165 untuk tidak melakukan kerusuhan ketika berkonflik dengan pihak lain. Di sisi lain
dikhawatirkan menimbulkan rentetan persoalan lanjutan dari kelompok yang anggotanya kena hukuman, terutama jika kelompok itu termasuk mayoritas dalam
masyarakat.
F. Profil Budaya 1. Umum
Pasuruan dikenal dengan jalur atau daerah tapal kuda yang membentang sampai Banyuangi. Karena itu daerah-daerah yang masuk Kota Pasuruan disebut
dengan daerah pedhalungan yaitu suatu daerah yang secara kultural terjadi titik temu
atau akulturasi antara budaya Madura dan Jawa, terutama di bagian pantai Pasuruan. Daerah ini didominasi oleh suku Madura, hal ini nampak dari logat bahasa Jawa
masyarakat, selain bahasa Madura sendiri, yang umumnya khas Madura sebagai bahasa komunikasi harian.
Meskipun tidak ada data resmi secara pasti, namun seorang informan di bagian P K, Muh 42 tahun, memperkirakan jumlah keturunan orang madura
mencapai 50-60 dari penduduk Pasuruan. Orang Madura datang ke Pasuruan sekitar tahun 1730 karena Pemerintah kolonial Belanda membutuhkan tenaga pekerja untuk
membuka perkebunan di wilayah Pasuruan. Sebagaimana juga dikemukakan Hefner 1999:13 sampai akhir abad ke-19 separuh penduduk Pasuruan terdiri dari orang
Madura. Para migran Madura tersebut kemudian membawa serta bahasa dan tradisi mereka dan mempengaruhi budaya masyarakat setempat.
Ciri khas lain dari budaya pedhalungan adalah masyarakat Islamnya dikenal sebagai kelompok santri-tradisional dan pengaruh kiai sangat kuat, memiliki
temperamen keras serta mudah tersinggung, terutama masyarakat di lor-rel sepanjang pantai. Ketundukan kepada kiai merupakan sebuah keharusan tanpa pamrih, sebuah
budaya yang bersumber dari nilai-nilai agama. Hubungan kiai-santri atau pengikut menunjukkan adanya hubungan patron dan klien, di mana dominasi kiai menjadi
sangat besar. Bahkan walaupun seorang muslim yang termasuk kategori abangan dalam arti tidak melaksanakan ajaran Islam secara utuh, namun jika orang mengejek
kiai atau agama Islam termasuk simbol-simbol Islam mereka akan tersinggung. Kiai dianggap memiliki karomah dan kesaktian.
166 Dalam konteks hubungan kiai-santri-pengikut ini seorang budayawan
Pasuruan, KK 45 tahun, mengemukakan secara skeptis dan kritis:
Pada masa-masa yang akan datang tokoh agama, kiai itu harus dikendalikan pengikut, bukan kiai yang mengendalikan pengikutnya. Kiai harus mengikuti
kemauan pengikut. Hal ini dapat dicapai kalau ada kesetaraan antara tokoh dengan pengikut, terutama dari segi pendidikan dan ideologi. Melalui peningkatan pendidikan
maka pengikut akan mempunyai wawasan yang luas sehingga mereka kritis terhadap yang dilakukan kiai terutama dalam persoalan politik. Sekarang ini banyak kiai yang
bermain di bidang politik mulai menghadapi resistensi dari masyarakat, sehingga mereka tidak menjadi panutan untuk semua masyarakat dan tidak bisa jadi penengah
karena tidak netral lagi. Hal ini terlihat ketika dalam Pilkada yang baru lalu.
Sebenarnya budaya masyarakat Pasuruan bukan hanya terdiri dari budaya santri-Islam, tapi juga budaya priyayi-Mataraman, dan Cina. Informan saya, KK 45
tahun mengemukakan secara panjang lebar tentang hal ini:
...Secara sederhana budaya yang berkembang di Pasuruan saat ini ada tiga subbudaya yaitu budaya santri, Mataraman, dan Cina...Budaya santri adalah budaya yang dimiliki
orang Islam yang taat menjalankan syariat dan memiliki tata cara kelakuan yang didasarkan atas ajaran agama. Mereka ini sekarang adalah orang Jawa dan Madura
atau keturunan Jawa-Madura, sedangkan pada masa lalu terdiri dari orang Jawa yang berpenduduk asli.
Setelah jatuhnya Pasuruan ke tangan kekuasaan Mataram pada tahun 1617, maka budaya Mataram mulai mempangaruhi masyarakat Pasuruan. Budaya Mataram atau
disebut budaya Jawa mengandung ajaran tentang pendidikan budi pekerti, dasar perilaku dalam pergaulan dan konsep manunggaling kawula gusti, dan pendidikan
dasar anak.
Budaya Cina yang ada di pasuruan sudah banyak mengalami perubahan akibat proses akulturasi budaya karena pengaruh budaya Belanda dan Jawa. Dalam tataran manifes
budaya Cina berbaur dengan budaya-budaya yang ada di Pasuruan, tetapi pada tataran nilai budaya masih dipegang teguh oleh orang Cina seperti sembahyang, upacara
kematian, perayaan hari besar besar Cina dan kesenian barongsai. Bahkan dari segi pemukiman yang bernama pecinan.
Budaya Pasuruan saat ini merupakan proses morfologi selama ratusan tahun. Walaupun begitu ketiga subbudaya yang ada tidak mengkristal menuju pembentukan
budaya baru yang seragam, namun budaya santri masih dominan. Memang ada akulturasi budaya terutama pada level lahiriyah atau struktur, tetapi bukan pada level
nilai. Hal ini karena tiap subbudaya santri, priyayi-Mataraman, dan Cina mempunyai karakter eksklusif.
Selain itu antara budaya santri dengan priyayi dan Cina sering terjadi konflik,
terutama pada level nilai. Masyarakat asli Pasuruan memiliki budaya yahanno yang
167 berarti pura-pura, artifisial. Budaya yahanno merupakan bentuk perlawanan diam-
diam terhadap dominasi budaya kaum pendatang. Secara lahiriah seolah tidak ada masalah, namun sebenarnya bermasalah, tidak menyukai terhadap budaya priyayi
Mataraman dan Cina. Hal ini pada awalnya terpaksa dilakukan karena adanya dominasi secara politik baik dari Kerajaan Mataram maupun pemerintah kolonial
Belanda. Pada pemerintah kolonial Belanda status pribumi berada di bawah status sosial Londo, peranakan, dan Cina. Pada perkembangan selanjutnya menjadi nilai
budaya yang berada di bawah sadar masyarakat asli. Karena itu budaya yahanno ini oleh KK 45 tahun dianggap sebagai api dalam
sekam yang jika ada akselator tertentu dapat meledak. Ia mencontohkan kasus kerusuhan dan konflik antara masyarakat asli terhadap orang-orang Cina dan dengan
penguasa yang dianggap representasi kaum priyayi di masa lalu sebagai bukti resistensi tersebut. Pada masa berikutnya sampai saat ini budaya yahanno ini
terungkap dalam konflik kaum santri dengan Cina yang dianggap representasi dari kelompok non-muslim Kristiani. Ini sekaligus menunjukkan, dalam bentuknya yang
lain, terjadi pergeseran sasaran budaya yahanno dari Cina ke Kristen. Meskipun ada konflik antara kaum santri-asli terhadap priyayi-Mataraman,
namun ada sifat inklusifisme dan egalitarianisme pada budaya santri. Hal ini yang menyebabkan, terpaksa atau tidak, kaum priyayi-penguasa tetap diterima dan bahkan
diberi penghargaan. Gejala ini dapat ditarik ke belakang yaitu sejak Kerajaan Mataram memasukkan Pasuruan sebagai bagian wilayahnya. Tradisi pemasangan
orang-orang Mataram di Pasuruan ini terus berlangsung seperti Untung Suropati sebagai Adipati Pasuruan 1686, Arya Adikara 1725 hingga R.M. Adipati
Soegondo, dan secara substantif berlangsung sampai masa Orde Baru. Adapun bentuk penghargaan kaum santri terhadap priyayi-penguasa disimbolisasikan melalui
diperbolehkannya mereka dimakamkan di belakang Masjid Agung Pasuruan, ini merupakan penghargaan luar biasa karena yang boleh dimakamkan di masjid tersebut
adalah orang yang berpangkat wali atau ulama’.
2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Pasuruan berdasarkan prinsip keturunan bilateral yaitu sistem yang mengacu kepada garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Hal
ini tidak berbeda dengan sistem kekerabatan orang Jawa dan Madura pada umumnya.
168 Perkawinan antara penduduk asli dan pendatang atau antarsuku sudah biasa
terjadi di masyarakat Pasuruan. Demikian juga dengan perkawinan antarorang yang memiliki status sosial yang berbeda. Sementara perkawinan antarorang yang berbeda
agama masih tabu, sehingga sampai saat ini belum ditemukan kasus perkawinan beda agama, setidaknya di kalangan penduduk asli. Mereka menolak perkawinan seperti itu
karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Setelah pasangan kawin masih banyak di antara mereka yang tinggal bersama
dengan orang tua perempuan matrilokal, dan orang tua laki-laki patrilokal. Selain itu banyak juga yang mulai bergeser menempati tempat-tinggal baru neolokal.
Pasangan baru tersebut membentuk keluarga batih baru. Hal ini biasanya tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi pasangan baru dan keluarga pihak suami atau
isteri. Suatu kebanggaan bagi pasangan laki-laki jika dapat menyediakan tempat tingal baru bagi isterinya.
Jika pasangan baru masih terus bertempat tinggal di kediaman salah-satu orang tua pasangan maka dalam keluarga tersebut akan terbentuk keluarga luas
extended family. Keluarga luas terutama terdapat di masyarakat yang ada lor-rel kereta-api atau pantai. Sebagaimana diketahui kebanyakan masyarakat lor-rel kereta
api ini adalah terdiri dari orang keturunan Madura. Hal ini terutama karena faktor ekonomi, banyak keluarga baru bahkan yang sudah mempunyai anak masih tinggal
bersama dengan orang tua mereka. Di masyarakat Pasuruan cukup berkembang asosiasi yang berdasarkan
kekerabatan, biasanya disebut dengan bani, seperti Bani Imran atau Basaiban. Bani ini tidak jauh berbeda dengan trah yang ada di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Perbedaannya adalah kalau trah merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan anggotanya dapat berbeda agama, sedangkan bani
anggotanya hanya menganut satu agama yaitu Islam. Kata bani sendiri berasal dari Bahasa Arab yang berarti anak keturunan seperti Bani Adam merupakan anak-
keturunan Nabi Adam. Kata bani ini juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa kumpulan dari orang sekarabat tersebut bersifat religius atau taat beragama.
Di Pasuruan kelompok kerabat yang mendirikan bani umumnya orang-orang yang memiliki status sosial tinggi seperti Bani Imran atau Basaiban tersebut.
Menurut informan saya, KK, sebenarnya fungsi pokoknya untuk menyambung
169 silaturrahmi di antara anggota kerabat yang tunggal ‘mbah buyut’, selain untuk
membedakan dengan komunitas kerabat yang lain. Kegiatannya adalah melakukan pertemuan minimal setahun sekali. Umumnya
pada waktu lebaran Idul Fitri. Mereka menyebutnya dengan pertemuan syawalan bani. Pada saat itu selain dilakukan salam-salaman, yang terpenting adalah ceramah
keagamaan yang diberikan oleh sesepuh ataupun orang yang diminta untuk pembicara syawalan. Intinya berkisar tentang pentingnya silaturrahmi antarkeluarga dan dengan
siapapun, memelihara kerukunan dan ketaatan beragama seperti shalat lima waktu, puasa atau bersedaqah bagi yang mampu, dan saling menolong di antara anggota
kerabat. Di antara bani ada juga yang mengadakan pengumpulan dana sosial yang diperuntukkan bagi anggota kerabat yang tidak mampu ataupun ketika ada musibah
yang menimpanya.
3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal
Kelompok sosial yang ada di Pasuruan cukup banyak dan beragam dari segi orientasinya.
1 Lembaga sosial kemasyarakatan bentukan atau prakarsa pemerintah yang ada pada skala nasional seperti MUI kota, DGI, PGI, PKK, dan juga semi pemerintah seperti
Forum Kerukunan Umat Beragama yang akan dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, dan
Penyukuh Agama Honorer PAH 2 Kelompok sosial kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat yang ada pada
tingkat lokal-kota Pasuruan dengan orientasi yang berbeda-beda. Misalnya kelompok yang berorientasi keagamaan seperti majelis taklim, dan pondok
pesantren, orgnaisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, kelompok gereja.
1
Pondok pesantren dan majelis taklim atau kelompok pengajian yang cukup banyak terdapat di Kota Pasuruan. Sebagaimana dimaklumi bahwa sebagai kota
santri dalam arti kota yang masyarakatnya taat beragama, kota ini juga dikenal
1
Di Kota Pasuruan ada 12 gereja yang sekaligus menunjukkan sebagai kelompok sosial pemeluk Kristiani. Ke-10 gereja tersebut yaitu 1 GPDI Anugerah , 2 GPDI W.R. Supratman, 3 Gereja Kristen
Indonesia GKI, 4 Gereja Pantekosta Immanuel, 5 Gereja Sidang Jemaat Alah, 6 Gereja Bethel Injil Sepenuh, 7 GPIB ‘Pniel’, 8 Gereja Bethel Tabernakel, 9 Gereja Advent GMAHK, 10 Gereja Kristen
Jawi Wetan, 11 Persekutuan Doa ‘Agape’, dan satu-satunya gereja Katolik 12 yaitu Gereja Katolik St. Antonius.
170 sebagai kota santri dalam arti kota yang banyak berdiri pondok pesantren dan
kelompok pengajian. Pada saat ini di kalangan muslim sudah bermunculan kelompok keagamaan yang melakukan kajian dari rumah ke rumah termasuk juga
Hizbut Tahrir Indonesia. Kelompok yang berorientasi kedaerahan. Kelompok ini anggotanya berasal
dari orang-orang yang memiliki hubungan asal daerah, seperti Kelompok Arisan Tulungangung, Banyuangi, Malang, dan lainnya. Ketika acara arisan biasanya diisi
juga dengan kegiatan ceramah untuk memupuk solidaritas di antara anggotanya. Setiap anggota diharapkan dapat saling membantu ketika anggota lain mengalami
kesulitan. 3 Kelompok yang berdasarkan pada hubungan kekerabatan yaitu bani sebagaimana
dijelaskan di atas Dalam setiap kelompok dan masyarakat pasti ada pemimpin, begitu juga di setiap
daerah akan memiliki pemimpin atau aktor lokal yang dihormati dan dijadikan panutan oleh masyarakatnya. Di Kota Pasuruan aktor lokal yang menonjol adalah kiai.
Seorang kiai adalah tokoh lokal muslim di kalangan orang Pasuruan. Dengan demikian secara rinci yang termasuk seorang kiai adalah: seorang pemimpin Islam,
yang jadi panutan di kalangan muslim, bahkan juga di kalangan nonmuslim, memiliki pengetahuan agama yang lebih di antara anggota masyarakat lainnya, dan mengasuh
pondok pesantren ataupun bukan. Kiai pada umumnya memiliki peran: 1 mendidik masyarakat Islam tentang
moral-keagamaan dan memimpin kegiatan di bidang keagamaan. 2 Ia menjadi pribadi panutan masyarakat dalam keseluruhan kepribadiannya. Selain itu mereka
memiliki peran sekunder yaitu menjadi panutan dalam banyak aspek seperti sosial, politik, dan bahkan ekonomi. Peran pokok di bidang keagamaan mencakup semua
kegiatan alih informasi pengetahuan keislaman melalui berbagai media seperti pengajian atau majelis taklim, khutbah, dan atau pondok pesantren. Mereka juga
memimpin perawatan janazah, hajatan manten, dan syukuran kelahiran. Lebih dari itu seorang ajengan menjadi aktor lokal, sesuai dengan tingkatannya, yang seluruh
akhlak pribadinya menjadi sosok tauladan bagi orang sekitarnya. Bahkan begitu banyak cerita yang berkembang dalam masyarakat Islam Pasuruan bahwa seorang kiai
adalah sosok sakti dan mempunyai karamah seperti yang dituturkan oleh Pak KK.
171 Seorang kiai juga memiliki peran sekunder di bidang politik. Memang di
kalangan tokoh masyarakat ada persepsi bahwa seorang kiai yang terjun ke dunia politik praktis biasanya kharismanya akan memudar dan tingkat keberpengaruhannya
pada lintas kelompok menjadi luntur. Jika seorang kiai memihak kepada salah satu partai, apalagi salah satu calon dalam Pilkada maka akan ada resistensi dari kalangan
kelompok Islam sendiri. Pada akhirnya jika dikaitkan dengan adanya konflik antarkelompok dalam masyarakat, seorang kiai yang terjun ke dunia politik praktis
tidak dapat menjadi penengah atau mediator konflik. Peran kiai di bidang politik praktis ini sering dilematis di hadapan kiai
sendiri. Di satu sisi mereka ingin tetap menjadi netral dalam aktivitas politik, namun di sisi lain tarikan ke arah itu sangat kuat dengan berbagai iming-iming kedudukan
dan materi yang menggiurkan. Berdasarkan kenyataan tersebut maka di kalangan masyarakat muncul
sebuah ide tentang perlunya redefinisi kiai pada saat ini. Menurut informan tersebut, Pak HI dan Pak KK:
Seorang kiai atau tokoh masyarakat sebaiknya tidak bermain dalam politik, sebab jika itu dilakukan maka akan muncul penolakan masyarakat terhadap kiai tersebut. Ini
sudah dapat dicontohkan dengan seorang kiai menyebut nama seorang kiai yang memihak kepada salah satu calon Pilkada akhirnya kurang dihormati oleh
masyarakat. Karena itu seorang kiai seharusnya mengikuti kemauan pengikut bukan pengikut yang mengikuti kiai, tapi itu perlu perjuangan , utamanya pendidikan
masyarakat harus setara.... Ketokohan kiai itu karena keihlasannya dan kesederhanaanya, tidak berorientasi kepada materi atau jabatan...
Keberadaan dan keberpengaruhan kiai yang ada saat ini tidak sekuat kiai-kiai sepuh sebelumnya yang sudah meninggal, misalnya KH Yasin Hasan Abdullah
w.1996, KH. Hamid, dan lainnya. Pada saat ini peran kiai nampaknya relatif menyebar, kecuali KH Subadar. Meskipun KH. Subadar tempat tinggalnya masuk
Kabupaten Pasuruan namun ia juga mempunyai pengaruh di Kota Pasuruan. Tokoh atau kiai yang lain seperti Kiai Fayami, Idris Hamid. Di bawah itu ada tokoh-tokoh
yang dapat dikatakan berada pada level kedua seperti Ustad Dhofir. Kiai ini berperan dalam banyak kelompok seperti di MUI, pondok pesantren,
Forum Komunikasi Umat Beragama FKUB, organsiasi sosial keagamaan terutama NU. Mereka juga, terutama tokoh yang berada pada level kedua, banyak yang
menjadi anggota legislatif setempat.
172 Sementara di kalangan Kristiani tokoh yang paling menonjol adalah Pendeta
G.J.H. Lantu, M.Th. Ia adalah Pendeta di Gereja GPIB ‘Pniel’, sebuah gereja yang dibakar massa pada Mei 2001 dan sering mengalami ancaman bondet mercon untuk
menangkap ikan. Gereja tertua di Pasuruan ini mempunyai jamaah yang lebih banyak daripada gereja-gereja Protestan lainnya. Pendeta Lantu juga menjadi anggota
dalam FKUB. Di luar tokoh-tokoh tersebut masih ada tokoh komunitas tertentu terutama
tokoh dari komunitas Madura seperti H. Hasan. Ia sekarang menjadi anggota legislatif dan ketua PKB. Yang paling penting dicatat sampai saat ini memang tokoh di luar
kiai belum ada yang mampu menyainginya.
3. Nilai-Nilai Lokal
Dalam masyarakat Pasuruan cukup banyak terdapat nilai-nilai lokal yang dipegangi oleh masyarakat agar supaya dalam kehidupan masyarakat rukun
antarsesama. Memang ada nilai yahanno yang mungkin cenderung bersifat negatif dari penduduk asli, namun di sisi lain secara umum budaya orang Pasuruan sangat bersifat
egaliter dan terbuka. Sifat-sifat yang terakhir ini yang kemudian budaya orang Pasuruan sangat akomodatif terhadap budaya lain.
Adapun beberapa nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Pasuruan sebagai berikut:
Pertama, gotong royong masih dipegangi oleh sebagian besar masyarakat. Meskipun menurut Pak KK nilai-nilai budaya ini semakin terkikis oleh sifat
materialitik dalam kehidupan masyarakat. Mereka menganggap gotong royong sebagai sesuatu yang buang-buang waktu dan tidak ekonomis, waktu yang seharusnya
untuk berusaha memperoleh uang menjadi tidak memperoleh apa-apa. Kedua, mbiodo adalah menyediakan tenaga, dan dapat juga pikiran, untuk
membantu orang lain, tetangga ataupun kenalan yang sedang mengadakan hajatan. Tradisi mbiodo ini terutama berlaku dalam hajatan pernikahan dan juga sunatan.
Dalam mbiodo orang tanpa melihat latar belakang agama, suku, pendatang atau asli, dan status sosial orang yang membantu atau dibantu. Bahkan kalau orang yang
memiliki status sosial lebih tinggi atau agama nonIslam melakukan mbiodo kepada
173 orang yang status sosial lebih rendah atau penganut Islam, maka orang tersebut lebih
dihormati lagi. Ketiga, bowo adalah memberi bantuan secara ikhlas tampa pamrih ketika ada
hajatan atau resepsi. Bedanya dengan mbiodo, dalam bowo ini yang dibantu adalah orang yang memiliki hubungan kerabat dengan yang membantu.
4. Upacara
Upacara lingkaran hidup yang berkembang di masyakarat Pasuruan antara lain yaitu: upacara yang terkait dengan kematian yaitu tradisi layatan atau ‘nglayat’ orang
meninggal. Tradisi ini sangat kuat di kalangan masyarakat. Selain itu ada juga ‘tahlilan’. Ada 2 jenis tahlilan yaitu: 1 tahlilan untuk memperingati kematian
seseorang mulai dari 1-7 hari, 40 hari, 100 atau nyatosin, setahun, dan nyewun nyebunen. 2 tahlilan yang diadakan secara rutin yaitu tiap malam Jum’at yang
diadakan di masjid, mushalla atau rumah tertentu. Yang penting dicatat dalam kegiatan layatan, khususnya tahlilan ini adalah
meskipun diperuntukkan dan berlaku di kalangan orang Islam, namun tidak menutup pesertanya adalah orang nonIslam. Bahkan jika ada orang nonIslam yang datang
menghadiri tahlilan terutama tahlilan jenis pertama, tuan rumah menjadi sungkan dan menaruh hormat.
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal