah barang dan jasa yang diproduksi suatu negara. Pertumbuhan PDB ini

Pengusaha Informal

Pekerja Informal

Operator dengan usaha sendiri

Pekerja musiman

Pekerja lepas/pekerja rumahan Penghasilan Tinggi

Penghasilan Rendah

Mayoritas Laki-laki

Mayoritas Perempuan Laki-laki dan Perempuan


(44)

disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2003), menyatakan bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi merupakan tema sentral dalam perekonomian suatu negara, bahkan sering kali program-progam pembangunan di negara berkembang dinilai berdasarkan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional.

Pertumbuhan ekonomi yang kuat dianggap sebagai cara terbaik untuk menciptakan lapangan kerja. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi maka semakin banyak barang dan jasa yang dihasilkan, selanjutnya semakin banyak juga tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja disuatu negara.

a. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun muncul dari pengamatan bahwa untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa dalam suatu perekonomian diperlukan tenaga kerja yang banyak pula. Oleh karena itu hukum ini mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin rendah tingkat pengangguran. Adapun formula Hukum Okun dalam Knotek (2007), adalah sebagai berikut:

Perubahan tingkat pengangguran = a + b (pertumbuhan output real) Parameter b disebut "Koefisien Okun" yang diharapkan bernilai negatif, sehingga ketika pertumbuhan output meningkat maka tingkat pengangguran akan turun. Rasio "-a/b" merupakan tingkat pertumbuhan output untuk mempertahankan tingkat pengangguran tetap stabil.

Adapun hasil regresi Hukum Okun dengan data Amerika pada kuartal kedua tahun 1948 sampai dengan kuartal keempat tahun 1960, adalah sebagai berikut:

Perubahan tingkat pengangguran = 0,30-0,07(pertumbuhan output real) Hasil regresi ini menunjukkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebesar 0% maka pengangguran akan meningkat sebesar 0,3 %. Sedangkan


(45)

laju pertumbuhan output yang mampu mempertahankan tingkat pengangguran stabil adalah sebesar 4,285714 % (- 0,3/0,07). Pertumbuhan ekonomi lebih besar dari 4,285714 % berarti terjadi pengurangan pengangguran, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 4,285714 % berarti terjadi penambahan pengangguran.

Hukum Okun membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja termasuk juga tenaga kerja perempuan. Tetapi peningkatan jumlah pekerja perempuan harus dicermati karena tidak bisa menggambarkan kesejahteraan perempuan karena secara umum mereka terserap pada pekerjaan kasar dan bergaji murah Abdullah (2001). Peningkatan tenaga kerja perempuan pada pekerjaan kasar mengindikasikan terjadinya ketimpangan gender khususnya di pasar tenaga kerja (Illich, 1983: Molo, 1993

dalam Abdullah, 2001). Penomena tersebut diperkuat oleh Wanjala dan Were (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal jika dibandingkan dengan laki-laki.

Hal senada diungkapkan dalam studi Seguino (2000). Studi tersebut menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sumber: World Bank (2011a)

Gambar 7. Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang Waktu pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara

R

at

a-ra

ta p

ar

ti

si

p

as

i TK

per

em

pu

an


(46)

Secara global, fakta yang sama ditunjukkan dalam laporan World Bank (2011a). Laporan tersebut berdasarkan data GDP per kapita dan partisipasi angkatan kerja perempuan tahun 1980 dan 2008 untuk 130 negara. Disimpulkan bahwa hubungan antara pertumbahan ekonomi dan partisipasi angkatan kerja perempuan di berbagai negara berbetuk U, baik pada tahun 1980 maupun 2008 (gambar 7). Kurva U tahun 2008 bergerak ke kanan atas, yang artinya pada setiap perubahan GDP perkapita di setiap titik kurva U tersebut terjadi peningkatan jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan. Atau dengan kata lain jumlah partisipasi tenaga kerja perempuan tahun 2008 lebih tinggi dari pada tahun 1980 seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada rentang tahun tersebut.

Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut menyebabkan menyempitnya gap partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki dari 32 persen di tahun 1980 menjadi 26 persen pada tahun 2008. Salah satu penyebab meningkatnya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja adalah karena membaiknya tingkat pendidikan perempuan.

Selanjutnya studi World Bank tersebut menyatakan bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan adanya perbaikan ketimpangan gender. Hal tersebut disebabkan karena perempuan lebih banyak terserap pada pekerjaan informal dan produktivitas rendah.

b. Penetapan Target Pertumbuhan Ekonomi dalam Perencanaan Pembangunan

Pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan produksi barang dan jasa di suatu negara, sehingga menjadi indikator berjalannya suatu perekonomian. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka panjang, menengah, ataupun pendek.

Di Indonesia, target pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu komponen penting dalam perencanaan pembangunan. Target pertumbuhan ekonomi tersebut dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, dan rencana kerja pemerintah (RKP).


(1)

Sub

sektor pertanian industri Jasa Total

24 0.00 1,000,000.00 0.00 1,000,000.00

25 0.00 1,000,000.00 0.00 1,000,000.00

26 0.00 1,000,000.00 0.00 1,000,000.00

27 0.00 1,000,000.00 0.00 1,000,000.00

28 0.00 1,000,000.00 0.00 1,000,000.00

29 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

30 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

31 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

32 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

33 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

34 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

35 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

36 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

37 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

38 0.00 0.00 1,000,000.00 1,000,000.00

Lampiran 11. Lanjutan


(2)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (INPRES) NOMOR 9 TAHUN 2000 (9/2000)

TENTANG

PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional;

b. bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah;

c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan dalam rangka mendorong, mengefektifkan, serta mengoptimalkan upaya pengarusutamaan gender secara terpadu dan terkoordinasi, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden;

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1945;

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);

3. Undang-undangan Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Undang-undangan Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

5. Undang-undangan Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 206).

MENGINSTRUKSIKAN Kepada:

1. Menteri;

2. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen;

3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

5. Kepala Kepolisian Repulik Indonesia; 6. Jaksa Agung Republik Indonesia; 7. Gubernur;

8. Bupati/Walikota; Untuk:

PERTAMA:

Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.


(3)

KEDUA:

Memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional sebagaimana terlampir dalam Instruksi Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender.

KETIGA:

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,

1. Memberikan bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Pengarusutamaan gender.

2. Melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada Presiden. KEEMPAT:

Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing, menetapkan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

KELIMA:

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta

pada tanggal 19 Desember 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.


(4)

LAMPIRAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2000

TANGGAL 19 DESEMBER 2000

PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL I. UMUM

Dalam Instruksi Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

2. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

3. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. 4. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan

perempuan.

5. Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa.

6. Instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah adalah instansi dan lembaga pemerintah yang dipimpin oleh Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

II. TUJUAN

Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksana, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

III. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pengarusutamaan gender meliputi seluruh perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional.


(5)

IV. PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER A. UMUM

1. Pengarusutamaan gender dilaksanakan dengan: a. Analisa gender.

b. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.

2. Analisa gender dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahannya.

3. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender.

3. Kegiatan analisa gender meliputi:

a. Mengidentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan;

b. Mengidentifikasi dan memahami sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-faktor penyebabnya;

c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender;

d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

4. Pemecahan permasalahan yang dihasilkan dalam analisa gender diwujudkan dan diintegrasikan dalam perencanaan kebijakan dan proses pembangunan nasional.

B. Bantuan Teknis

1. Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Menteri negara Pemberdayaan Perempuan memberikan bantuan teknis sesuai dengan bidang dan fungsi, serta kewenangannya kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.

2. Bantuan teknis dapat berupa panduan, pelatihan, konsultasi, informasi, koordinasi, advokasi, dan penyediaan bahan dan data.

C. Pemantapan Pelaksanaan

1. Dalam rangka pemantapan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Pimpinan Instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah:

2. Membentuk dan/atau menunjuk mekanisme internal/ unit kerja/penanggung jawab guna kelancaran pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya; 3. Menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam

pelaksanaan pengarusutamaan gender;

4. Melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk menjamin terlaksananya pengarusutamaan gender dengan baik;

5. Memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan.


(6)

D. Pemantauan dan Evaluasi

1 Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah melaksanakan dan bertanggungjawab pemantauan dan evaluasi terhadap pengarusutamaan gender di lingkungannya.

2 Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender, oleh Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat dan Daerah dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

V. PEMBIAYAAN

1 Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender dibebankan kepada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Daerah.

2 Pembiayaan pelaksanaan pengarusutamaan gender yang berasal dari pihak-pihak lain selain dari APBN dan APBD dapat dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VI. PELAPORAN

1 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan melaporkan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender secara berkala kepada Presiden.

2 Laporan hasil pelaksanaan pengarusutamaan gender meliputi: a. hambatan-hambatan yang terjadi;

b. upaya-upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi hambatan yang terjadi; c. hasil-hasil yang telah dicapai, dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.