134 keluarkan pihak laki-laki, apalagi lagi jika kakak si perempuan belum menikah maka
pihak laki-laki yang akan memberikan plakahnya plengkat. Akad nikah bertempat di rumah perempuan atau masjid, selanjutnya mempelai
perempuan dibawa ke pihak keluarga laki-laki dengan diantar rombongan dari kampung pihak perempuan, pihak laki-laki sudah menyiapkan pesta. Setelah itu pihak
laki-laki akan pergi ke pihak perempuan bejanggu=ngunduhi [Jawa] dengan diiringi oleh seluruh teman dan kerabat nyongkol. Selanjutnya pihak perempuan akan ke
pihak laki-laki balik tampak setelah sebelumnya ditentukan harga adat aji krame Dalam resepsi perkawinan biasanya yang hadir semua kerabat dan orang-orang
dekat dari pihak penganten dan orang tua penganten. Dalam hal ini tanpa melihat latar belakang status sosial, suku maupun agama.
Upacara kematian: Karena masyarakat mayoritas beragama Islam maka adat
yang di gunakan juga layaknya ajaran Islam. Jika ada yang meninggal maka seluruh warga baik itu laki-laki ataupun perempuan ikut ke makam. Kemudian diadakan
tahlilan 7 , 9, 40, 100, 400,1000 harinya, dan kalau setahun di adakan peringatan kematian.
Dalam upacara kematian ini dihadiri oleh semua orang tanpa melihat latar belakang agama, suku maupun lainnya. Semua orang yang mengetahui kematian
seseorang apalagi tetangga maka ia akan menghadirinya. Bagi mereka yang bukan tetangga jika orang itu mengenal dan teman maka ia akan menghadirinya.
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal
Pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung di Mataram agak beda dengan daerah lain yang masih dominan pendekatan struktural. Di
Mataram sudah ada upaya untuk merivatalitasi pendekatan kultural dan berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal.
Adapun kegiatan yang dilakukan melalui pendekatan struktural yaitu: sosialisasi wawasan kebangsaan, deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA,
sosialisasi dan institusionalisasi tentang kerukunan umat beragama, dan kebijakan pemrintah Kota berupa surat dan himbauan tentang pentingnya toleransi antarumat
beragama, optimalisasi peran pemerintah desa untuk memfasilitasi dialog antarumat beragama. Juga dialog dan diskusi antarumat beragama yang menghasilkan Forum
Komunikasi Antarumat Beragama.
135 Adapun kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan kultural namun masih diprakarsai
oleh pemerintah yaitu: pencanangan hari Jumat sebagai hari imtaq dengan penggunaan pakaian khas sesuai dengan agama yang dianut, gotong royong antarumat beragama
membersihkan tempat ibadah umat beragama yang dilakukan aparat pemerintah bersama dengan tokoh umat beragama. Sementara kegiatan revitalisasi budaya lokal berupa
kegiatan ngayo dan memberdayakan awig-awig. Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang
harus diperhatikan yaitu: evaluasi posisi modal budaya lokal; adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam
upaya pengendalian konflik antarumat beragama, serta adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan
dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik, termasuk dalam penyelesaian konflik; dan adanya mekanisme yang jelas tentang cara
penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.
1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal Sebagaimana halnya ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang
lain, komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat aspek yaitu: a kelompok sosial, b aktor lokal, c nilai-nilai, dan d upacara. Karena itu dalam mencari
model pengendalian, termasuk penyelesaian konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut.
Penilaian terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari statusnya dalam proses pengendalian konflik. Untuk itu ada 3 kemungkinan statusnya yaitu:
potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam
pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan
atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan.
Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat, dan keyakinan keagamaan
yang berkembang dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan
sebagai instrument pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Hanya yang
136 penting dicatat sejak awal bahwa pemerintah dan masyarakat Mataram memiliki
semangat untuk merevitalissasi budaya lokal dalam menumbuhkembanngkan kerukunan umat beragama.
Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut
masih bisa diterima anggota masyarakat yang masih didominasi suku Sasak ini. Nilai- nilai yang mengandung dorongan untuk hidup rukun dan potensial terdapat dalam tradisi
ngejot, blangan, bebagarbersih desa. Ngejot adalah tradisi dalam masyarakat Sasak berupa bantuan dalam bentuk apa saja ketika orang lain mengalami kesusahan ataupun
sebang tanpa pandang agama, suku dan lainnya, baik pikiran dan tenaga. Blangan mengandung nilai tolong menolong dan memberikan sumbangan atau bantuan kepada
orang lain yang kesusahan. Meskipun nilai blangan berlaku di kalangan orang Islam, namun nilai-nilai ini dianggap dapat diperluas kepada penganut agama lain karena
mengandung kebaikan bersama. Sememntara yang dimaksud bebagar atau bersih desa mengandung nilai gotong royong dalam pengertian sempit yaitu kerja bakti yang
dilakukan masyarakat khususnya untuk kegiatan besen-tulak tolak balak. Ketiganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat. Baik ngejot,
blangan maupun bebagar selain berupa nilai juga berupa wadah kegiatan dimana orang- orang yang berbeda agama berinteraksi.
Selain itu saat ini pemerintah juga menciptakan slogan yang dapat dijadikan sebagai nilai bagi masyarakat yaitu ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Nilai
yang tercantum dalam slogan ini adalah dorongan agar setiap orang yang hidup di bumi Mataram, tanpa pandang latar belakang agama, suku, lapisan sosial, sekse, harus secara
bersama-sama dan pribadi menjunjung martabat, dan ketahanan masyarakat Mataram. Karena itu dibutuhkan kerja sama dan menjauhi konflik antarsesama dan kelompok.
Siapapun dan dengan latar belakang apapun harus menjadi bagian dari orang Mataram yang memiliki kebiasaan menjunjung kebersamaan, toleransi, menjaga ketahanan dan
martabat. Nilai-nilai dalam slogan ini telah diaktualisasikan melalui sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga toleransi dan martabat bersama masyarakat Mataram, dan
sekaligus potensial untuk dikembangkan. Slogan ini bersumber dari nilai adat merang
dalam masyarakat Sasak yaitu nilai-nilai solidaritas antar sesama atau nilai-nilai kebersamaan tanpa pandang latar belakang seseorang.
137 Informan saya memberikan penekanan agar supaya nilai-nilai rukun dalam
ugeran-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus
dilakukan, terutama di kalangan generasi muda, dan juga peran pemerintah untuk merevitalisasinya. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
serta berupa kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kedua, kelompok sosial lokal-tradisional yang ada di daerah ini berupa
pengusung, keliang, dan banjar. Para informan menyadari bahwa kelompok sosial tradisional ini secara kelembagaan pada saat sekarang sudah dapat dikatakan tidak ada,
karena sudah digantikan oleh lembaga pemerintahan modern yaitu mulai dari desa sampai RT-RW. Meskipun secara institusional kelompok sosial tersebut sudah tidak ada, dan
secara fungsional, peran-perannya sebagian besar telah diadaptasi oleh lembaga pemerintah modern tersebut, namun mereka menekankan agar fungsi substansial-
tradisional dari pengusung-keliang-banjar harus terus dilanjutkan atau ditambahkan pada lembaga pemerintahan modern di tingkat desa, dusun dan RT-RW saat ini dan ke depan.
Misalnya fungsi pengendalian sosial dan kedekatan secara psikologis dalam suasana keguyuban. Potensialiatas kelompok ini dapat dilihat dari kesadaran masyarakat
tentangnya, misalnya sebagian orang Sasak masih menyebut mau ke keliang kalau mereka mau ke kepala dusun.
Dengan demikian pengusung-keliang-banjar ‘hanya’ potensial secara fungsional sebagai institusional dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Potensi
kefungsionalan ini yang harus diadaptasikan kepada lembaga semi pemerintah modern
mulai dari desa-RT-RW. Hal ini karena masih adanya persepsi dan kesadaran masyarakat
tentang fungsi-tradisional dari kelompok tersebut. Juga karena kelompok sosial ini dapat membawahi ragam masyarakat yang berbeda agama.
Sementara itu meskipun ada pondok pesantren namun di kota ini tidak banyak dan karenanya dianggap tidak dimasukkan ke dalam kelompok sosial yang potensial dalam
pengendlaian konflik. Di pihak lain, lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Wathan didirikan oleh TG. Zainuddin Abdul Majid tahun 1950 dapat dianggap sebagai lembaga
lokal yang potensial sebagai wadah pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab lembaga ini telah memiliki jaringan yang cukup luas, dan sebagai pondok pesantren, telah
melahirkan alumni dan pengaruh di kalangan tuan guru.
138 Ketiga, tokoh lokal yang paling menonjol di daerah ini adalah tuan guru.
Walaupun keberpengaruhannya tuan guru bertingkat, mulai dari tingkat kampung sampai kota, dan lintas-kotakabupaten. Peran-peran ketuanguruan dilakukan melalui lembaga-
lembaga sosial lokal yang ada di masyarakatnya, seperti MUI, organisasi keagamaan, pondok pesantren, bahkan dalam partai politik.
Upaya pemanfaatan tuan guru sebagai instrumen pengendalian konflik berarti lebih berbasis kepada kelompok agama mayoritas Mataram Islam. Hal ini karena
mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Sasak dan Mataram umumnya.
Tokoh lokal yang lain yang pantas diperhitungkan adalah lalu. Hal ini karena lalu saat ini berbeda dengan jaman dulu yang dianggap kurang dekat dengan pihak muslim.
Saat ini walau mereka tidak banyak perperan dalam penyiaran agama, namun mereka muslim taat. Lebih dari itu lalu saat ini banyak berperan di bidang pemerintahan, dan ini
dapat menjadi modal utama mereka dalam berperan serta dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama
Sementara pengusung-keliang-banjar sebagai sebuah aktor dianggap tidak potensial lagi seiring dengan hilangnya secara institusional. Aktor lokal tradisional ini
sudah digantikan oleh aktor lembaga pemerintahan modern. Keempat, upacara adat yang ada di Mataram antara lain pujawaliperang ketupat,
ngentunin menanam padi, bau nyale menangkap cacing laut, sadranan. Hanya sayangnya upacara adat tersebut, khususnya pujawali, ngentunin, dan bau nyele dianggap
tidak potensial lagi untuk dijadikan sebagai instrumen pengendalian konflik antarumat beragama. Hal ini karena beberapa alasan yaitu: 1 Seiring dengan menguatnya peran
tuan guru dalam pemurnian Islam, maka upacara adat yang berbau Hinduisme, wetu telu dan animisme dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, 2 dan karenanya upacara
tersebut dianggap tidak layak lagi untuk dikembangkan keberadaannya. 3 Karena selama ini konflik yang terjadi antara Islam dan Kristiani, maka upacara itu dianggap tidak layak
dijadikan instrumen karena upacara tersebut banyak dianut oleh masyarakat Hindu. 4 Di wilayah perkotaan seperti Mataram upacara itu sudah memudar dan bahkan hanya tinggal
kenangan. Sementara sadranan hanya lebih berupa ziarah ke kubur terutama di kalangan muslim, sehingga dianggap tidak potensial untuk dijadikan sebagai instrumen
pengendalian konflik.
139 Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian seperti
tujuh bulan dari kehamilan, pra-apipenamaan, ngurisinpotong rambut, sunatan, perkawinan, kematian, dan tahlilan dianggap dapat dijadikan sebagai media pengendalian
konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir dapat berasal dari orang-orang
yang berbeda agama. Sebagai bagian dari upacara lingkaran hidup, khususnya perkawinan, nyongkol
juga dianggap masih potensial untuk dijadikan sebagai wadah pengendalian konflik antarumat beragama, khususnya sebagai wadah interaksi antarumat agama. Hal ini selain
masih menjadi kesadaran dan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, juga tidak ada halangan dari tokoh agama untuk menumbuhkembangkannya.
Berdasarkan evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya yang potensial untuk menjadi
instrumen pengendalian konflik di daerah Mataram lebih banyak berbasis budaya Islam.
Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Status
Potensial Aktual
Inpotensial
Nilai-nilai:
1
. Ngejot 2. Blangan
3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit
dijunjungMerang +
+ +
+
Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar
2. Org.agama:Nahdatul Wathan
3. Pondok pesantren +Adaptasi
fungsi, bukan
institusi +
+
Aktor lokal: 1. Tuan guru
2. Lalu 3. Pengusung-keliang-banjar
+ +
+ +
Upacara Adat: 1. Pujawali
2. Ngentunin 3. Bau Nyele
4. Sadran Upacara lingk.hidup:
Kelahiran- nyongkol, kematian
+
+ +
+ +
140 Misalnya komponen tokoh-tokoh panutan dan kelompok sosial yang ada yaitu tuan guru,
organisasi Islam, dan sumber yang berasal dari tradisi kesukuan seperti nilai-nilai yang tercantum dalam ugeran dan slogan.
2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa fungsi komponen budaya dalam
pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama.
Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing.
Nilai-nilai budaya di Mataram seperti ngejot, blangan, bebagar, atau merang pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa harus mengenal
perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya. Sementara kelompok- kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu organisasi keagamaan
berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun. Dalam konteks hubungan antarumat beragama ia hanya berfungsi sebagai media sosialisasi tentang hidup
rukun dan damai kepada umat Islam. Hal yang berbeda adalah posisi bebagar, sebagai pranata di dalamnya ada
kegiatan yang dilakukan masyarakat secara berulang dalam waktu yang relatif lama dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks ini bebagar berfungsi sebagai
media interaksi antar orang yang berbeda agama, dan perbedaan identitas lainnya. Aktor lokal seperti tuan guru, dan lalu berfungsi sebagai subyek pemberi
sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Sebenarnya sosialisasi hidup rukun dan damai ini dapat diterapkan juga kepada tokoh agama
nonIslam yang sering dan potensial terlibat konflik antarumat beragama yaitu tokoh-tokoh Kristiani, baik Protestan maupun Katolik.
Satu di antara ciri khas daerah Mataram adalah tidak ada kelompok sosial dan aktor lokal yang memayungi semua komunitas yang berbeda agama, maka potensial
untuk dikembangkan suatu kelompok atau wadah yang di dalamnya aktor lokal lintas agama dapat berdialog, bertinteraksi, dan melakukan aksi bersama. Sebenarnya selama ini
sudah ada wadah sejenis, namun sifatnya sangat termporer dan sangat tergantung kepada pemerintah seperti Forum Umat Beragama FUB. Wadah ini dianggap temporer karena
kegiatannya terbatas kepada aksi bersama ketika ada komando dari pemerintah, sehingga yang banyak berperan adalah pemerintah. Ke depan wadah lintas agama, termasuk
141 Forum Kerukunan Umat Beragama, anggota di dalamnya harus a melibatkan tokoh-
tokoh lokal seperti tuan guru, tokoh Kristiani, dan lalu atau wakil dari tokoh-tokoh lokal tersebut, b berfungsi sebagai media komunikasi-interaksi, sosialisasi-dialog dan
aksi bersama, c memiliki kegiatan yang rutin dan berkala, yang d dilakukan bersama, bukan didominasi oleh pihak lain khususnya pemerintah, pemerintah sebaiknya berposisi
dan memposisikan diri sebagai fasilitator ketika dibutuhkan. Upacara adat seperti pujawali, ngentunin, dan bau nyele sebenarnya dapat
berfungsi sebagai wadah interaksi dan bahkan sosialisasi nilai -nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama, namun sejak awal upacara adat ini banyak ditentang oleh
informan terutama dari kalangan tuan guru karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Ini sekaligus menunjukkan bahwa walaupun secara substansial ada upacara yang
mirip di dua atau lebih daerah, namun belum tentu upacara adat itu dapat difungsikan sama dengan di daerah lain. Hal ini biasanya tergantung kepada 2 hal yaitu: 1 pandangan
keagamaan dari tokoh agama lokal yang ada dan sekaligus tingkat keberpangaruhannya, 2 kesadaran dan pelaksanaan upacara adat itu oleh masyarakat. Sementara upacara
lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama. Adapun nyongkol sebagai bagian dari upacara perkawinan
dapat diterima untuk dikembangkan sebagai instrument dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, terutama sebagai wadah interaksi
antarumat beragama dan dalam batas-batas tertentu untuk sosialiasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Rencana Fungsi Berbasis
Kepada
Pedoman Sosialisasi
Interaksi
Nilai-nilai:
1
. Ngejot 2. Blangan
3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit
dijunjungMerang +
+ +
+
Suku mayoritas
Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar
2. Org.agama:Nahdatul Wathan + adaptasi
fungsi +
Suku mayoritas Agama mayoritas
Aktor lokal: 1. Tuan guru
2. Lalu +
+ Agama dan suku
mayoritas
142
Upacara Adat: 1. Pujawali
2. Ngentunin 3. Bau Nyele
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol kematian
+ Suku-agama
c. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses
pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi
instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai- nilai lokal oleh tuan guru, dan lalu, dan tokoh agama dalam kegiatan kelompok sosial
yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan organisasi agama masing-masing, dan upacara lingkaran hidup termasuk nyongkol, atau melalui wadah baru
yang lintas agama-suku yang dibangun bersama. Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal
diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan dan saluran,
misalnya melalui pelatihan dan media massa, dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama prasangka antarkelompok umat, misiologi
agama, khususnya Kristenisasi, kesejangan sosial-ekonomi oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka
sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok
sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal