Budaya Lokal KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL

229 total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat beragama seringkali berulang dalam pola yang sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat. Memang tokoh-tokoh lokal masih dilibatkan dalam proses penyelesaian tersebut, namun umumnya di setiap lokasi mereka menjadi peserta, bukan sebagai penengah mediator atau pemrakarsa. Untuk kedua peran perakhir ini dilakukan pemerintah. Hal ini di antaranya karena tokoh lokal masyarakat sendiri tidak lagi menjadi pengayom secara keseluruhan, akan tetapi dalam kaitan konflik biasanya mereka tokoh masyarakat berpihak atau terfragmentasi pada satu golongan. Jadi para tokoh pun terjadi dalam blok tertentu. Ini sekaligus menjadi kendala dalam upaya mengoptimalkan peran budaya lokal, khususnya tokoh lokal. Cara penyelesaiannya dilakukan musyawarah dan dialog. Mekanismenya adalah pemerintah mengundang tokoh ormas keagamaan dan wadah musyawarah umat beragama yang dianggap mewakili kelompok yang terlibat konflik. Kemudian setelah itu dilakukan musyawarah untuk mengambil solusi terbaik saat itu dan ke depan. Karena lebih mengedepankan aspek musyawarah dan dialog, maka instrumen hukum menjadi tidak berjalan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog penyelesaian konflik sejauh mungkin menghindari sanksi hukum positif. Meskipun begitu ada kehendak politik dari pihak pemerintah untuk memanfaatkan sanksi hukum adat seperti dalam kasus Mataram yaitu menggunakan awig-awig. Persoalan penegakan hukum ini nampakanya dilematis, di satu sisi sangat penting ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi anggota masyarakat, terutama untuk tidak melakukan kerusuhan ketika berkonflik dengan pihak lain. Di sisi lain dikhawatirkan menimbulkan rentetan persoalan lanjutan dari kelompok-kelompok yang anggotanya kena hukuman, terutama jika kelompok itu termasuk mayoritas dalam masyarakat. Misalnya akan terjadi kerusuhan baru yang membuat keadaan menjadi semakin tidak kondusif.

F. Budaya Lokal

Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pusaka, budaya lokal yang dimaksud adalah semua ide, aktivitas dan hasil aktivitas manusia dalam suatu kelompok masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman 230 bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal tidak berarti sekedar berupa nilai, aktivitas dan hasil aktivitas tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat setempat, namun semua budaya yang masih berlaku dalam masyarakat, seperti dari budaya nasional yang berkembang. Meskipun budaya lokal yang bersumber dari tradisi merupakan suatu hal yang penting karena kekhasan masing-masing di setiap daerah. Penerimaan budaya dari berbagai sumber sebagai budaya lokal tersebut penting karena pada era globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi, sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain dengan kekhasan masing- masing. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan kekayaan dari keanekaragaman bangsa yang plural dan heterogen. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan masyarakat. Identitas biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah bangsa itu dilihat. Nilai yang dikandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain. Dalam pada itu, penggunaan identitas disatu sisi merupakan penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri namun di sisi lain merupakan pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan konflik baik secara terbuka maupun tertutup. Komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi 4 aspek yaitu a sistem kekerabatan, b kelompok sosial dan aktor lokal, c nilai-nilai, dan d upacara. Pertama, sistem kekerabatan. Semua masyarakat di lokasi penelitian menggunakan sistem kekerabatan bilateral. Walaupun begitu dalam hal kepemimpinan pihak laki-laki menjadi pemimpin dan utama patriarki. Hal ini mempengaruhi kepada aktor lokal yang berkembang di setiap daerah yaitu terdiri dari laki-laki. Selain itu peran keluarga luas semakin terkontraksi dan sebaliknya peran keluarga inti semakin kuat, terutama dalam melakukan sosialisasi atau inkulturasi terhadap anggota keluarga inti. Proses kontraksi keluarga ini nampaknya sejalan dengan yang dikemukakan Durkheim dan Parsons atas pengamatannya di masyarakat 231 Barat ketika menuju masyarakat moderen. Bagi Parsons meluasnya keluarga inti karena memang struktur keluarga luas tidak sejalan dengan prinsip masyarakat moderen. Proses kontraksi ini terjadi pada semua lapisan sosial. Hal ini tidak seperti temuan Rene Konig dalam Polak, 1979: 342, yang menyatakan bahwa keluarga luas hanya banyak berkembang pada lapisan atas, sedangkan keluarga inti banyak berkembang pada lapisan bawah. Memang ada perbedaan akselarasi pada setiap keluarga karena adanya perbedaan kemampuan secara ekonomis. Ada dua dimensi yang nampak saling bertentangan akibat dari proses kontraksi keluarga dalam masyarakat. Di satu sisi hubungan sosial tetap berlangsung di antara keluarga inti yang sekerabat, namun di sisi lain memunculkan liberalisasi dan isolasi sosial di antara keluarga inti. Proses kontraksi keluarga memunculkan otonomi keluarga inti yang lebih kuat. Otonomi ini ditandai dengan terjadinya proses liberalisasi dan munculnya isolasi sosial dari anggota keluarga inti. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam memutuskan hal yang terkait dengan persoalan internal keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan dan tradisi. Dengan demikian ayah-ibu menjadi faktor primer dalam proses pengasuhan anak dalam keluarga, sedangkan anggota kerabat yang lain menjadi faktor sekunder. Munculnya isolasi sosial keluarga inti, baik di kalangan masyarakat luas maupun keluarga beda agama, memang menambah beban kehidupan yang lebih berat, namun tidak mengurangi kualitas solidaritas dan kasih sayang dari keluarga inti yang lain terutama dari orang tua, sebaliknya kualitas persaudaraan itu semakin menebal. Di sisi lain seiring dengan proses kontraksi keluarga luas ke keluarga inti saat ini juga terjadi dinamika budaya, hal ini ditandai dengan berkembangnya asosiasi yang didasarkan atas pertalian kekerabatan yaitu trah atau bani. Gejala ini muncul di Kulonprogo dan Solo, dan batas-batas tertentu di Tasikmalaya dan Pasuruan. Yang penting dicatat dari keberadaan trah ini adalah banyak dari anggotanya yang mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya, dan mereka menjadi anggota dalam berbagai unit sosial sekaligus cross-cutting affiliation. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang anggotanya sama- sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena 232 dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Kalau trah merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan anggotanya dapat berbeda agama, sedangkan bani anggotanya hanya menganut satu agama yaitu Islam, dan bani ini terdapat di Pasuruan. Walaupun ada perbedaan jenis trah dari segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat insidental misalnya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada sosialisasi nilai-nilai kekerabatan dan kesukuan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan, dan bantuan sosial-ekonomi lainnya. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masing- masing dalam kaitannya dengan pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya dalam batas-batas tertentu telah menjadi wadah pemelihara ikatan primordialisme dan menghidupkan kembali revitalisasi fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batas- batas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial sosial cement dari orang- orang yang berbeda agama. Kedua, selain keluarga inti yang banyak berperan dalam sosialisasi nilai, serta trah atau bani, pada saat ini hampir semua lokasi berkembang kelompok sosial yang berupaya mengembangkan peran dan kesejahteraan keluarga inti seperti PKK, dasa- wisma yang diprakarsai oleh pemerintah secara nasional. Kelompok sosial dijalankan oleh ibu-ibu, dan karenanya perannya sangat strategis karena langsung terkait dengan kepentingan keluarga terutama ibu-ibu. Kelompok yang didalamnya ada ibu-ibu dapat dianggap efektif dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik karena mereka memiliki sifat feminis dan greteh yaitu tekun dan sabar dalam melakukan tugasnya yang tidak dimiliki oleh pihak laki-laki. Mengingat kedudukannya yang strategis, maka sebenarnya kelompok sosial yang langsung terkait dengan keberadaan dan kepentingan keluarga inti sangat berarti jika dijadikan sebagai instrumen dalam upaya pengendalian dan penyelesaian 233 konflik antarumat beragama. Selama ini upaya pengendalian dan penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah lebih bersifat massif-kelompok, tidak rutin, dan terfokus kepada wakil organisasi formal keagamaan dan cenderung elitis. Karena itu perlu diimbangi dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik dari kelompok sosial yang terkait dengan keluarga atau kekerabatan ini karena lebih bersifat kontinu dan langsung bersentuhan dengan keluarga. Secara umum kelompok sosial khususnya asosiasi dari segi kekhasan- tidaknya, pemerintahan-masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Kelompok ini ada pada setiap daerah yang menjadi lokasi penelitian ini. Misalnya yang berorientasi keagamaan seperti MUI, DGI, PGI, PAH, FKUB; kelompok yang berorientasi kepada kesejahteraan perempuan seperti PKK, dan Dasa Wisma, 2. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk masyarakat sendiri seperti orsos keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Majelis Muhahidin, FPIS, kelompok-kelompok gereja-Kristiani, Majelis Mujahidin, pondok pesantren, majelis taklim 3. Kelompok sosial skala lokal bentukan masyarakat sendiri 4. Kelompok sosial skala lokal bentukan pemerintah 5. Lembaga pemerintahan adat tradisioanl 6. Lembaga semi pemerintahan modern level bawah dari tingkat desa-RT Setiap kelompok sosial, terutama dalam skala lokal, memiliki peran yang hampir sama tapi mempunyai tingkat pengaruh yang relatif berbeda di tiap daerah. Di Pasuruan misalnya ada pondok pesantren, dan majelis taklim. Di Tasikmalaya selain pesantren-majelis taklim juga ada organisasi sosial keagamaan yang memikiki ideologi fundamentalis seperti Majelis Mujahidin, sementara di Solo juga ada organisasi Islam fundamentalis sepeti Mejalis Mujahidin dan FPIS. Di Kulonprogo yang menonjol adalah kelompok tradisional seperti trah dan kelompok priyayi yang terkait dengan Pakualaman, sedangkan di Mataram yang menonjol adalah kelompok priyayi agama seperti tuan guru dan lalu. Jenis aktor lokal yang ada di tiap daerah dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Aktor lokal yang terkait dengan kelompok sosial kemasyarakatan yang beroerientasi kepada aspek tertentu. Misalnya tokoh MUI, DGI, NU 234 Muhammadiyah, majelis Mujahidin, FPIS, pondok pesantren, dan PKK. Jika dilihat dari jenis kelamin maka ada tokoh wanita dan pemuda. 2. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga semi pemerintahan modern seperti Kepala Desa- Ketua RT 3. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga pemerintahan adat Dari segi tingkat keberpengaruhannya, aktor lokal dapat dibagi ke dalam: 1 aktor lokal yang berpengaruh dalam kelompoknya, 2 aktor lokal yang berpengaruh lintas kelompok. Aktor lokal yang paling berpengaruh di masyarakat berbeda-beda tiap daerah. Di Pasuruan ada kyai, di Tasikmalaya ada ajengan, di Mataram ada tuan guru dan lalu, di Solo lebih dominan tokoh partai politik, dan di Kulonprogo tokoh tradisional khususnya orang yang memiliki hubungan dengah Pakualaman. Keberpengaruhan mereka diakui oleh masyarakat setempat dan berperan dalam banyak aspek polimorpi. Yang perlu dicatat dalam penyelesaian konflik, aktor lokal ini sering tidak dapat memposisikan diri sebagai penengah atau mediator karena mereka, disadari atau tidak, terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga mereka sering menjadi bagian dari pihak yang berkonflik, meskipun secara tidak langsung. Hal ini misalnya nampak dalam kasus di Kulonprogo. Ada kecenderungan aktor lokal tersebar dalam berbagai kelompok sosial penting dalam masyarakatnya seperti di Tasikmalaya, Pasuruan, Mataram dan Solo, karena itu semakin memudarkan sosok tokoh lokal tunggal yang berpengaruh dalam seluruh masyarakat. Memang ada di antara tokoh-tokoh lokal tersebut yang mempunyai kharisma lebih, namun tidak dalam semua aspek. Bahkan sebenarnya di antara aktor lokal tersebut terjadi persaingan pengaruh dalam banyak dimensi seperti di bidang sosial-politik ekonomi, termasuk dalam perebutan simpati massa. Terjadinya persebaran pengaruh oleh banyak aktor lokal tersebut sudah lama berlangsung, hanya ketika era Orde Baru pelibatan dalam sebuah kasus yang dilibatkan aktor lokal-tunggal tertentu, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa aktor lokal-tunggal tersebut membawahi semua aspirasi dan inisiatif seluruh anggota masyarakat lokal, padahal sejatinya tidak demikian. Kecenderungan saat itu adalah pemerintah merekayasa sosok aktor-tunggal yang ‘harus’ diterima oleh semua masyarakat lokal. Dalam kaitan ini tidak semua tokoh yang dianggap representasi dari kelompok sosial yang popular dan mereka yang memiliki massa kuat selalu 235 merepresentasikan dari keseluruhan anggota masyarakat. Lihat misalnya kasus ketidakmampuan Gus Dur dan Megawati yang dianggap representasi massa berbasis dominan yaitu NU dan nasionalis dan non muslim, ternyata tidak mampu menangani konflik di Ambon dan Maluku. Sebab pihak-pihak yang berkonflik adalah kelompok agama garis keras. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya analisis anatomi subyek berkonflik. Hal yang sama terdapat dalam kasus penyelesaian konflik antarumat beragama di lokasi penelitian ini. Subyek yang berkonflik termasuk kelompok yang keras-militan dari segi ideologis dan dalam batas-batas tertentu secara metodologi geakannya. Ketiga, di semua lokasi penelitian ada nilai-nilai lokal yang masih tumbuh dalam kehidupan masyarakat dalam rangka upaya merekatkan kohesi antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri, meskipun di antara daerah tersebut ada juga kesamaan substansi yaitu berfungsi merekatkan hubungan antar manusia dan kelompok yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya Berbagai keunikan tersebut misalnya di Mataram dengan latar belakang budaya dominan Sasak ada nilai-nilai ngejot memberikan bantuan berupa apa saja kepada tetangga atau masyarakat yang sedang mengalami kesusahan ataupun senang baik ke masyarakat muslim maupun nonmuslim; blangan memberikan sumbangan atau bantuanmenolong kepada masyarakat yang kesusahan; bebagar atau bersih desa, khususnya berkaitan dengan besen tulak tolak balak. Di Solo ada nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, sambatan saling membantu dan bekerja sama, dan gotong royong. Sementara di Kulonprogo ada tayub tata=menata dan ‘yub’ dari kata guyub yang berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya; ‘leliru saka liyan’ yang berarti “mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain”, dan nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, alon-alon asal klakon sikap berhati-hati, serta sambatan saling membantu dan bekerja sama. Di Tasikmalaya ada batur sakasur, batur sasumur dan batur salembur. Di Pasuruan ada gotong royong, mbiodo menyediakan tenaga, dan dapat juga pikiran, untuk membantu orang lain, tetangga ataupun kenalan yang sedang mengadakan hajatan, bowo memberi bantuan secara ikhlas tampa pamrih ketika ada hajatan atau resepsi. 236 Keempat, tidak semua upacara lokal, umum dan lingkaran hidup, dapat disetujui oleh semua kelompok masyarakat karena satu dan beberapa alasan seperti karena alasan ideologispaham keagamaan maupun alasan ekonomis, dan semakin menurunnya fungsi dan keberadaan upacara itu sendiri akibat proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pandangan kelompok masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang tidak banyak berbeda dan masyarakat setempat mendukungnya. Fungsi upacara, khususnya upacara umum pada intinya untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan ‘sesuatu yang dianggap transenden’ sekaligus untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan hal itu akan berdampak kepada terjadinya interaksi antarmanusia atau kelompok ketika proses upacara itu berlangsung. Di Mataram misalnya ada upacara Pujawali perang ketupat, Ngentunin turun ke sawah saat menanam padi , Bau Nyale menangkap cacing laut; Di Solo ada upacara Jumenenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sesajen, dan Malem Selikuran atau Maleman Sriwedari. Di Kulonprogo ada baritan lebar ngaritpasca panen, dan Saparan, dan lainnya. Adapun di Tasikmalaya ada upacara hajat laut, dan ngalangsur. Sementara upacara lingkaran hidup selain berfungsi untuk memberikan keselamatan bagi individu manusia, juga pada umumnya di tiap lokasi berfungsi sebagai wadah bertemunya orang-orang yang berbeda latar belakang agama, suku dan lainnya. G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Kelayakan komponen budaya lokal untuk difungsikan sebagai instrumen pengendalian dan penyelesaian konflik didasarkan pada evaluasi dan seleksi terhadapnya. Langkah pertama mengidentifikasi status tiap komponen, dan kedua menetapkan fungsinya, dan terakhir mekanisme pelaksanaannya. Dari aspek statusnya, ada 3 kemungkinan yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya 237 lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali dan penyelesai konflik antarumat beragama. Dilihat dari fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan status dan fungsi masing-masing pada tiap daerah. Di tiap daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan jenis statusnya berbeda, ada yang potensial, inpotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang terlacak dapat difungsikan sebagai instrumen, namun hanya ada satu atau lebih dalam sebuah komponen budaya yang sudah aktual atau inpotensial karena beberapa alasan. Budaya yang dianggap tidak potensial misalnya meliputi: alon-alon waton klakon terdapat di Kulonprogo dan Solo, kasunanan Solo, sesajen Pasuruan, pondok pesantren, pangusung-keliang-banjar dan semua upacara adat seperti pujowali, ngentunin, bau nyele, dan sadran Mataram. Sementara budaya yang sudah aktual berlaku di masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama meliputi gotong royong yang menjadi wadah interaksi, kyai dan pamong serta baritan di Kulonprogo, ajengan Tasikmalaya, gotong royong juga sudah dijalankan di Solo. Dari segi sumber kebudayaan, kebudayaan yang lebih dominan berfungsi pada setiap komponen, baik berdasarkan kepada suku, agama, atau perpaduan di antara keduanya. Peninjauan terhadap sumber kebudayaan ini menunjukkan ada kesamaan dan sekaligus perbedaan pada setiap daerah. Sebagaimana terlihat dalam tabel, pada tiap daerah menunjukkan bahwa sumber dari komponen budaya lokal yang ada didasarkan atas kebudayaan mayoritas, baik agama mayoritas Islam maupun suku mayoritas atau paduan antara keduanya agama dan suku mayoritas, meskipun ada juga yang bersumber dari suku mayoritas-agama global, baik mayoritas maupun minoritas seperti dalam upacara lingkaran hidup. Perbedan dan persamaan di tiap daerah ini nampak juga dalam aspek mekanisme yang harus dilaksanakan dalam pemfungsian komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik. Ada daerah yang memilih menerapkan mekanisme integratif Kulonprogo dan Solo, juga ada yang memilih untuk menerapkan mekanisme integrasi 238 dan mandiri Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram. Mekanisme mandiri yaitu komponen- komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik Adapun rincian dari perbandingan mengenai status, fungsi, sumber kebudayaan pada setiap komponen budaya, dan mekanismenya di tiap daerah dapat dilihat dalam tabel 1-5. Tabel 1: Model Pengendalian Konflik: Kulonprogo Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PBSos Inter. PBSos Inter PBSos Inter Nilai-nilai: 1. Tayub 2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong royong 5. alon-alon asal klakon + + + + - + + Suku mayoritas Integratif Kelompok sosial 1. Trah 2. PKKDasa Wisma 3. Gotong royong + + + + + Suku mayoritas Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong + + + Suku mayoritas Agama mayosritas Upacara Adat: 1. Baritan UA Tipe 3 2. Jamasan pusaka Tipe 3 3. Bersih desa Tipe 3 4. Saparan Tipe 2 5. Nyekar Tipe 2 6. Sadranan Tipe 2 Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian + + + + + + + + + + + Suku mayoritas Suku mayoritas– agama global Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.= Wadah Interakasi PB=Pedoman Bersama + = menunjuk pada adanya subkomponen budaya pada kolom tertentu. Tabel 2: Model Pengendalian Konflik: Pasuruan Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PBSos Inter. PBSos Inter PBSos Inter Nilai-nilai: 1.Mbiodo 2. Bowo 3. Gotong royong + + + Pendhalungan Mandiri Kelompok sosial 1. Trah + dan 239 2. Pesantren 3. Komunitas Madura 4. Gotong royong + + + Agama dan suku mayoritas pendahlungan Integratif Aktor lokal: 1. Kyai 2. Tokoh Madura + + Agama dan suku mayoritas pendahlungan Upacara Adat: Sesajen Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian + + + Agama-suku mayoritas sda Tabel 3: Model Pengendalian Konflik: Tasikmalaya Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PBSos Inter. PBSos Inter PBSos Inter Nilai-nilai: Batur Sasumur- Salembur + Suku mayoritas Mandiri Kelompok sosial 1. Majelis taklim 2. Pondok pesantren 3. MUI kecamdesa + + + Agama mayoritas dan Integratif Aktor lokal: Ajengan + Agama mayoritas Upacara Adat: 1. Bersih desa 2. Sadran 3. Hajat laut Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian + + + + + + Suku mayoritas Agma mayoritas Suku mayoritas Suku-agama mayoritas Tabel 4: Model Pengendalian Konflik: Mataram Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PBSos Inter. PBSos Inter PBSos Inter Nilai-nilai: 1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit dijunjungMerang + + + + Suku mayoritas Mandiri Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang- banjar 2. Org.agama:Nahdatul Wathan 3. Pondok pesantren + adaptasi fungsi + + + Suku mayoritas Agama mayoritas dan Integratif Aktor lokal: 240 1. Tuan guru 2. Lalu 3. Pengusung-keliang- banjar + + + + + Agama dan suku mayoritas Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele 4. Sadran Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian + + + + + + + + + Suku-agama Tabel 5: Model Pengendalian Konflik: Solo Komponen Budaya Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PBSos Inter. PBSos Inter PBSos Inter Nilai-nilai: 1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong 4. Alon-alon waton klakon + + + - + Suku mayoritas Kelompok sosial 1. Trah 2. PKKDasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong + + + - + + + - - + Suku mayoritas Nasional Nasional Suku mayoritas Integratif Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Kasunanan + + - + Nasional Agmamayoritas Upacara Adat: 1. Dilaksanakan kratonPemkot 1. Dilaksanakan masyarakat Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian + + + - + Suku mayoritas Suku ayoritas- agama global Suku mayoritas– agama global

H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal