39 Kemudian sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri tahun 2006 setiap kabupatenkota diharuskan membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB. Karena itu di setiap kabupatenkota yang sudah ada forum
komunikasi antarumat beragamanya harus menyesuaikan diri dengan Peraturan Bersama tersebut. Untuk Kabupaten Kulonprogo sampai penelitian ini dilakukan FKUB baru belum
terbentuk, sedangkan FKUB lama sudah habis masa baktinya demisioner sehingga kerja praktis belum bisa dilakukan yang berakibat pada tersendatnya pertemuan-pertemuan
tersebut. Secara legal formal pertemuan-pertemuan tersebut belum bisa dilakukan. Namun pertemuan dapat dilakukan dalam forum yang diselenggarakan oleh Kesbanglinmas.
Penentuan waktunya sesuai dengan kebutuhan karena dalam forum tersebut dapat dijadikan forum pembentukan FKUB yang baru.
Sesuai dengan aturan baru, sekretaris FKUB adalah adanya wakil dari pemerintah posisi dalam struktur sebagai sekretaris, dalam kaitan ini, pendirian tempat ibadah
seperti masjid, mushola, gereja, wihara harus mendapat persetujuan dari FKUB. Kedua, cara kultural dilakukan masyarakat di tingkat desadusun, masyarakat
menyelenggarakan peringatan hari besar keagamaan dan acara upacara adat. Kegiatan ini biasanya difasilitasi juga oleh pemerintah setempat, terutama memberikan sokongan dana.
Dalam peringatan acara tersebut diselipkan pentingnya hidup rukun. Biasanya hal ini dilakukan oleh aparat desa dalam memberikan sambutan-sambutan sebelum acara dimulai.
E. Upaya Penyelesaian Konflik
Dari beberapa hasil wawancara dengan beberapa sumber, pemerintah berperan penting dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Terlebih dalam mencegah
supaya konflik tersebut tidak meluas. Berikut adalah beberapa peran pemerintah yang diwakili dinas atau lembaga terkait dalam penyelesaian kasus yang pernah terjadi di
Kabupaten Kulonprogo :
1. Kasus Samigaluh
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, di daerah ini pernah terjadi konflik antarumat beragama yang bersumber dari kebijakan di bidang pendidikan. Langkah
penyelesaian yang diambil oleh pemerintah waktu itu adalah : 1 Berkaitan dengan pengajaran agama, pemerintah melalui Dinas Pendidikan
Kabupaten Kulonprogo dan Kanwil Pendidikan Provinsi DI. Yogyakarta menjadi Fasilitator.
40 2 Akhirnya menemukan titik temu dengan mendirikan SMK 1 Samigaluh yang
bentuknya filial pada SMK N 1 Pengasih guna menampung siswa yang tidak lagi meneruskan sekolah di SMK Bobkri Samigaluh.
3 Pihak kecamatan Samigaluh dan aparat desa Pagerharjo menjadi perantara, karena wilayah konflik berada diwilayah kecamatan Samigaluh. Pihak kecamatan menjadi
perantara antara Dinas pendidikan dan pihak yang berkonflik dan aparat desa berkaitan dengan penempatan sekolah baru yaitu SMK N Samigaluh yang berada
didesa Pagerharjo. 4 Berkaitan dengan keamanan maka kepolisian dan pemerintah setempat desa
melakukan tugas pengamanan dengan sterilisasi wilayah. Mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan masuk di desa Pagerharjo dan Kebonharjo di
Kecamatan Samigaluh guna mencegah meluasnya konflik. Pada waktu itu sempat diberlakukan jam malam.
Peran tokoh masyarakat memang dilibatkan, namun dari data lapangan menunjukkan, mereka justru terfragmentasi pada dukung-mendukung salah satu pihak
yang berkonflik. Dalam hal ini peran mereka dalam konflik tersebut sebagai tokoh yang
berupaya meredam massa masing-masing supaya mampu menahan diri, bukan sebagai penengah. Sebagai contoh Pur mantan Kepala desa Kebonharjo, Puj tokoh masyarakat
Ngaliyan, Ngargosari, Sai tokoh masyarakat Banjarsari, Muh tokoh pemuda Kebonharjo, dan KH Ma tokoh agama NU ikut dalam kubu Fropentas pimpinan Drs
Mar.
2. Kasus Kedunglo
Kasus ini terjadi di Pesantren Kedunglo Kecamatan Pengasih. Kasus ini berawal dari aktivitas seorang tokoh agama kyai yang berasal dari luar Kedunglo. Ia memberikan
ajaran Islam yang tidak sesuai dengan paham muslim pada umumnya Aliran Wachidiyah. Penolakan bukan saja dilakukan oleh muslim, namun juga oleh nonmuslim
Kristen, Katholik. Ajaran agama Wakhidiyah dianggap ‘nyleneh’ dan karena itu meresahkan masyarakat.
Penyelesaian yang dilakukan adalah pemerintah memanggil tokoh Wakhidiyah dan menegaskan bahwa setiap orang yang masuk dan beraktifitas keagaamaan seharusnya
meminta izin kulo nuwun pada masyarakat setempat. Jika ingin melakukan aktifitas organisasi, maka harus meminta izin kepada pemerintah setempat dan melengkapi
perizinan
41 Pada akhirnya pesantren Kedunglo tersebut diperbolehkan dengan syarat tidak
mengajarkan ajaran-ajaran yang membuat resah masyarakat dan mengurus perizinan baik kepada pemerintah setempat desa dan pemerintah daerah kabupaten
3. Kasus Kokap dan Toyan
Ditempat tersebut ada 2 dua KK yang memeluk agama Kristen. Rumah mereka sering digunakan acara-acara yang oleh pemeluk Islam setempat disebut dengan
kebaktian, namun pemeluk Kristen tersebut menganggap hanya pertemuan biasa, sedangkan nyanyian yang diperdengarkan adalah sebagai rutinitas doa dalam agama
Kristen lagu-lagu kebaktian. Kegiatan pemeluk Kristiani tersebut dianggap bermasalah oleh pemeluk Islam
karena pihak pertama tersebut belum meminta izin kepada warga setempat. Bagi pemeluk Islam setiap orang yang ingin mengadakan acara keagamaan harus meminta izin kepada
warga setempat supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Mereka mencontohkan juga dengan pernikahan, setiap orang yang ingin melakukan resepsi pernikahan perlu mendapatkan
izin, baik formal dan non formal pada pemerintah setempat RTRW. Dengan demikian dalam kasus ini ada prosedur formal yang tidak dipenuhi,
dengan kata lain ada penyalahgunaan rumah biasa menjadi tempat ibadah. Sebab dalam pemahaman muslim setempat ada tata cara yang harus dipenuhi jika tempat tersebut ingin
dijadikan tempat ibadah, misalnya 1 tanah tersebut harus diserahkan pada pengelola dalam bahasa islamnya diwakafkan pada yayasan atau badan; 2 bangunan yang
diajukan harus khusus, sehingga dapat dibedakan antara bangunan tempat ibadah dan rumah tempat tinggal. Sebenarnya ini juga berlaku bagi seluruh agama termasuk Islam
yang ingin mendirikan mushola atau masjid; dan 3 selain itu dalam pendirian gereja, UU terdahulu mensyaratkan ada 50 pemohon yang menyetujui tempat ibadah tersebut, namun
sekarang menjadi 60 orang. Lalu ada jamaah sedikitnya 90 orang. Sebagai catatan, untuk kasus di tempat lain seperti di Glagah, mensyaratkan
adanya 50 orang pemohon, dan dari pihak pemohon sudah memenuhinya. Dalam kasus ini surat ijin pendirian gereja belum dikeluarkan karena lokasinya berada di kawasan
wisata Glagah, sebab harus menunggu konfirmasi dari Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata terlebih dahulu. Jadi dalam kasus ini belum ada penyelesaian tuntas.
Dari beberapa kasus konflik antarumat beragama Kulonptogo ternyata penyelesaiannya lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum
memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat dan
42 lembaga pemerintah setempat atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik.
Memang ini bukan sebuah kesalahan total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat beragama seringkali berulang dalam pola yang
sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat. Cara penyelesaian yang tidak melibatkan tokoh-tokoh dalam masyarakat ini karena
sering tokoh agama sendiri tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam kasus konflik tersebut mereka sering berpihak kepada satu golongan.
Di sisi lain aparat pemerintah di level bawah desa, dusun, kampong sampai RW-RT belum dilibatkan secara optimal. Aspek sangsi hukuman juga belum ditegakkan, karena
memang dalam kasus tersebut belum ada aturan tentang sangsi hukuman bagi penyalagunaan rumah menjadi tempat ibadah, akibatnya kasus yang sama akan selalu
berulang. Penyelesaian sudah mempertemukan dan mengadakan musyawarah antarpihak
yang berkonflik, tetapi pembicaraan lebih mengarah pada hukum posistif tentang aturan yang berlaku dalam negara. Dalam banyak kasus, misalnya pendirian tempat ibadah lebih
cenderung pada aspek pemenuhan persyaratan perizinan dan kelengkapan surat-surat.
F. Profil Budaya 1.