229 total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat
beragama seringkali berulang dalam pola yang sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat.
Memang tokoh-tokoh lokal masih dilibatkan dalam proses penyelesaian tersebut, namun umumnya di setiap lokasi mereka menjadi peserta, bukan sebagai
penengah mediator atau pemrakarsa. Untuk kedua peran perakhir ini dilakukan pemerintah. Hal ini di antaranya karena tokoh lokal masyarakat sendiri tidak lagi
menjadi pengayom secara keseluruhan, akan tetapi dalam kaitan konflik biasanya mereka tokoh masyarakat berpihak atau terfragmentasi pada satu golongan. Jadi para
tokoh pun terjadi dalam blok tertentu. Ini sekaligus menjadi kendala dalam upaya mengoptimalkan peran budaya lokal, khususnya tokoh lokal.
Cara penyelesaiannya dilakukan musyawarah dan dialog. Mekanismenya adalah pemerintah mengundang tokoh ormas keagamaan dan wadah musyawarah
umat beragama yang dianggap mewakili kelompok yang terlibat konflik. Kemudian setelah itu dilakukan musyawarah untuk mengambil solusi terbaik saat itu dan ke
depan. Karena lebih mengedepankan aspek musyawarah dan dialog, maka instrumen hukum menjadi tidak berjalan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog
penyelesaian konflik sejauh mungkin menghindari sanksi hukum positif. Meskipun begitu ada kehendak politik dari pihak pemerintah untuk memanfaatkan sanksi
hukum adat seperti dalam kasus Mataram yaitu menggunakan awig-awig. Persoalan penegakan hukum ini nampakanya dilematis, di satu sisi sangat
penting ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi anggota masyarakat, terutama untuk tidak melakukan kerusuhan ketika berkonflik dengan pihak lain. Di sisi lain
dikhawatirkan menimbulkan rentetan persoalan lanjutan dari kelompok-kelompok yang anggotanya kena hukuman, terutama jika kelompok itu termasuk mayoritas
dalam masyarakat. Misalnya akan terjadi kerusuhan baru yang membuat keadaan menjadi semakin tidak kondusif.
F. Budaya Lokal
Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pusaka, budaya lokal yang dimaksud adalah semua ide, aktivitas dan hasil aktivitas manusia dalam suatu
kelompok masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman
230 bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal tidak berarti sekedar berupa nilai,
aktivitas dan hasil aktivitas tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat setempat, namun semua budaya yang masih berlaku dalam masyarakat, seperti dari
budaya nasional yang berkembang. Meskipun budaya lokal yang bersumber dari tradisi merupakan suatu hal yang penting karena kekhasan masing-masing di setiap
daerah.
Penerimaan budaya dari berbagai sumber sebagai budaya lokal tersebut penting karena pada era globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi,
sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain dengan kekhasan masing-
masing. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan
kekayaan dari keanekaragaman bangsa yang plural dan heterogen. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan
masyarakat. Identitas biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah bangsa itu dilihat.
Nilai yang dikandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain. Dalam pada itu, penggunaan identitas disatu sisi merupakan
penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri namun di sisi lain merupakan pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan
konflik baik secara terbuka maupun tertutup. Komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi 4 aspek yaitu a
sistem kekerabatan, b kelompok sosial dan aktor lokal, c nilai-nilai, dan d
upacara. Pertama, sistem kekerabatan.
Semua masyarakat di lokasi penelitian menggunakan sistem kekerabatan bilateral. Walaupun begitu dalam hal kepemimpinan pihak laki-laki menjadi
pemimpin dan utama patriarki. Hal ini mempengaruhi kepada aktor lokal yang berkembang di setiap daerah yaitu terdiri dari laki-laki.
Selain itu peran keluarga luas semakin terkontraksi dan sebaliknya peran keluarga inti semakin kuat, terutama dalam melakukan sosialisasi atau inkulturasi
terhadap anggota keluarga inti. Proses kontraksi keluarga ini nampaknya sejalan dengan yang dikemukakan Durkheim dan Parsons atas pengamatannya di masyarakat
231 Barat ketika menuju masyarakat moderen. Bagi Parsons meluasnya keluarga inti
karena memang struktur keluarga luas tidak sejalan dengan prinsip masyarakat moderen. Proses kontraksi ini terjadi pada semua lapisan sosial. Hal ini tidak seperti
temuan Rene Konig dalam Polak, 1979: 342, yang menyatakan bahwa keluarga luas hanya banyak berkembang pada lapisan atas, sedangkan keluarga inti banyak
berkembang pada lapisan bawah. Memang ada perbedaan akselarasi pada setiap
keluarga karena adanya perbedaan kemampuan secara ekonomis.
Ada dua dimensi yang nampak saling bertentangan akibat dari proses kontraksi keluarga dalam masyarakat. Di satu sisi hubungan sosial tetap berlangsung
di antara keluarga inti yang sekerabat, namun di sisi lain memunculkan liberalisasi dan isolasi sosial di antara keluarga inti. Proses kontraksi keluarga memunculkan otonomi
keluarga inti yang lebih kuat. Otonomi ini ditandai dengan terjadinya proses liberalisasi dan munculnya isolasi sosial dari anggota keluarga inti. Anggota keluarga
inti lebih mempunyai kebebasan dalam memutuskan hal yang terkait dengan persoalan internal keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak dan sosialisasi nilai-nilai
keagamaan dan tradisi. Dengan demikian ayah-ibu menjadi faktor primer dalam proses pengasuhan anak dalam keluarga, sedangkan anggota kerabat yang lain menjadi faktor
sekunder. Munculnya isolasi sosial keluarga inti, baik di kalangan masyarakat luas maupun keluarga beda agama, memang menambah beban kehidupan yang lebih berat,
namun tidak mengurangi kualitas solidaritas dan kasih sayang dari keluarga inti yang
lain terutama dari orang tua, sebaliknya kualitas persaudaraan itu semakin menebal.
Di sisi lain seiring dengan proses kontraksi keluarga luas ke keluarga inti saat ini juga terjadi dinamika budaya, hal ini ditandai dengan berkembangnya asosiasi
yang didasarkan atas pertalian kekerabatan yaitu trah atau bani. Gejala ini muncul di
Kulonprogo dan Solo, dan batas-batas tertentu di Tasikmalaya dan Pasuruan.
Yang penting dicatat dari keberadaan trah ini adalah banyak dari anggotanya yang mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham
agama maupun agama yang dianutnya, dan mereka menjadi anggota dalam berbagai unit sosial sekaligus cross-cutting affiliation. Karena itu dari segi agama
anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang anggotanya sama- sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah
yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena
232 dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan
pancer dan perkawinan. Kalau trah merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan anggotanya dapat berbeda agama, sedangkan bani
anggotanya hanya menganut satu agama yaitu Islam, dan bani ini terdapat di
Pasuruan.
Walaupun ada perbedaan jenis trah dari segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan
antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Mereka
melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat insidental misalnya ketika ada pernikahan kerabat
khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada sosialisasi nilai-nilai kekerabatan dan kesukuan, pentingnya
hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai
ekonomis seperti arisan, dan bantuan sosial-ekonomi lainnya. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masing-
masing dalam kaitannya dengan pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya dalam batas-batas tertentu telah menjadi wadah pemelihara ikatan primordialisme dan
menghidupkan kembali revitalisasi fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batas- batas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial sosial cement dari orang-
orang yang berbeda agama. Kedua, selain keluarga inti yang banyak berperan dalam sosialisasi nilai, serta
trah atau bani, pada saat ini hampir semua lokasi berkembang kelompok sosial yang berupaya mengembangkan peran dan kesejahteraan keluarga inti seperti PKK, dasa-
wisma yang diprakarsai oleh pemerintah secara nasional. Kelompok sosial dijalankan oleh ibu-ibu, dan karenanya perannya sangat strategis karena langsung terkait dengan
kepentingan keluarga terutama ibu-ibu. Kelompok yang didalamnya ada ibu-ibu dapat dianggap efektif dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik karena
mereka memiliki sifat feminis dan greteh yaitu tekun dan sabar dalam melakukan
tugasnya yang tidak dimiliki oleh pihak laki-laki.
Mengingat kedudukannya yang strategis, maka sebenarnya kelompok sosial yang langsung terkait dengan keberadaan dan kepentingan keluarga inti sangat
berarti jika dijadikan sebagai instrumen dalam upaya pengendalian dan penyelesaian
233 konflik antarumat beragama. Selama ini upaya pengendalian dan penyelesaian konflik
yang dilakukan pemerintah lebih bersifat massif-kelompok, tidak rutin, dan terfokus kepada wakil organisasi formal keagamaan dan cenderung elitis. Karena itu perlu
diimbangi dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik dari kelompok sosial yang terkait dengan keluarga atau kekerabatan ini karena lebih bersifat kontinu dan
langsung bersentuhan dengan keluarga.
Secara umum kelompok sosial khususnya asosiasi dari segi kekhasan-
tidaknya, pemerintahan-masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk oleh pemerintah.
Kelompok ini ada pada setiap daerah yang menjadi lokasi penelitian ini. Misalnya yang berorientasi keagamaan seperti MUI, DGI, PGI, PAH, FKUB; kelompok
yang berorientasi kepada kesejahteraan perempuan seperti PKK, dan Dasa Wisma,
2. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk masyarakat sendiri seperti orsos keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Majelis Muhahidin, FPIS,
kelompok-kelompok gereja-Kristiani, Majelis Mujahidin, pondok pesantren, majelis taklim
3. Kelompok sosial skala lokal bentukan masyarakat sendiri 4. Kelompok sosial skala lokal bentukan pemerintah
5. Lembaga pemerintahan adat tradisioanl 6. Lembaga semi pemerintahan modern level bawah dari tingkat desa-RT
Setiap kelompok sosial, terutama dalam skala lokal, memiliki peran yang hampir sama tapi mempunyai tingkat pengaruh yang relatif berbeda di tiap daerah.
Di Pasuruan misalnya ada pondok pesantren, dan majelis taklim. Di Tasikmalaya selain pesantren-majelis taklim juga ada organisasi sosial keagamaan yang memikiki
ideologi fundamentalis seperti Majelis Mujahidin, sementara di Solo juga ada organisasi Islam fundamentalis sepeti Mejalis Mujahidin dan FPIS. Di Kulonprogo
yang menonjol adalah kelompok tradisional seperti trah dan kelompok priyayi yang terkait dengan Pakualaman, sedangkan di Mataram yang menonjol adalah kelompok
priyayi agama seperti tuan guru dan lalu. Jenis aktor lokal yang ada di tiap daerah dapat diklasifikasikan ke dalam:
1. Aktor lokal yang terkait dengan kelompok sosial kemasyarakatan yang beroerientasi kepada aspek tertentu. Misalnya tokoh MUI, DGI, NU
234 Muhammadiyah, majelis Mujahidin, FPIS, pondok pesantren, dan PKK. Jika
dilihat dari jenis kelamin maka ada tokoh wanita dan pemuda. 2. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga semi pemerintahan modern seperti
Kepala Desa- Ketua RT 3. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga pemerintahan adat
Dari segi tingkat keberpengaruhannya, aktor lokal dapat dibagi ke dalam: 1 aktor lokal yang berpengaruh dalam kelompoknya, 2 aktor lokal yang berpengaruh lintas
kelompok. Aktor lokal yang paling berpengaruh di masyarakat berbeda-beda tiap daerah. Di
Pasuruan ada kyai, di Tasikmalaya ada ajengan, di Mataram ada tuan guru dan lalu, di Solo lebih dominan tokoh partai politik, dan di Kulonprogo tokoh tradisional
khususnya orang yang memiliki hubungan dengah Pakualaman. Keberpengaruhan mereka diakui oleh masyarakat setempat dan berperan dalam banyak aspek
polimorpi. Yang perlu dicatat dalam penyelesaian konflik, aktor lokal ini sering tidak dapat memposisikan diri sebagai penengah atau mediator karena mereka, disadari atau
tidak, terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga mereka sering menjadi bagian dari pihak yang berkonflik, meskipun secara tidak langsung.
Hal ini misalnya nampak dalam kasus di Kulonprogo. Ada kecenderungan aktor lokal tersebar dalam berbagai kelompok sosial penting
dalam masyarakatnya seperti di Tasikmalaya, Pasuruan, Mataram dan Solo, karena itu semakin memudarkan sosok tokoh lokal tunggal yang berpengaruh dalam seluruh
masyarakat. Memang ada di antara tokoh-tokoh lokal tersebut yang mempunyai kharisma lebih, namun tidak dalam semua aspek. Bahkan sebenarnya di antara aktor
lokal tersebut terjadi persaingan pengaruh dalam banyak dimensi seperti di bidang sosial-politik ekonomi, termasuk dalam perebutan simpati massa.
Terjadinya persebaran pengaruh oleh banyak aktor lokal tersebut sudah lama berlangsung, hanya ketika era Orde Baru pelibatan dalam sebuah kasus yang
dilibatkan aktor lokal-tunggal tertentu, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa aktor lokal-tunggal tersebut membawahi semua aspirasi dan inisiatif seluruh anggota
masyarakat lokal, padahal sejatinya tidak demikian. Kecenderungan saat itu adalah pemerintah merekayasa sosok aktor-tunggal yang ‘harus’ diterima oleh semua
masyarakat lokal. Dalam kaitan ini tidak semua tokoh yang dianggap representasi dari kelompok sosial yang popular dan mereka yang memiliki massa kuat selalu
235 merepresentasikan dari keseluruhan anggota masyarakat. Lihat misalnya kasus
ketidakmampuan Gus Dur dan Megawati yang dianggap representasi massa berbasis dominan yaitu NU dan nasionalis dan non muslim, ternyata tidak mampu menangani
konflik di Ambon dan Maluku. Sebab pihak-pihak yang berkonflik adalah kelompok agama garis keras. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya analisis anatomi subyek
berkonflik. Hal yang sama terdapat dalam kasus penyelesaian konflik antarumat beragama di lokasi penelitian ini. Subyek yang berkonflik termasuk kelompok yang
keras-militan dari segi ideologis dan dalam batas-batas tertentu secara metodologi geakannya.
Ketiga, di semua lokasi penelitian ada nilai-nilai lokal yang masih tumbuh
dalam kehidupan masyarakat dalam rangka upaya merekatkan kohesi antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri,
meskipun di antara daerah tersebut ada juga kesamaan substansi yaitu berfungsi merekatkan hubungan antar manusia dan kelompok yang ada dalam masyarakat tanpa
membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya Berbagai keunikan tersebut misalnya di Mataram dengan latar belakang
budaya dominan Sasak ada nilai-nilai ngejot memberikan bantuan berupa apa saja kepada tetangga atau masyarakat yang sedang mengalami kesusahan ataupun senang
baik ke masyarakat muslim maupun nonmuslim; blangan memberikan sumbangan atau bantuanmenolong kepada masyarakat yang kesusahan; bebagar atau bersih desa,
khususnya berkaitan dengan besen tulak tolak balak. Di Solo ada nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, sambatan saling membantu dan bekerja sama, dan gotong
royong. Sementara di Kulonprogo ada tayub tata=menata dan ‘yub’ dari kata guyub
yang berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya; ‘leliru saka liyan’ yang
berarti “mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain”, dan nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, alon-alon asal klakon sikap berhati-hati, serta sambatan saling
membantu dan bekerja sama. Di Tasikmalaya ada batur sakasur, batur sasumur dan batur salembur. Di Pasuruan ada gotong royong, mbiodo menyediakan tenaga, dan
dapat juga pikiran, untuk membantu orang lain, tetangga ataupun kenalan yang sedang mengadakan hajatan, bowo memberi bantuan secara ikhlas tampa pamrih ketika ada
hajatan atau resepsi.
236
Keempat, tidak semua upacara lokal, umum dan lingkaran hidup, dapat
disetujui oleh semua kelompok masyarakat karena satu dan beberapa alasan seperti karena alasan ideologispaham keagamaan maupun alasan ekonomis, dan semakin
menurunnya fungsi dan keberadaan upacara itu sendiri akibat proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pandangan kelompok
masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang tidak banyak berbeda dan masyarakat setempat mendukungnya.
Fungsi upacara, khususnya upacara umum pada intinya untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan ‘sesuatu yang dianggap transenden’ sekaligus untuk
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan hal itu akan berdampak kepada terjadinya interaksi antarmanusia atau kelompok ketika proses upacara itu
berlangsung. Di Mataram misalnya ada upacara Pujawali perang ketupat, Ngentunin turun ke sawah saat menanam padi , Bau Nyale menangkap cacing laut; Di Solo
ada upacara Jumenenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sesajen, dan Malem Selikuran atau Maleman Sriwedari. Di Kulonprogo ada baritan lebar ngaritpasca
panen, dan Saparan, dan lainnya. Adapun di Tasikmalaya ada upacara hajat laut, dan ngalangsur.
Sementara upacara lingkaran hidup selain berfungsi untuk memberikan keselamatan bagi individu manusia, juga pada umumnya di tiap lokasi berfungsi
sebagai wadah bertemunya orang-orang yang berbeda latar belakang agama, suku dan lainnya.
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Kelayakan komponen budaya lokal untuk difungsikan sebagai instrumen
pengendalian dan penyelesaian konflik didasarkan pada evaluasi dan seleksi terhadapnya. Langkah pertama mengidentifikasi status tiap komponen, dan kedua menetapkan
fungsinya, dan terakhir mekanisme pelaksanaannya. Dari aspek statusnya, ada 3 kemungkinan yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap
potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini
didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan
ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya
237 lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak
mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali dan penyelesai
konflik antarumat beragama. Dilihat dari fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah
ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen
budaya terdapat perbedaan status dan fungsi masing-masing pada tiap daerah. Di tiap daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen
pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan jenis statusnya berbeda, ada yang potensial, inpotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang terlacak
dapat difungsikan sebagai instrumen, namun hanya ada satu atau lebih dalam sebuah komponen budaya yang sudah aktual atau inpotensial karena beberapa alasan.
Budaya yang dianggap tidak potensial misalnya meliputi: alon-alon waton klakon terdapat di Kulonprogo dan Solo, kasunanan Solo, sesajen Pasuruan, pondok
pesantren, pangusung-keliang-banjar dan semua upacara adat seperti pujowali, ngentunin, bau nyele, dan sadran Mataram. Sementara budaya yang sudah aktual berlaku di
masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama meliputi gotong royong yang menjadi wadah interaksi, kyai dan pamong serta baritan di
Kulonprogo, ajengan Tasikmalaya, gotong royong juga sudah dijalankan di Solo. Dari segi sumber kebudayaan, kebudayaan yang lebih dominan berfungsi pada
setiap komponen, baik berdasarkan kepada suku, agama, atau perpaduan di antara keduanya. Peninjauan terhadap sumber kebudayaan ini menunjukkan ada kesamaan dan
sekaligus perbedaan pada setiap daerah. Sebagaimana terlihat dalam tabel, pada tiap daerah menunjukkan bahwa sumber dari komponen budaya lokal yang ada didasarkan
atas kebudayaan mayoritas, baik agama mayoritas Islam maupun suku mayoritas atau paduan antara keduanya agama dan suku mayoritas, meskipun ada juga yang bersumber
dari suku mayoritas-agama global, baik mayoritas maupun minoritas seperti dalam upacara lingkaran hidup.
Perbedan dan persamaan di tiap daerah ini nampak juga dalam aspek mekanisme yang harus dilaksanakan dalam pemfungsian komponen budaya tersebut dalam
pengendalian konflik. Ada daerah yang memilih menerapkan mekanisme integratif Kulonprogo dan Solo, juga ada yang memilih untuk menerapkan mekanisme integrasi
238 dan mandiri Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram. Mekanisme mandiri yaitu komponen-
komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan
ke dalam proses pengendalian konflik Adapun rincian dari perbandingan mengenai status, fungsi, sumber kebudayaan
pada setiap komponen budaya, dan mekanismenya di tiap daerah dapat dilihat dalam tabel
1-5. Tabel 1: Model Pengendalian Konflik: Kulonprogo
Komponen Budaya Potensial
Aktual Inpotensial
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
PBSos Inter. PBSos Inter
PBSos Inter Nilai-nilai:
1. Tayub 2. Leliru saka liyan
3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong
royong 5. alon-alon asal klakon
+ +
+ +
- +
+
Suku mayoritas
Integratif
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. Gotong royong
+ +
+ +
+
Suku mayoritas
Aktor lokal: 1. Priyayi
2. Kyai 3. Pamong
+ +
+ Suku
mayoritas Agama
mayosritas Upacara Adat:
1. Baritan UA Tipe 3 2. Jamasan pusaka Tipe 3
3. Bersih desa Tipe 3 4. Saparan Tipe 2
5. Nyekar Tipe 2 6. Sadranan Tipe 2
Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
Suku mayoritas
Suku mayoritas–
agama global Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.= Wadah Interakasi PB=Pedoman Bersama
+ = menunjuk pada adanya subkomponen budaya pada kolom tertentu.
Tabel 2: Model Pengendalian Konflik: Pasuruan
Komponen Budaya Potensial
Aktual Inpotensial
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
PBSos Inter. PBSos Inter
PBSos Inter Nilai-nilai:
1.Mbiodo 2. Bowo
3. Gotong royong +
+ +
Pendhalungan Mandiri
Kelompok sosial 1. Trah
+ dan
239
2. Pesantren 3. Komunitas Madura
4. Gotong royong +
+ +
Agama dan suku mayoritas
pendahlungan Integratif
Aktor lokal: 1. Kyai
2. Tokoh Madura +
+ Agama dan
suku mayoritas pendahlungan
Upacara Adat: Sesajen
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
+ +
+ Agama-suku
mayoritas sda
Tabel 3: Model Pengendalian Konflik: Tasikmalaya
Komponen Budaya Potensial
Aktual Inpotensial
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
PBSos Inter. PBSos Inter
PBSos Inter Nilai-nilai: Batur Sasumur-
Salembur +
Suku mayoritas
Mandiri Kelompok sosial
1. Majelis taklim 2. Pondok pesantren
3. MUI kecamdesa +
+ +
Agama mayoritas
dan Integratif
Aktor lokal: Ajengan
+
Agama mayoritas
Upacara Adat: 1. Bersih desa
2. Sadran 3. Hajat laut
Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+ +
+ +
+ +
Suku mayoritas Agma mayoritas
Suku mayoritas Suku-agama
mayoritas
Tabel 4: Model Pengendalian Konflik: Mataram
Komponen Budaya Potensial
Aktual Inpotensial
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
PBSos Inter.
PBSos Inter PBSos Inter
Nilai-nilai: 1. Ngejot
2. Blangan 3. Bebagar
4. Bumi dipijak di situ langit dijunjungMerang
+ +
+ +
Suku mayoritas
Mandiri
Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-
banjar 2. Org.agama:Nahdatul
Wathan 3. Pondok pesantren
+ adaptasi
fungsi +
+ +
Suku mayoritas
Agama mayoritas
dan Integratif
Aktor lokal:
240
1. Tuan guru 2. Lalu
3. Pengusung-keliang- banjar
+ +
+ +
+ Agama dan
suku mayoritas
Upacara Adat: 1. Pujawali
2. Ngentunin 3. Bau Nyele
4. Sadran Upacara lingk.hidup:
Kelahiran- nyongkol, kematian
+ +
+ +
+ +
+ +
+ Suku-agama
Tabel 5: Model Pengendalian Konflik: Solo
Komponen Budaya Potensial
Aktual Inpotensial
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
PBSos Inter. PBSos Inter
PBSos Inter Nilai-nilai:
1.Teposelira 2. Sambatan
3. Gotong royong 4. Alon-alon waton
klakon
+ +
+ -
+ Suku mayoritas
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. RT-RW
4. Gotong royong
+ +
+ -
+ +
+ -
- +
Suku mayoritas Nasional
Nasional Suku mayoritas
Integratif
Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol
2. Kyai 3. Kasunanan
+ +
- +
Nasional Agmamayoritas
Upacara Adat: 1. Dilaksanakan
kratonPemkot 1. Dilaksanakan
masyarakat Upacara lingk.hidup:
1. Kelahiran- kematian
+ +
+ -
+
Suku mayoritas Suku ayoritas-
agama global Suku
mayoritas– agama global
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal