96 agama, suku, dan lapisan sosial. Hanya kalau tamu tersebut berasal dari kalangan yang
lebih tinggi derajatnya biasanya akan dihormati. Kematian: Pada saat upacara kematian selain dilakukan perawatan janazah
sebagaimana ajaran agama memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan, juga ada prosesi adat seperti sambutan-sambutan sebelum pemberangkatan janazah ke
makam, kadang juga dilakukan geblak. Setelah hari kematian ada tradisi slametan seperti metung dino, matangpluh dino, nyatus, pendak siji setahun pertama, sampai nyewu.
Dalam upacara pada saat hari kematian tetangga, teman dan kerabat akan datang dengan sendirinya tanpa diundang ketika mendengar kematian seseorang, mereka terdiri dari
berbagai latar belakang suku dan agama dan lainnya. Adapun ketika slametan pasca kematian, selain metung dino biasanya pesertanya diundang, dan undangan tersebut tanpa
membedakan agama dan sukunya. Pada saat sekarang di kalangan masyarakat Solo terutama dari kalangan lapisan
sosial bawah dan santri yang masuk kategori modernis dan konsisten tidak berkembang lagi. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh SK 63 tahun, selain karena alasan
ekonomis terutama di kalangan masyarakat lapisan bawah juga karena karena alasan
paham keagamaan.
G. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal
Sebagaimana halnya di daerah lain, pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung di Solo masih dominan pendekatan structural.
Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik, dan masih terbatas pada tahap uji-coba. Kegiatan
yang dilakukan yaitu: a Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok secara damai. b Deteksi dini
terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA c Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama trilogi kerukunan.
Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu 1 Evaluasi posisi modal budaya lokal. 2 Adanya kesadaran
dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, 3 Adanya syarat atau alasan
rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali
97 konflik. 4 Adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih
komponen budaya lokal. 1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal
Sebagaimana ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang lain, komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu a kelompok
sosial, b aktor lokal, c nilai-nilai, dan d upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari
keempat komponen budaya tersebut. Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status
atau keberadaannya dalam proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3 kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal
dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya
pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam
masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia
secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh
masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama.
Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses
pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku Jawa di di kota Bengawan ini saat tanpa
memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam ugeran teposelira, sambatan dan gotong royong. Teposelira
berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Ugeran ini mengandung prinsip timbal- balik yaitu melakukan sesuatu yang kita harapkan orang lain melakukan bagi kita.
Sambatan adalah saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat. Keriganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota
masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Hanya saat ini ugeran tersebut terutama di kalangan generasi muda ada tanda-tanda kian melemah, sehingga dibutuhkan sosialisasi
kepada mereka melalui berbagai media.
98 Agar supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen
dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama di kalangan generasi
muda. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok- kelompok sosial, dan sekolah, dan media massa.
Gotong royong selain berupa ugeran nilai juga dapat berupa kegiatan yang dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah
lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah
sosialisasi tentang hidup rukun dan damai. Sementara ugeran alon-alon waton klakon semakin kehilangan maknanya dalam
kehidupan masyarakat, juga dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun di kalangan masyarakat. Karenanya ia masuk dalam kategori nilai-nilai yang inpotensial.
Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam
pengendalian konflik adalah trah dan lembaga semi-pemerintah. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Kulonprogo. Trah merupakan wadah yang didalamnya terdapat jaringan
kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling hormat di antara anggota trah dan kerabat. Bagi orang Jawa di Solo ketika berhubungan dengan orang lain akan bertanya
dengan siapa orang tersebut dan ada-tidaknya hubungan kekerabatannya dengannya. Jika ada hubungan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana posisinya dalam struktur
kekerabatannya. Alasan trah dapat diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik ternyata
tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Kulonprogo, yaitu: karena banyaknya trah, baik yang terdapat pada kelompok menangah ke atas maupun menengah ke bawah, serta
jenis trahnya bersifat heterogen dan homogen, frequensi kegiatannya selain bersifat tahunan juga lapanan. Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang
berbeda agama, dan sosialisasi tentang makna penting kerukunan. Sosialisasi dan interaksi yang terjadi pada tingkat trah ini dapat dilanjutkan dan dikukuhkan dalam
keluarga batih masing-masing anggota. Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat
diperankan sebagai wadah pengendali konflik secara efektif. Trah harus difungsikan secara sadar dalam kegiatan dalam pengendalian konflik. Begitu juga ketika terjadi
konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif
99 dalam ikut penyelesaiannya. Ini sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya
sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota kerabatnya. Lembaga semi-pemerintah tingkat bawah seperti RT-RW dan PKK-dasa wisma
sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Solo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjang-hirarkis dari tingkat pusat sampai RT
khususnya PKK, sedangkan RT-RW ada di diseluruh Indonesia. Hanya saja kelompok sosial ini termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan, juga termasuk
bagian kelompok sosial yang dilibatkan dalam uji coba yang dilakukan oleh Tim Pengembangan Katahanan Masyarakat. PKK-dasa wisma mempunyai jaringan hirarkis,
ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu yang dianggap mempunyai sikap feminis, sebuah watak yang dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilai-
nilai kerukunan dan budaya hidup damai, dan latar belakang agama anggotanya heterogen. Sementara RT-RW mempunyai akses secara langsung kepada masyarakat
yang berlatar belakang beragam karena ia memang kumpulan dari anggota bmasyarakat itu sendiri, sehingga ia dianggap lebih memahami budaya sekaligus menjadi bagian dari
komponen budaya dari masyarakat itu sendiri. Karena itu selayaknya di tiap daerah sampai tingkat desa, setiap RT-RW memiliki karakter tersendiri, mempunya orientasi
kegiatan yang khas setempat, selain yang bersifat nasional. Ini juga berlaku untuk PKK dan dasa wisma.
Ketiga, meskipun tidak ada tokoh panutan tunggal dan karenanya tidak ada aktor
lokal yang dominan, namun masih ada dua aktor lokal yang dianggap memiliki pengaruh berbeda-beda. Mereka adalah tokoh partai politik, dan kyai, sedangkan priyayi dan tokoh
dari Kasunanan pengaruhnya sangat lemah, apalagi setelah konflik internalnya. Tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat adalah tokoh partai politik, kemudian kyai atau tokoh
agama Islam.
Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian, dan penyelesaian konflik
antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda. Tokoh-tokoh parpol lebih banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik, sedangkan kyai belum banyak
dilibatkan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik.
Keempat , di kalangan masyarakat sering dilakukan acara upacara adat. Kegiatan
ini ada yang didanai oleh pemerintah setempat. Upacara adat dapat dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu upacara adapt yang diselenggarakan oleh Kasunanan Surakarta, dan
upacara adapt yang tumbuh dan diselenggarakan oleh masyarakat umumnya. Upacara
100 adat oleh kraton misalnya Jumenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sriwedaren
Malem Selikuran. Adapun yang berkembang di masyarakat misalnya sesajen, nyadran,
padusan Upacara adat yang diselenggarakan kraton tersebut dapat dijadikan sebagai
instrument dalam pengendalian konflik berupa sosialisasi tentang hidup damai dan rukun, walaiupun sebagian sumber upcara tersebut berupa paduan Jawa-Islam, namun yang hadir
berasal dari latar belakang yangb beragam. Hanya saja potensi ini selama ini belum banyak diperankan karena ada kendala ‘pakem’ dari Kraton, dan karenanya perlu
pendekatan kepadanya agar menjadi wadah sosialisasi yang efektif tentang hidup damai dan rukun antarkelompok.
Semua upacara adat yang diselenggarakan kraton punya potensi yang sama untuk dikembangkan. Adapun yang berlangsung di di kalangan masyarakat umumnya adalah
nyadran dan nyekar, sedangkan padusan tidak dianggap potensial karena dilakukan di luar Solo dan bertentangan dengan paham keagamaan sebagian kelompok masyarakat
muslim. Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan
sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan
setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama.
Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Status
Komponen Budaya
Potensial Aktual
Inpotensial SosPB.
Int. Sos.PB
Int. Sos.PB
Int.
Nilai-nilai:
1
.Teposelira 2. Sambatan
3. Gotong royong 4. Alon-alon waton klakon
+ +
+ -
+
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. RT-RW
4. Gotong royong
+ +
+ -
+ +
+ -
-
+
Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol
2. Kyai 3. Kasunanan
+ +
- +
Upacara Adat: Dilaksanakan
kratonPemkot
+ +
101
Dilaksanakan masyarakat
pacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+ -
+
Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi PB=Pedoman Bersama
Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas
suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa, misalnya komponen nilai-nilai yang tercantum dalam beberapa ugeran, dan upacara adat
yang berkembang di masyarakat umum. Sementara dalam upacara adat, yang diselenggarakan kraton terjadi akulturasi
antara budaya Jawa dan agama mayoritas Islam, termasuk dalam upacara lingkaran hidup. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas
budaya modern karena yang terkuat adalah tokoh parpol, meskipun ada yang didasarkan atas budaya kelompok agama mayoritas yaitu kyai
2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan
oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama. Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal
yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat
perbedaan fungsi masing-masing. Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Solo seperti
teposelira, sambatan dan gotong royong pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan
lainnya. Kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu trah
berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun. Trah juga dapat berfungsi sebagai media interaksi dan komunikasi antarorang yang berbeda agama,
khususnya dari kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Hal ini berlaku juga bagi PKK-dasa wisma dan RT-RW. Walaupun bukan khas Solo namun
karena lembaga-lembaga ini langsung berhubungan dengan anggota masyarakat dengan
102 segala budaya yang dimilikinya, maka ia dapar dijadikan sebagai wadah yang potensial
untuk dua hal sekaligus yaitu sosialisasi dan interaksi antarorang yang berbeda agama. Sementara aktor lokal seperti tokoh parpol dan kyai lebih berfungsi sebagai
subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan kedua tokoh lokal tersebut perlu diberikan mediawadah yang
dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan media yang sudah ada. Untuk kasus Solo karena pada komponen kelompok sosial muncul untuk memerankan
kelompok PKK-dasa wisma, dan RT-RW, maka sangat relevan untuk memerankan juga tokoh dari lembaga-lembaga tersebut, masing-masing mewakili dari pihak wanita, dan
lembaga pada level bawah. Tokoh-tokoh ini dapat dianggap potensial dan penting karena tokoh-tokoh besar yang ada di Solo lebih bersifat berlaku untuk kelompok agama masing-
masing, kyai yang ada hanya berpangaruh kuat di kalangan sebagian umat Islam khususnya Islam santri, sedangkan tokoh parpol lebih banyak pendekatan politik praktis
yang justru potensial menjadi sumber konflik itu sendiri. Sementara tokoh-tokoh dari PKK-dasa wisma, RT-RW dapat menaungi semua kelompok umat beragama.
Upacara adat mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama tergantung kepada pelaksannya. Di Solo upacara adapt lebih dominan yang
diselenggarakan oleh Kraton, meskipun ada juga upacara yang berkembang di masyarakat. Upacara adat yang diselenggarakan kraton, meskipun ada yang paduan Jawa-
Islam namun dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Sebab peserta dalam acara tersebut
selain terdiri dari orang yang beragama Islam juga umat agama lain. Hal yang sama dapat diterapkan pada upacara kirab budaya yang diadakan tiap tahun sekali, khususnya dalam
memperingati hari jadi Kota Solo. Adapun upacara yang berkembang di masyarakat umumnya berfungsi sebagai
wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing, misalnya dalam acara nyadran-nyekar. Acara nyadran dan nyekar ini walaupun dalam
sejarahnya bersumber dari tradisi Jawa-Islam, namun saat ini dilakukan juga oleh agama lain seperti Katolik.
Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai
wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2.
103
Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Berbasis
Kepada
Pedoman Sosialisasi
Interaksi
Nilai-nilai:
1
.Teposelira 2. Sambatan
3. Gotong royong
+ +
+
Suku mayoritas
Kelompok sosial 1. Trah
2. PKKDasa Wisma 3. RT-RW
4. Gotong royong
+ +
+ -
+ +
+ +
Suku mayoritas Nasional
Nasional Suku mayoritas
Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol
2. Kyai 3. Tokoh wanita PKK
4. Ketua RT-RW
+ +
+ +
Nasional Agama mayoritas
Nasonal Nasional
Upacara Adat: 1. Dilaksanakan kraton
2. Dilaksanakan masyarakat pacara lingk.hidup:
. Kelahiran- kematian
+ +
+ -
+
Suku mayoritas Suku mayoritas-
agama global Suku mayoritas–
agama global
c. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses
pengendalian konflik antarumat beragama dibagi ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi.
Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi
instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilai- nilai lokal oleh kyai, tokoh parpol, dan tokoh RT-RW dan wanita dalam kegiatan
kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat yang berkembang di masyarakat dan lingkaran hidup, termasuk
dalam kegiatan PKK-dasa wisma.
Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal
diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan seperti
melalui pelatihan, workshop, dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama prasangka antarkelompok umat, misiologi agama khususnya
Kristenisasi, kesejangan sosial-ekonomi, dan Islam konsisten oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka
104 sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan
dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain.
Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan Hal ini
karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat plural saat ini.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal