Potensi Konflik KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL

113 pondok atau majelis taklim, tidak menjadi pegawai negeri sebab kalau menjadi pegawai negeri ia hanya berstatus sebagai ustadz serta tidak harus orang Sasak asli. Terlepas dari statusnya yang kharismatik melalui usaha, yang jelas seorang tuan guru punya peran utama melakukan sosialisasi doktrin dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, termasuk kepada muslim Wetu Telu. Karena tuan guru merupakan status capaian yaitu status yang diperoleh karena upaya seseorang, maka seringkali terjadi persaingan antarmereka, terutama dalam memperoleh anggota dan memperluas pengaruhnya, bukan hanya di bidang sosial-keagamaan tapi juga di bidang lain seperti ekonomi, dan politik.

B. Potensi Konflik

Fokus konflik yang dijadikan titik perhatian di Kota Mataram adalah konflik yang bersumber dari imbas solidaritas umat Islam di Mataram terhadap muslim di Maluku dan Poso. Mereka sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa umat Islam di kedua daerah tersebut akibat perlakuan dari pihak Kristen. Konflik fokus dalam kasus ini terjadi pada 17 Januari 2000. Masyarakat setempat memberi kode ‘171’ atas peristiwa tersebut. Peristiwa yang semula berupa tabligh akbar kemudian, ‘entah siapa’ dan ‘pihak mana’ yang memulai menurut beberapa informan, bergeser menjadi pembakaran gereja yang ada di Kota Mataram. Potensi Konflik Prakonflik: Dari informasi yang ada menunjukkan bahwa walaupun peristiwa pembakaran gereja itu bukan merupakan bagian acara dari tabligh akbar, namun hal tersebut bukan berarti terjadi begitu saja. Sebaliknya sebenarnya hal itu tidak dapat dilepaskan dari potensi-potensi konflik yang sudah ada di antara umat beragama. Potensi-potensi tersebut sebagai berikut: 1. Pembangunan gereja yang dianggap tidak proporsional 2. Missi Kristen yang memberikan kebutuhan sehari kepada muslim tak mampu 3. Kesejangan sosial-ekonomi 4. Pendidikan formal Kristen Pertama, menurut L.Ju, umat Islam sebenarnya sudah lama tidak dapat menerima kenyataan atas pertumbuhan gereja di Kota Mataram, sebab pertumbuhannya sudah tidak proporsional lagi, hal ini karena tidak sebanding dengan jumlah umat Kristiani. Lebih jauh beliau menyatakan: 114 Aksi tersebut tabligh akbar bukan karena alasan solidaritas semata, melainkan karena persoalan masa lalu yang tidak tuntas penyelesaiannya….Untuk itu sebenarnya masalah pokok adalah karena tidak berdayanya masyarakat menghadapi kekuasaan baca: pemerintah selama ini yang sedemikian longgar terhadap umat Kristiani dalam penyiaran agamanya d kalangan penduduk yang mayoritas beragama Islam, khususnya dalam hal pendirian rumah ibadah gereja. Hal senada dikemukakan beberapa informan muslim yang pada intinya mengemukakan keberadaan gereja dianggap mengganggu karena dua hal yaitu: a tidak seimbang, dalam arti melampauhi batas dari jumlah umat Kristiani sendiri, dan b karena banyak dari gereja itu dibangun di tengah-tengah pemukiman umat Islam yang mayoritas. Dari penegasan informan tersebut dapat diketahui bahwa salah satu faktor pokok semakin banyaknya jumlah gereja tersebut karena sikap pemerintah yang dianggap terlalu longgar, sehingga cenderung menyalahi aturan perundang- undangan yang ada misalnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 01BERMDN-MAG1969 tentang ‘Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya,’ terutama item yang menyatakan bahwa ‘setiap pendirianpembangunan tempat ibadah harus mendapat izin dari Kepala DaerahWalikota.’ Jika kita lihat perbandingan antara jumlah umat Kristiani dan gereja, sebagaimana disebutkan sebelumnya, memang daya tampung rata-ratanya paling sedikit dibandingkan dengan tempat ibadah umat lainnya, terutama jika dibandingkan dengan masjid yang dimiliki umat Islam. Bahkan jika kita lihat data tahun 2000, ketika itu umat Kristiani berjumlah 6626 orang dengan jumlah gereja sebanyak 17 unit, berarti rata-rata satu gereja hanya menampung 390 orang. Jika dilihat per-kecamatan menunjukkan sebagai berikut: di Ampenan gereja rata-rata menampung 319 umat Kristiani, di Mataram rata-rata menampung 348 orang, dan di Cakranegera menampung 664 orang. Sementara itu pada tahun yang sama, masjid ada 256 unit harus menampung sekitar 1141 muslim. Kedua, selama ini dari pihak muslim menganggap orang Kristen meskipun secara sembunyi-sembunyi memberi kebutuhan sehari-hari terhadap muslim tidak mampu. Hal itu sebenarnya, menurut informan muslim yang lain, sepenuhnya bukan kesalahan orang Kristen, umat Islam dan lembaga-lembaga Islam punya andil karena sudah kurang peduli terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari muslim yang miskin. 115 Respon pihak Kristen terhadap persepsi umat Islam ini, mirip seperti yang diberikan oleh pemimpin gereja di Pasuruan, yang menyatakan bahwa orang Islam tidak memahami ajaran Kristen Protestan, dalam Kristen ada ajaran yang disebut diakone atau pelayanan umat, baik ke dalam maupun keluar. Pelayanan kebajikan keluar dilakukan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan, jadi dalam hal ini sisi kemanusiannya yang penting. Dengan demikian ada satu kegiatan yang dimaknai berbeda oleh kedua belah pihak akibat perbedaan budaya norma atau keyakinan yang dijadikan kriteria. Bagi pihak Kristen kegiatan itu sebagai bagian aktualisasi kebajikan dan pengamalan agama, tapi bagi muslim dianggap sebagai bagian misi Kristen yang merugikan kepentingan Islam, atau seperti dikemukakan Tg. Sof. ‘mereka memanfaatkan kemiskinan umat Islam untuk kepentingan misinya.’ Berbeda dengan orang Hindu, walaupun jumlahnya jauh lebih banyak dari Kristen dan memiliki sejarah konflik dengan Sasak-Islam, namun karena di Mataram mereka tidak ofensif seperti orang-orang Kristen dalam menyebarkan agamanya, bahkan orang Hindu menjadi sasaran orang Kristen dan Islam, maka tidak terjadi konflik antara orang Islam dengan orang Hindu. Ketiga, seperti di tempat lain, potensi konflik antarumat beragama, khususnya Islam-Kristen di Mataram juga ada kaitannya dengan kesenjangan sosial-ekonomi antarkelas dari kelompok yang berbeda agama. Dalam kasus ini, seperti dituturkan oleh Tg. Sof. terutama di Ampenan dan Cakranegara. Seperti diulas di depan bahwa umat Kristiani terdiri dari orang-orang Cina dan orang non-Sasak seperti Manado dan Batak. Suku-suku ini memiliki status sosial-ekonomi yang mapan terutama orang Cina yang menguasai perdagangan kelas menengah ke atas di Kota Mataram. Itulah mengapa, pada saat peristiwa ‘171’ tersebut juga terjadi penjarahan toko serta perusakan rumah dan kendaraan milik orang-orang Kristen, terutama dari kalangan Cina. Keempat, Kristen memiliki banyak lembaga pendidikan sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMA. Siswanya banyak berasal dari kalangan muslim. Hal ini dianggap sebagai ancaman oleh pihak muslim. Pertanyaannya mengapa kesadaran akan adanya ‘ancaman’ itu baru muncul. Hal ini nampaknya dapat dilihat dari dinamika budaya yang berkembang di kalangan muslim sendiri. Sebagaimana dikatakan P. Is, beberapa waktu sebelum pecah peristiwa ‘171’ sampai sat ini mulai 116 muncul dan berkembang kelompok muslim ‘tekstual’ yang memiliki kesadaran pengamalan Islam secara kaffah juga kepekaan terhadap gerakan misi Kristen. Kesadaran ini tidak menutup kemungkinan terfokus juga kepada persoalan pendidikan sekolah Kristen. Memang sampai saat ini belum ada aksi seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi Konflik Pascakonflik: Setelah terjadinya peristiwa ‘171’ dan setelah pertemuan antarwadah umat beragama, bukan berarti potensi konflik punah. Dari penjelasan kedua belah pihak, baik muslim maupun Kristen, dan kecenderungan di lapangan menunjukkan adanya potensi ke arah ini. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam dua hal: 1 pembangunan kembali gereja, dan 2 pernyataan mengenai penegakan kesepakatan dan gerakan Islam-tekstual Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa potensi konflik prakonflik yang paling utama adalah karena pertumbuhan gereja yang tidak proporsional, yang kemudian berpadu dengan faktor-faktor lain. Faktor ini telah menjadi ancaman bagi muslim yang kemudian menjadi aktual ketika ada peluang untuk itu yaitu mengambil kesempatan ketika tabligh akbar tersebut. Setelah terjadinya konflik, tokoh Islam menghendaki ada semacam rasionalisasi atau relokasi terhadap keberadaan gereja, namun di lapangan menunjukkan hal lain. Sebab hampir semua gereja yang dibakar dibangun kembali, bahkan beberapa di antaranya dibangun lebih megah dan lebih besar dari semula. Selain itu potensi ini juga dapat dilihat dari pernyataan tokoh agama, misalnya dari pihak muslim, seperti dikemukakan P.Is dan Tg.Sof: Potensi konflik dan konflik ke depan tidak akan ada sepanjang kelompok umat beragama termasuk umat Islam, hanya membina umatnya masing-masing, bukan membina umat lain baik kasar maupun halus…tetapi konflik akan muncul lagi kalau orang Kristen menyalahgunakan arti kebebasan bermisi, memanfaatkan kemiskinan umat Islam…sebab kalau umat Islam dizalimi kita berhak mereaksi. Pernyataan ini mengandung peringatan dini dan halus bagi pihak lainnya akan makna penting mematuhi kesepakatan dan melakukan kegiatan yang wajar. Di dalamnya jelas tersirat adanya perasaan terancam atas kegiatan-kegiatan pihak lain yang merugikan kepentingannya. Hal ini akan melahirkan konflik aktual atau kasus jika di pihak yang lain melakukan sesuatu yang dianggap merugikan. Apalagi di Mataram saat ini muncul gerakan keislaman tekstual yang memiliki kepekaan terhadap kegiatan misi agama lain. 117

C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab