42 lembaga pemerintah setempat atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik.
Memang ini bukan sebuah kesalahan total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat beragama seringkali berulang dalam pola yang
sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat. Cara penyelesaian yang tidak melibatkan tokoh-tokoh dalam masyarakat ini karena
sering tokoh agama sendiri tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam kasus konflik tersebut mereka sering berpihak kepada satu golongan.
Di sisi lain aparat pemerintah di level bawah desa, dusun, kampong sampai RW-RT belum dilibatkan secara optimal. Aspek sangsi hukuman juga belum ditegakkan, karena
memang dalam kasus tersebut belum ada aturan tentang sangsi hukuman bagi penyalagunaan rumah menjadi tempat ibadah, akibatnya kasus yang sama akan selalu
berulang. Penyelesaian sudah mempertemukan dan mengadakan musyawarah antarpihak
yang berkonflik, tetapi pembicaraan lebih mengarah pada hukum posistif tentang aturan yang berlaku dalam negara. Dalam banyak kasus, misalnya pendirian tempat ibadah lebih
cenderung pada aspek pemenuhan persyaratan perizinan dan kelengkapan surat-surat.
F. Profil Budaya 1.
Umum
Budaya Jawa, termasuk di Kulonprogo sangat akomodatif terhadap adanya bentuk budaya baru, keduanya budaya Jawa dan budaya baru kemudian bersimbiosis serta
melakukan akulturasi sehingga sering sulit untuk membedakan mana budaya Jawa dan budaya baru tersebut. Sebagai bahan perbandingan, Islam yang telah melakukan
perkawinan budaya akulturasi dengan Jawa maka hasilnya adalah Islam Jawa. Sebagai contoh adalah upacara safaran, di dalamnya terjadi akulturasi antara budaya Jawa dengan
ajaran Islam. Demikian juga dengan Kristen yang melakukan akulturasi dengan Jawa maka yang ada adalah Kristen Jawa. Jika budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh datangnya
HinduBudha maka sebenarnya secara tidak langsung juga terjadi akulturasi antara Islam- HinduBudha, atau Kristen-HinduBudha. Serta tidak menutup kemungkinan pada agama
lain. Seperti halnya masyarakat Jawa umumnya, masyarakat Kulonprogo secara umum
menggunakan bahasa ngoko, dan krama. Bahasa Jawa-ngoko digunakan dengan orang yang saling mengenal akrab, juga terhadap orang yang lebih muda usia dan lebih rendah
43 status sosialnya. Bahasa Jawa-krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum
akrab dan tidak sebaya usianya, juga terhadap orang yang lebih tua usia dan lebih tinggi status sosialnya. Untuk itu sebelum menggunakan bahasa dengan orang yang diajak
bicara, seseorang harus memperhatikan dengan seksama bahkan dengan bertanya orang yang diajak bicara.
2. Sistem kekerabatan
Secara tradisional sistem kekerabatan orang Jawa Kulonprogo adalah bilateral yaitu garis keturunan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-
laki maupun wanita. Dalam era modern saat ini sistem kekerabatan mereka tak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang telah dipengaruhi oleh nilai-nilai
modern. Bentuk keluarga masyarakat saat ini yang terpenting adalah keluarga batih
somah. Keluaraga ini terdiri dari suami-isteri danatau anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi yang belum kawin. Dalam rumah tangga keluarga batih somah
sering terdapat anggota keluarga lain seperti keponakan, bapak atau ibu mertua dari suami atau isteri. Keluarga batih berfungsi dalam banyak aspek seperti sosialisasi nilai budaya
Jawa kepada anak-anak, sementara dalam hubungannya dengan kerabat yang lain dan masyarakat ia punya posisi penting yaitu sebagai mediator kepentingan keluarga batih
dengan keluarga batih lain dan masyarakat pada umumnya. Memang masih ada keluarga luas extended family tetapi jumlahnya semakin menyusut, keluarga luas ini terutama
masih ada di masyarakat pedesaan. Keluarga luas ini terdiri dari dua atau lebih keluarga inti ditambah dengan beberapa orang yang masih mempunyai pertalian darah, baik dari
pihak suami ataupun isteri, bahkan keponakan anak dari kakak atau adik Proses kian berkurangnya keluarga luas dan kian berkembangnya keluarga inti
disebut juga dengan proses kontraksi keluarga. Proses kontraksi keluarga ini berkembang
seiring dengan kian kuatnya perubahan pola tempat tinggal pasangan baru yaitu dari pola patrilokal-matrilokal ke neolokal. Pola neolokal terkait dengan kian berkurangnya tanah,
sehingga pasangan baru melakukan mobilitas horizontal ke tempat lain. Fenomena ini juga terkait dengan bergesernya usia nikah yaitu dari perkawinan usia muda ke
perkawinan usia yang lebih dewasa, sehingga pasangan baru lebih matang dan mandiri secara ekonomi dan mental. Karena itu keluarga luas banyak yang terdiri dari mereka
yang belum mampu membangun rumah sendiri. Selain itu karena adanya kebiasaan dari orang tua mempertahankan seorang anaknya yang sudah menikah untuk tetap menempati
44 rumahnya dengan tujuan agar anaknya ngopeni orang tua yang sudah lanjut usia, biasanya
anak bungsu. Masyarakat Kulonprogo juga mengenal kelompok kekerabaatn ambilineal, suatu
kerabat keluarga batih yang diorientasikan kepada ego nenek moyang yang jauh. Kelompok ini disebut alurwaris. Anggota kerabat dalam kesatuan alurwaris ini terdiri dari
semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Dari segi hubungan dengan ego pancer orang Jawa Kulonprogo, khususnya di Samigaluh,
mengenal terma nama sebutan untuk generasi ke atas dan ke bawah yaitu: Mbah Udeg-udeg – Mbah Canggah – Mbah Buyut – SimbahSiwoEyang –
Bapakibu – Anak – Putu – Buyut – Canggah – Wareng – Udeg_udeg – Gantung Siwur –
Gropak Senthi – Cici_uni – Cendeng – Iyeng_iyeng – Ampleng. Penjelasan garis dari atas meliputi: Mbah Udeg-udeg: keturunan tertinggipertama
dalam susunan keluarga pancer; Mbah Canggah: anak dari udeg-udeg atau orang tua dari mbah Buyut; Mbah Buyut: anak dari Canggah atau orang tua dari SimbahSiwoEyang;
SimbahSiwoEyang: anak dari mbah buyut atau cucu dari Canggah atau orang tua dari bapak. Penyebutan untuk simbah laki-laki adalah simbah lanang dan perempuan simbah
wadon atau eyang kakung dan Eyang Putri; Bapak: orang tua dalam tradisi trah Adapun garis keturunan ke bawah meliputi: Anak adalah turunan pertama dari
orang tua; Putu: turunan kedua dari orang tua bapakibu atau sering disebut cucu; Buyut: turunan ketiga dari orang tua bapakibu; Canggah: anak dari Buyut, cucu dari Putu;
Wareng: anak dari Canggah, cucu dari Buyut; Gantung Siwur: anak dari Wareng; Gropak Senthi: anak dari Gantung Siwur; Cici Uni: anak dari Gropak Senthi; Cendeng: anak dari
Cici Uni; Iyeng-iyeng: anak dari Cendeng; Ampleng: anak dari Iyeng-iyeng Dalam sistem kekerabatan tersebut setiap turunan dapat menjadi orang tua, anak
atau cucu dan seterusnya, tergantung dari mana memulainya. Misalnya Cici uni dapat menjadi orang tua dari Cendeng, artinya Cendeng dapat menjadi orang tua dari Iyeng-
iyeng. Jadi Cici Uni merupakan kakek mbah dari Iyeng-iyeng. Begitu pula sebaliknya, Iyeng-iyeng adalah cucu dari Cici Uni. Walaupun begitu secara fungsional, hubungan
kepada ego umumnya hanya berlaku pada generasi ketiga, misalnya dalam hubungan silaturrahim dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun hubungan sampai pancer
generasi keempat dan seterusnya hanya berupa hubungan tradisional, karena mereka sudah jarang sekali melakukan hubungan, bahkan tidak saling mengenal, apalagi kalau tempat
tinggalnya saling berjauhan.
45 Kesadaran akan adanya hubungan fungsional di antara anggota kerabat tersebut
pada sebagian kelompok kerabat telah melahirkan asosiasi kekerabatan. Sebuah asosiasi yang dibentuk atas kesadaran untuk mengumpulkan dan memelihara hubungan
antaranggota kerabat yaitu trah. Trah ini bukan hanya terdapat pada keturunan bangsawan, tapi juga di kalangan masyarakat biasa. Misalnya trah di kalangan
menengah ke atas seperti Trah Ki Onggo Suto, Trah Ki Atmangali, atau trah Ki Kertoyudo yang sama-sama bersandar pada Kyai Kampak. Trah Ki Onggo Suto misalnya
memiliki keturunan KRT Ki HP, pernah menjabat carik desa dan mempunyai anak perempuan yang menjadi kepala desa saat ini.
Yang penting dicatat dari keberadaan trah ini adalah banyak dari anggotanya yang mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun
agama yang dianutnya. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang anggotanya sama-sama beragama Islam atau dapat disebut
dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial
anggota ini dimungkinkan karena dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Seorang informan yang sekaligus
sesepuh trah, Ki HP, menegaskan: Tradisi ini diikat semata-mata dari tradisi hubungan pertalian darah, perbedaan
agama, suku danatau kelompok tidak pernah menjadi penghalang. Misal, salah satu anak dalam keluarga tersebut menikah dengan orang Kalimantan, maka orang
Kalimantan tersebut dapat masuk menjadi keluarga trah sebab memiliki ikatan pernikahan.
Walaupun ada perbedaan jenis trah dari segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota
kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Dalam bahasa setempat sebuah trah berfungsi sebagai tradisi nglumpukke balung sumsum. Mereka melakukan
kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat incidental milsanya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada
umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada petuah-petuah atau sosialisasi nilai-nilai kejawaan, pentingnya hidup rukun dan
persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti
arisan. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama,
46 nasab dan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pancer. Dengan demikian trah
ini sebenarnya dalam batas-batas tertentu di sebagian masyarakat Kulonprogo telah menjadi wadah pemelihara ikatan primordialisme dan menghidupkan kembali
revitalisasi fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batas-batas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial sosial cement dari orang-orang yang berbeda agama.
Bagi seorang anggota biasanya memiliki dua trah yaitu trah dari pihak kerabat bapak , dan dari kerabat ibu. Dalam sistem kekerabatan itu, yang diundang adalah 3
turunan ke atas dan semua turunan kebawah vertikal dari keluarga turunan bapak atau ibu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mengetahui hitungan dalam sistem
kekerabatan tersebut. Jadi dalam pertemuan reuni trah, hanya dari salah satu trah orang tua.
3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal
Di Kulonprogo, termasuk di Samigaluh terdapat beberapa kelompok sosial, terutama yang berupa asosiasi. Asosiasi ini dapat dibagi ke dalam beberapa jenis
yaitu: 1 Asosiasi yang berkaitan dengan kekerabatan
2 Asosiasi tradisional yang mengurusi pemerintahan 3 Asosiasi modern yang mengurusi pemerintahan
4 Asosiasi sosial-kemasyarakatan Pertama, asosiasi kekerabatan yang berkembang di Kulonprogo adalah trah,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kedua, lembaga pemerintahan tradisional pada tingkat desa sampai dusun adalah lembaga ‘kelurahan’ yang kemudian digantikan dengan
‘pamong limo’, dan akhirnya menjadi lembaga ‘desa’ seperti saat ini. Sementara di tingkat dusun sebelumnya bernama ‘bayan’, kemudian menjadi dukuh dan akhirnya dusun. Pada
era kelurahan sebuah kelurahan dipimpin oleh kepala lurah, masyarakat biasa menyebutnya dengan Pak Lurah. Pak Lurah dibantu oleh carik sekretaris desa, bayan
atau tamping kepala dusun, bekel orang kedua lurah, jogoboyo keamanan dan congkok pembantu jogoboyo, ulu-ulu atau jogotirto irigasi, dan naib penghulu, dan
ketib pembantu administrasi. Pada saat ini lembaga pemerintahan tingkat desa dan dusun seperti ini sudah sebagian besar sudah berubah, terutama dari segi penamaan dan
perannya. Memang masih ada beberapa nama jabatan yang masih dikenal dan biasa digunakan oleh masyarakat yaitu bayan untuk menunjuk kepada kepala dusun, dan naib
untuk bagian Kesra saat ini.
47 Di tingkat dusun jabatan yang masih aktual dan fungsional yang mengurus di bidang
keagamaan yaitu kaum dan rais. 1 Kaum adalah mereka yang biasanya memahami acara-tradisi dengan baik dan menjadi pemimpin dalam acara tersebut terutama acara
adat. Misalnya dalam acara pernikahan dan khitanan, kaum memimpin prosesi acara 2 Rois adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam masyarakat dan
dituakan. Dalam upacara pernikahan dan khitanan rois memimpin doa. Kedua lembaga sekaligus tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari
sesepuh di dusun atau di desanya masing-masing. Ketiga, adapun lembaga pemerintaha modern pada level desa sampai RT meliputi
kepala desa yang dibantu oleh carik, kepala urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan kepala dusun. Di bawah kepala dusun masih ada Ketua RW dan
RT yang menjadi lembaga semi pemerintahan. Keempat, asosiasi atau organisasi sosial kemasyarakatan cukup banyak dengan
orientasi yang beragam. Misalnya yang berorientasi kepada agama seperti NU, Muhammadiyah, organisasi kegerejaan. Di bidang keagamaan ini ada juga organisasi yang
dari sejarahnya dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Selain itu ada organisasi yang berorientasi kepada pemberdayaan keluarga atau perempuan seperti PKK, Dasa Wisma.
Aktor atau tokoh yang ada di Kabupaten Kulonprogo beragam. Di kabupaten ini hampir tidak ada tokoh tradisional yang sangat menonjol. Memang di beberapa tempat ada
tokoh-tokoh yang memiliki kaitan dengan Pakualaman seperti di Samigaluh yaitu orang yang memiliki status sosial tinggi atau priyayi karena penghargaan yang diberikan oleh
Pakualaman, mereka biasanya bergelar ‘KRT’. Mereka ini juga menjadi sesepuh dari trah dan juga dihormati oleh masyarakatnya. Dalam pemerintahan desa tradisional dan modern
tokoh yang bergelar KRT dan keturunannya memegang jabatan penting. Di sebuah desa sebuah trah memiliki jaringan yang luas karena anggotanya menyebar di kalangan
masyarakat desa, dan karena tokoh trah yang ada menjadi tokoh maka jaringan kharisma tokoh trah tersebut menjadi menyebar juga. Karena itu pengaruh mereka dalam merespon
terhadap suatu masalah sangat mempengaruhi masyarakatnya. Hal ini nampak dari kasus konflik antarumat beragama di Samigaluh antara muslim dan orang Kristen yang ada
dalam SMK Bopkri. Karena orang Kristen mampu mendekati tokoh trah setempat, maka anggota trah tersebut, seperti Kepala Desa, staf di kantor desa yang sekaligus menjadi
koordinator ojek, dan beberapa kepala dusun condong ke kelompok Kristiani.
48 Di luar tokoh bangsawan-tradisional tersebut masih ada tokoh-tokoh lokal agama
seperti kiai, dan organisasi keagamaan. Sementara pada tingkat dusun di beberapa kecamatan ada tokoh yang dihormati oleh masyarakatnya yaitu rais dan kaum. Kedua
tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari sesepuh di dusun atau di desanya, dan sekali lagi mereka biasanya terafiliasi dalam trah tertentu.
4. Nilai-nilai Lokal Pertama,
tayub. Pada umumnya ditempat lain tayub identik dengan seni tari-
panggung yaitu tari-tarian yang dilakukan oleh laki-laki dewasa, namun tayub juga dimaknai sebagai sebuah nilai oleh masyarakat seperti pada masyarakat Nglinggo
Samigaluh. Adapun seni tayub yang berkembang ditempat lain, di daerah tersebut disebut dengan gambyong, yaitu penari perempuan yang diibing penari laki-laki yang diiringi
dengan gamelan, namun sejak tahun 1945 pasca kemerdekaan, tari tersebut tidak lagi ada karena ada larangan pemerintah.
Sebagai sebuah nilai tayub merupakan ugeran yang dijadikan pedoman bersama oleh masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Dalam hal ini tayub
berasal dari kata ‘ta’ diambil dari kata tata menata dan ‘yub’ diambil dari kata guyub rukun-kekeluargaan
. Secara etimologis berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan. Dengan demikian nilai tayub bermakna menjaga dan
menata-memupuk kembali rasa kekeluargaan dan menjaganya supaya semangat kekeluargaan itu tidak hilang. Semangat ini bukan semata sebatas hubungan keluarga
berdasarkan pada hubungan darah, tetapi kekeluargaan yang berarti semua manusia dan makhluk lain dianggap sebagai keluarga. Baik itu alam sekitar, tetangga jauh apalagi
tetangga dekat. Dalam hal ini tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya.
Nilai tayub ini juga dapat dilihat dalam acara upacara tradisional seperti Saparan bulan Shofar. Dalam upacara adat tersebut siapapun dapat melihat, boleh datang dan
berpartisipasi tanpa melihat latar belakangnya apakah dari kelas sosial tertentu, kelompok, agama golongan dan suku.
Kedua, di lain itu ada ucapan yang selalu dipegang oleh masyarakat setempat guna
menjaga suasana tempat mereka tetap sejuk dan kondusif. Jika ada permasalahan mereka akan ngugemi berpegang ugeran ‘leliru saka liyan’. Leliru dapat diartikan dengan
’mendapatkan ganti’ dan kata saka liyan berarti dari yang lain. Jika digabung maka akan
49 didapatkan kalimat ’mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain’. Dalam hal ini
seorang informan, Ki. HP
, memberi contoh:
Ada seseorang yang kehilangan kambing, dia tahu siapa yang telah mengambil kambingnya tersebut. Orang yang kehilangan kambing tersebut tidak marah, memukul dan
memperkarakan pencurinya pada pihak berwajib polisi agar dipenjara atau pada pemerintah setempat, apalagi menghakimi dengan catatan agar perbuatan tersebut tidak
diualngi lagi. Orang yang kehilangan kambing tersebut memiliki keyakinan bahwa dia akan mendapatkan ganti yang lebih baik dalam atau dari bentuk yang lain leliru saka
liyan.
Secara filosofis leliru saka liyan memiliki makna rasa berserah diri bahwa pada saatnya apa yang dimiliki akan kembali pada yang punya yaitu sing nduwe kersa Yang
Maha Berkehendak atau akan kembali pada Tuhan. Di lain itu, leliru saka liyan juga dapat diartikan bahwa memaafkan itu lebih baik, bersaudara dalam biduk kerukunan lebih
baik daripada apa yang telah hilang rukun lebih baik daripada seekor kambing yang hilang. Keyakinan kepada sang Maha Pencipta bahwa apa yang diambil darinya
merupakan sesuatu yang memang harus dikeluarkan. Ketiga, nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, alon-alon asal klakon sikap
berhati-hati, dan sambatan saling membantu dan bekerja sama. Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling
menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam
kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang orangnya.
e. Upacara
Upacara adat di Kulonprogo dapat dipilah ke dalam upacara yang berkaitan dengan kepentingan umum atau upacara umum, dan upacara yang berkaitan dengan lingkaran
hidup manusia atau upacara lingkaran hidup
Pertama , ada beberapa upacara adat umum yang masih berkembang di Kulonprogo
yaitu: 1
Baritan
Gelar yang diberikan kepada KRT Ki HP adalah gelar kehormatan yang diberikan keraton Pakualamana atas jasanya dalam menjaga petilasan Kyai Sangkelat milik Keraton Pakualaman. Ki HP
sebenarnya masih menjadi kerabat Keraton Pakualaman jika dilihat dari trah Kyai Kampak. Namun sekarang ini Ki HP masuk dalam Trah Oggo Suto sebagai bagian trah Kyai Kampak. Data untuk trah Oggo
Suto belum ditemukan, namun trah Kampak sudah ada
50 Upacara Baritan lebar ngaritpasca panen dilakukan setahun sekali. Upacara ini
berkembang di kalangan masyarakat Samigaluh khususnya di Desa Gerbosari, Banjarsari dan Pagerharjo. Dalam upacara ini setiap masyarakat diwakili salah satu keluarga
membawa hewan dan hasil panen yang dimiliki, lalu berkumpul di sawah, ladang atau tempat yang ditentukan. Kalau di Banjarsari menuju watu bongkang bongkahan batu
besar dalam susunan bertumpuk. Mereka membawa ubarampe berupa dua tumpeng, kupat ketupat dan tahu atau lauk pauk lainnya seperti pelas udang, dan pelas yuyu.
Berdasarkan kasus yang ada di Dusun Balong Desa Banjarsari Jum’at 4 Agustus 2006, prosesi upacara ini dilakukan secara rancak. Upacara dimulai dari pelataran desa
menuju Watu Tumpang dengan membawa ubarampe dipimpin oleh sesepuh setempat, selama dalam perjalanan tersebut diiringi dengan seni gambyong sampai ketempat tujuan
yaitu Watu Tumpang. Sesampainya di sana ubarampe diletakkan dan pengiringnya duduk berderet di depan bongkahan batu besar. Upacara inti dimulai dengan mengucap
doa dan syukur serta selamat, menaburkan bunga di Watu Tumpang, acara ditutup dengan ngibing tayub oleh undangan dan masyarakat setempat. Dalam upacara tersebut
dihadiri juga oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kulonprogo, Camat Samigaluh, dan sesepuh setempat.
Upacara ini dilakukan secara rutin setelah panen raya padi sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian rezeki dan keselamatan yang diberikan Tuhan. Dalam kaitan ini Ki
HP menyatakan:
Upacara baritan dilakukan dengan maksud tetap menjaga kerukunan dalam masyarakat termasuk jika dikaitkan dengan kerukunan agama. Disaat orang berlebihan secara
ekonomi biasanya orang lupa, maka upacara baritan adalah upacara sebagai bentuk mengingat introspeksi diri bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, karena itu
dengan harta yang berlebih manusia harus ingat. Dengan mengingat Tuhan diharapakan panen tetap bisa baik seperti sebelumnya. Mengingat itu diwujudkan dengan upacara
baritan sebagai bentuk rasa syukur. …Meski upacara tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisi Jawa-Islam, umat
selain Islam tidak pernah mempermasalahkan. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah bertahun-tahun ada dan dipegang masyarakat.
2 Saparan Saparan adalah upacara adat yang diselenggarakan pada bulan Sapar Shofar
dalam penanggalan Islam. Pada waktu dulu upacara saparan dilakukan setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di pertengahan bulan, dipimpin oleh Paku
Buwono IV yang oleh warga setempat disebut sebagai Pangeran Proyogati atau Kyai nDalem Tanu untuk membuka perkampungan di Puncak Nglinggo.
51 Pada tahun 1942-1945 upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan karena
penjajah Jepang melarang, namun pada tahun 1946-1948 terjadi wabah aradan sakit pagi, malam lalu meninggal sakit malam, pagi meninggal. Kejadian ini
menghilangkan ketenteraman dalam masyarakat, juga sering gagal panen seperti jagung dimakan babi hutan. Untuk itu beberapa upacara sudah dilakukan guna
mencegah wabah tersebut, seperti nyadran di petilasan Kyai nDalem Tanu, namun wabah tersebut tidak juga hilang. Upacara Saparan menjadi pilihan karena dulu Kyai
nDalem Tanu yang membuka dusun Nglinggo. Setelah upacara saparan dilaksanakan kehidupan normal seperti semula.
Prosesi upacara ini dimulai pada pagi hari yaitu ditampilkan kesenian lokal, kesenian masyarakat setempat seperti jatilan, namun sekarang jatilan yang diganti
dengan hasil kreatifitas warga setempat dianggap kurang bagus. Kira-kira pukul 10.00- 12.00 diadakan kenduren upacara selamatan, jam 12.00-13.00 dilakukan Sholat
DhuhurJum’at. Setelah itu sekitar pukul 13.00 dilakukan acara jejer wayang. Pukul 16.00 dilanjutkan dengan penampilan kesenian lokal. Mulai pukul 20-23.30
ditampilkan acara gambyong yaitu perempuan menari dan diibing oleh laki-laki namun berbeda tempat tidak berdekatan. Pukul 24.00 – pagi disajikan acara wayangan.
Semua acara itu dikenal dengan tradisi tayub yang berarti Tata lan Guyub menata
kembali rasa kekeluargaan. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengusir segala bentuk kesukaran supaya tidak datang lagi. Meminta berkah kepada Tuhan dan sebagai bentuk
rasa syukur. Peserta upacara boleh penganut agama saja, tapi yang beragama non Islam tidak melaksanakan sholat Jum’at.
Upacara adat yang ada tidak murni atau dominan tradisi HinduBudha lagi. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat doa-doa pun berubah
dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam HinduBudha, dilakukan dalam Islam juga
dilakukan oleh penganut Kristen-Katholik. Jika dalam Islam nyekar biasanya dilakukan menjelang dan di awal bulan Ramadhan atau peringatan hari-hari besar
Islam lainnya seperti Syuro muharram dan Sapar Safar, dalam Kristen dan Khatolik biasa diadakan menjelang hari Natal, terkadang juga hari Paskah. Begitu juga dengan
upacara bersih deso, upacara Saparan, dan Baritan, sebenarnya awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam merupakan
rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang
52 dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa-Islam berganti dengan doa-doa Islam
yang diwariskan secara turun menurun. 3 Upacara Jamasan Pusaka
Upacara dilaksanakan oleh masyarakat di Suroloyo Gerbosari Samigaluh setiap tanggal 1 Suro tahun Jawa. Pusaka yang dijamasi dimandikan ialah tombak Kiai
Manggala Murti dan Songsong Kiai Manggolo Dewo yang merupakan pemberian Kesultanan Yogyakarta. Prosesi upacara dimulai dengan kirab dari kediaman sesepuh
Dusun Kecemen menuju Sendang Kawidodaren. Arak-arakan terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat yang membawa hasil bumi berbentuk gunungan serta rombongan
kesenian tradisional. Dalam kegiatan ini ada udik-udik berupa hasil bumi yang diperebutkan anggota masyarakat dan pengunjung yang bertujuan untuk
mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar pertanian berhasil. 4 Selain ketiga upacara tersebut masih banyak lagi upacara yang tersebar di banyak
desa dan kecamatan yaitu a Saparan Kalibuka tiap Jumat atau Selasa Kliwon di Desa Kalireja Kokap yang bertujuan untuk permohonan keselamatan semua warga,
b Sadranan Ki Gono Tirto di petilsan Ki Gono Tirto Desa Hargotirto Kokap tiap Jumat atau Selasa Kliwon pada Bulan Besar, upacara ini dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur dan keselamatan wargakepada Tuhan Yang Maha Esa. c Bersih Desa Taruban di Desa Tuksono Sentolo tiap bulan Besar sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan atas hasil panen. d Dulkaidahan di Dusun pringtali Jatimulyo Girimulyo tiap Jumat Pon Bulan Dzulkaidah sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan atas hasil panen. e Rejeban Gondang di Dusun Balong Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa Kliwon Rejab sebagai permohonan keselamatan kepada Tuhan. f Nawu
Sendang di Dusun Clapar Hargowilis Kokap tiap Jumat Kliwon untuk mohon keselamatan dan ketentreman masyarakat.g Nggumbregi di Dusun Karanggede
Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa atau Jumat Kliwon sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon keselamatan warga kepada Tuhan.
Yang penting dicatat adalah bahwa dalam upacara adat tersebut telah terjadi akulturasi antarberbagai unsur, sehingga sebenarnya upacara tersebut tidak murni
tradisi HinduBudha yang dominan. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat lokal doa-doa pun berubah dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara
adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam HinduBudha, selain dilakukan oleh orang Islam juga dilakukan oleh orang agama lain
53 seperti Kristiani. Jika dalam Islam biasanya dilakukan menjelang dan awal bulan
Ramadhan atau peringatan hari-hari khusus dalam Islam seperti Syuro muharram dan Sapar Safar, maka orang Kristiani biasa mengadakan menjelang hari Natal,
terkadang juga hari Paskah. Berbagai upacara tersebut seperti bersih desa, upacara Saparan, Baritan, dan
sebagainya pada awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam diubah menjadi ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT
atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa Islam berganti dengan doa-doa Islam yang diwariskan secara turun
menurun.
Kedua, upacara lingkaran hidup Upacara Kelahiran: ada beberapa acara guna menyambut kelahiran seseorang
yaitu disebut dengan 1 tingkepan, 2 pasaran, 3 puputan ketika tali pusar copot dari pusat bayi dan 4 selapanan.
Tingkepan dilakukan guna menyambut kedatangan bayi yang belum lahir
yang dilaksanakan ketika kandungan berumur 8 bulan atau akhir bulan kandungan ketujuh. Prosesi tradisi tersebut sebagai berikut: perempuan yang sedang hamil beserta
suaminya dimandikan dengan air dari 7 sumur, bunga 7 warna dan jarik kain untuk orang jawa tujuh lapis dengan warna yang berbeda. Air tujuh 7 sumur ini
diibaratkan kelahiran seseorang paling tidak telah diterima oleh tujuh 7 keluarga yang artinya diterima seluruh warga setempat. Yang memandikan adalah keluarga
yang terdekat dari perempuansuami yang sedang tingkepan tersebut, namun biasanya dalam hubungan kekerabatan lebih dekat dengan si perempuan yang sedang
mengandung. Jumlah orang yang memandikan juga ada tujuh orang. Acara selanjutnya adalah selamatan. Dalam selamatan dibuat tujuh 7 tumpeng yang nantinya akan
diberikan pada para laki-laki yang ikut acara selamatan yang air sumurnya diambil, baru setelah itu si tetangga membaginya untuk peserta yang hadir. Yang hadir dalam
acara tersebut adalah orang-orang yang ada dalam kampung tersebut secara keseluruhan yang berjenis kelamin laki-laki. Biasanya mereka ada dalam satu teritori
dusun, tanpa melihat latar belakang suku agama dan lainnya.
Upacara pasaran dilakukan guna menyambut kelahiran dan dilaksanakan pada
hari ke-4 atau hari ke-7 setelah kelahiran. Biasanya dibarengi dengan upacara selamatan dan doa untuk bayi dan keluarga. Pemberian nama untuk bayi sesaat setelah
54 rambutnya dipotong satu helai. Acara ini bagi kebanyakan masyarakat Islam Jawa
biasanya dibarengi dengan aqiqohan, yaitu penyembelihan 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor kambing untuk bayi perempuan. Acara puncaknya adalah
selamatan dan pemberian nama untuk si bayi.
Upacara Puputan dilakukan guna menyambut kedatangan anggota keluarga
baru. Prosesinya diawali dengan mengadakan selamatan untuk si bayi, rambut si bayi dipotong sehelai dan diberi nama. Upacara ini dilaksanakan ketika tali pusar bayi
terlepas dari pusatnya yang berarti waktunya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan upacara pasaran.
Upacara Selapanan dilakukan pada hari ke-36 dihitung sejak hari kelahiran
bayi yang didasarkan pada pertautan antara hari pasaran dalam jawa dan hari pada umumnya. Jika dia dilahirkan pada hari Selasa Kliwon maka upacaranya diadakan
selapan harinya lagi adalah Selasa Kliwon berdasar pada weton. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan tradisi pasaran dan puputan dikarenakan sama-sama dalam
rangka menyambut
kedatangan bayi.
Yang membedakan
adalah waktu
pelaksanaannya.
Upacara Perkawinan dan Pubertas : Acara nikah disebut mantenan, khitanan
disebut teta’anngislamke dan ngguwang suker disebut ngislamke karena budaya khitan hanya ada dalam tradisi Islam. Dalam masyarakat tersebut, bagi yang tidak
khitan dianggap keturunan Belanda yang berarti musuh. Bentuk acara adalah selamatan. Prosesi pernikahan dapat dilihat dalam pernikahan adat Jawa pada
umumnya. Secara lebih khusus belum ditemukan data spesifik. Begitu juga dengan acara khitanan.
Kematian: Upacara peringatan kematian biasanya dilakukan selamatan dengan
waktu khusus sebagai berikut : 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari. Pada peringatan kematian ke 1000 hari ini biasanya diselenggarkan acaratradisi
ngijing tetenger yaitu membangun bangunan diatas kubur keluarga yang sudah meninggal. Ngijing ini digunakan untuk mempermudah mengenali kubur sesorang.
Biasanya digunakan dalam acara nyekar di bulan Ruwah Sya’ban. Orang yang hadir
dalam setiap ada orang mati dan upacara peringatan orang mati terdiri dari berbagai kalangan dan latar belakang agama, suku dan lainnya.
Hampir semua upacara tersebut masih fungsional dan dilakukan oleh masyarakat setempat. Seorang informan, Ism, menegaskan:
55
Tradidi yang ada dalam masyarakat, khususnya di Samigaluh, masih terjaga dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan masih dilakukannya upacara-upacara adat yang dilakukan
oleh warga setempat. Setiap desa memiliki upacara adat yang berbeda namun tetap merupakan satu kesatuan karena nilai, tempat dan sebagainya masih merupakan rangkaian.
…Namun ada juga yang antara desa tempat satu dengan lainnya yang sedikit berbeda namun memiliki bentuk dan pola yang sama. Misalnya bersih dusun, upacara pernikahan,
khitanan, kematian yang menggunakan tradisi yang berpegang dengan adat setempat budaya lokal. Dalam banyak upacara tersebut, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah
penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa utama bukan bahasa Indonesia
G.
Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa dalam pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung dalam masyarakat masih dominan
pendekatan struktural yaitu upaya yang dilakukan pemerintah, baik yang dilakukan Kantor Ksbanglinmas maupun Departemen Agama dan instansi terkait lainnya di
Kulonprogo. Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik. Upaya-upaya yang dilakukan
yaitu: a Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok secara damai. b Membentuk
forumbadan lembaga guna mempermudah komunikasi antar kelompok. c Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama trilogi kerukunan dan peningkatan kesadaran
hokum. d Deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik. Masalahnya adalah tidak semua hasil-hasil pertemuan antar kelompok agama yang difasilitasi pemerintah dapat
tersosialisasi dengan baik oleh organisasi keagamaan. Hal ini karena pertemuan itu masih
pertemuan elit dan belum merakyat.
Para informan sepakat bahwa dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus ada yaitu 1 Evaluasi posisi modal budaya lokal. 2
Adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen- komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, 3
Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen
budaya lokal sebagai alat pengendali konflik. 4 adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.
1. Evaluasi Budaya Lokal Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pustaka, yang dimaksud budaya lokal
adalah semua ide, aktivitas dan hasil aktivitas manusia dalam suatu kelompok
56 masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal bukan hanya berupa nilai, aktivitas dan hasil aktivitas
tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat setempat, namun juga semua komponen atau unsur budaya yang berlaku dalam masyarakat serta menjadi ciri khas dan
atau hanya berkembang dalam masyarakat tertentu. Pemaknaan budaya lokal secara relatif luas tersebut penting, karena pada era
globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi, sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda
dengan daerah lain. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang plural. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan masyarakat. Identitas biasanya
digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah suku, kelompok, dan bangsa itu dilihat. Nilai yang
terkandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain.
Penggunaan identitas di satu sisi merupakan penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri sehingga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen
untuk pengendalian dan penyelesaian konflik antarkelompok. Di sisi lain ia dapat menjadi pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan konflik baik secara
terbuka maupun tertutup. Komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu a
kelompok sosial, b aktor lokal, c nilai-nilai, dan d upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak
dari keempat komponen budaya tersebut, tentu dengan nuansa yang berbeda pada setiap daerah.
Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status atau keberadaannya dalam proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3
kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai
instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi
57 masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan
dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat.
Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di
sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama.
Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses
pengendalian potensi konflik, menurut para informan, di Kulonprogo terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku
Jawa di Kulonprogo saat ini tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam ugeran tayub, leliru saka
liya, teposelira, sambatan dan gotong royong. Tayub kepanjangan dari tata lan guyub berarti menata hidup rukun penuh kekeluargaan dalam masyarakat. Leliru saka liya pada
intinya bermakna bahwa persaudaraan dan hidup rukun itu jauh lebih baik daripada apa yang hilang. Teposelira berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Sambatan adalah
saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat. Keempat ugeran tersebut dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran
anggota masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Sementara pengukuhan terhadap generasi muda dilakukan melalui sosialisasi dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan
yang ada di masyarakat serta sekolah. Supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen dalam
proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya, menurut para informan harus ada prasyarat atau langkah-langkah yang harus dilakukan.
Di antaranya perlu dilakukan sosialiasasi melalui kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok-kelompok sosial , dan sekolah, termasuk juga melalui media massa.
Sementara ugeran alon-alon waton klakon meskipun masih aktual dalam kehidupan masyarakat, namun dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun
di kalangan masyarakat. Ia lebih mengacu kepada membangun sikap hati-hati dari setiap individu. Karena itu ugeran yang satu ini masuk dalam kategori nilai-nilai yang
inpotensial.
Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam
pengendalian konflik adalah trah dan PKK, dan dasa wisma. Trah merupakan wadah yang didalamnya terdapat jaringan kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling
58 hormat di antara anggota trah dan kerabat. Dalam hubungan antarorang, orang Jawa akan
selalu bertanya ‘orang itu keturunan siapa’. Kalau orang tersebut ternyata ada hubungan kekerabatannya dengan dirinya, berikutnya yang bersangkutan akan bertanya tentang
posisinya dalam struktur kekerabatannya, sehingga timbul saling hormat dan sungkan. Trah di Kulonprogo dapat diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik
setidaknya karena beberapa alasan. 1 trah cukup banyak, baik pada kelompok masyarakat berstatus sosial tinggi maupun menengah-bawah. 2 jenis trah bersifat
heterogen anggotanya beragam latar belakang agama dan homogen anggotanya memeluk satu agama, 3 frequensi kegiatannya selain pada lebarantahunan juga ada
kegiatan lapanan, 4 Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang berbeda agama dan sosialisasi tentang makan penting kerukunan.
Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat diperankan sebagai wadah pengendali konflik secara efektif. Trah harus lebih
dirorientasikan berfungsi sebagai wadah cross cutting affiliation dari anggotanya, sehingga secara sadar punya orientasi kegiatan dalam pengendalian konflik terutama yang
melibatkan anggotanya. Begitu juga ketika terjadi konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif dalam ikut penyelesaiannya. Ini
sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota kerabatnya.
PKK dan dasa wisma sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Kulonprogo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjang-
hirarkis dari tingkat pusat sampai RT khususnya PKK. Hanya saja kelompok sosial ini di Kulonprogo termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan. Alasannya
karena ia mempunyai jaringan hirarkis, ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu yang dianggap mempunyai sikap feminis, sebuah watak yang
dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan budaya hidup damai, latar belakang agama anggotanya heterogen.
Ketiga, di Kulonprogo ada tiga aktor lokal yang dianggap punya pengaruh yaitu
priyayi khususnya yang punya kaitan dengan Puro Pakualaman, kyai, dan pamong baik pada tingkat desa dan dusun. Agak berbeda dengan di tempat lain, di Kulonprogo relatif
tidak ada aktor lokal yang dominan. Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian,
dan penyelesaian konflik antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda.
Pamong sudah banyak dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik,
59 sedangkan kyai dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Sementara priyayi belum banyak
diperankan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik secara langsung. Artinya belum dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian melalui dialog-dialog yang
difasilitasi pemerintah. Hal ini perlu diperhatikan karena jumlah mereka cukup banyak dan sama-sama mempunyai pengaruh dalam struktur masyarakat di daerah ini, khususnya
dalam kaitannya denga anggota kerabatnya. Gotong royong selain berupa ugeran nilai juga dapat berupa kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda
agama berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah sosialisasi tentang hidup rukun dan damai.
Keempat, masyarakat pada tingkat desa dan dusun menyelenggarakan peringatan
hari besar keagamaan dan acara upacara adat. Kegiatan ini biasanya difasilitasi juga oleh pemerintah setempat, terutama memberikan sokongan dana. Dalam peringatan acara
tersebut diselipkan pentingnya hidup rukun. Biasanya hal ini dilakukan oleh aparat desa dalam memberikan sambutan-sambutan sebelum acara dimulai.
Upacara adat di setiap kecamatan dapat berbeda-beda, dan karenanya dapat dikelompokkan ke dalam kategori tertentu yaitu: 1 upacara adat yang secara eksklusif
hanya berlaku dan dilakukan oleh kelompok agama tertentu, dalam hal ini kasusnya dianggap tidak ada 2 Upacara adat yang dilakukan oleh beberapa kelompok agama
namun dengan tempat, waktu yang berbeda seperti ‘nyekar’ selain dilakukan umat Islam juga oleh umat Kristen pada waktu dan tempat yang berbeda, artinya dilakukan sendiri-
sendiri. Begitu juga dengan sadran, meskipun awalnya hanya dipraktekkan di kalangan muslim, namun saat dipraktekkan juga oleh umat Kristen. 3 Upacara adat yang berlaku
dan dilakukan masyarakat umum secara bersama-sama dan lintas kelompok agama, misalnya baritan, saparan, jamasan pusaka, dan bersih desa.
Dari ketiga ketegori upacara adat tersebut, tingkat potensialitas untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah upacara adat yang lintas agama atau
umum, baru kemudian upacara adat yang dipraktekkan 2 atau lebih kelompok umat beragama secara terpisah, dan upacara adat yang dipraktekkan hanya oleh satu kelompok
agama. Tingkatan potensialitas ini jika dilihat dari banyaknya fungsi yang ada pada setiap upacara adat. Upacara adat lintas agama atau umum, selain berfungsi sebagai media
60 sosialisasi hidup rukun juga interekasi antarumat beragama. Sementara 2 kelompok
upacara adat yang lain hanya berfungsi sebagai media sosialisasi hidup rukun.
Tabel 2: Status Komponen Budaya Lokal Status
Komponen Budaya
Potensial Aktual
Inpotensial PBSos
Inter PBSos
Inter PBSos.
Inter.
Nilai-nilai:
1
. Tayub 2. Leliru saka liyan
3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong
royong 5. alon-alon asal klakon
+ +
+ +
- +
+
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. Gotong royong
+ +
+ +
+
Aktor lokal: 1. Priyayi
2. Kyai 3. Pamong
+ +
+ Upacara Adat:
1. Baritan UA Tipe 3 2. Jamasan pusaka Tipe 3
3. Bersih desa Tipe 3 4. Saparan Tipe 2
5. Nyekar Tipe 2 6. Sadranan Tipe 2
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi PB=Pedoman Bersama
Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara
tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama.
Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas
suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa. Misalnya komponen nilai-nilai didasarkan atas budaya Jawa yang menjadi bagian terbesar
masyarakat Kulonprogo, demikian juga dengan upacara adat. Memang dalam upacara adat ini telah terjadi akulturasi antara budaya Jawa dan agama-agama global seperti
Islam dan Kristiani. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas budaya kelompok suku mayoritas, kecuali kyai, namun pada hakikatnya
dengan adanya konsep sesepuh di daerah ini menunjukkan adanya pengaruh budaya Jawa
61 yang kuat. Sesepuh ini adalah orang tua yang dihormati atau dituakan yang nasehat-
nasehatnya sangat diperhatikan. Sesepuh ini biasanya berupa tokoh tradisional dan termasuk priyayi. Adapun dalam upacara lingkaran hidup bersifat paduan budaya Jawa-
agama, khususnya agama Islam. 2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik
Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama.
Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah
interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing.
Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Kulonprogo seperti tayub dan teposelira pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat
tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya.. Nilai-nilai ini harus disosialisasikan kepada masyarakat melalui wadah seperti kelompok sosial
tradisional maupun modern. Kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik lebih
banyak yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun, juga sebagai media interaksi antarorang yang berbeda agama, khususnya dari
kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Sementara ketiga aktor lokal lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan
hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan ketiga tokoh lokal tersebut perlu diberikan media yang dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan
media yang sudah ada. Hal ini dianggap penting karena ketiganya mempunyai pengaruh di lingkungan masing-masing.
Upacara adat mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama tergantung kepada tipe upacara adat tersebut. Sebagaimana dikemukakan di bagian
sebelumnya, upacara adat yang ada di daerah ini hanya terdiri dari dari 2 kelompok yaitu upacara adat yang bersifat umum atau lintas agama, dan upacara adat yang dilakukan oleh
2 atau lebih kelompok umat beragama di tempat, waktu dan ritual yang berbeda. Untuk upacara adat tipe umum-lintas agama dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu
sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Adapun untuk upacara adat yang dilakukan 2lebih umat beragama hanya lebih berfungsi atau
62 diperankan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat
beragama masing-masing. Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga
dikembangkan sebagai wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 3 berikut
Tabel 3: Fungsi dan Sumber Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Berbasis
Kepada
Pedoman Sosialisasi Interaksi
Nilai-nilai 1. Tayub
2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro
4. Sambatan dan gotong royong +
+ +
+
Suku mayoritas
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. Gotong royong
+ +
- +
+ +
Suku mayoritas
Aktor lokal: 1. Priyayi
2. Kyai 3. Pamong
+ +
+ Suku mayoritas
Agama mayosritas
Upacara Adat: 1. Baritan UA Tipe 3
2. Jamasan pusaka Tipe 3 3. Bersih desa Tipe 3
4. Saparan Tipe 2 5. Nyekar Tipe 2
6. Sadranan Tipe 2 Upacara lingk.hidup:
Kelahiran- kematian +
+ +
+ +
+ +
+ +
+ Suku mayoritas
Suku mayoritas– agama global
3. Mekanisme Dalam usaha menerapkan status dan fungsi dari budaya lokal tersebut harus
dilakukan melalui sebuah alternatif cara dan proses. Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama
dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi.
Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi
instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai- nilai lokal oleh kyai, pamong, dan sesepuh-priyayi dalam kegiatan kelompok sosial yang
potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat dan lingkaran hidup, termasuk dalam kegiatan PKK-dasa wisma.
63
Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal
diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh aktor-aktor di luar pamong, kyai dan priyayi melalui berbagai
kesempatan seperti melalui pelatihan, workshop. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh
aktor lain Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih
tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan. Hal ini karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin
dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal