Kesimpulan KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL

247

BAB VIII MENCANDRA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KE DEPAN

A. Kesimpulan

Kasus penelitian ini meliputi Jawa pedalaman Kulonrpgo dan Solo, Jawa-Madura Pasuruan, Sunda Tasikmalaya, dan Sasak Mataram. Hal ini menunjukkan sistem budaya yang berbeda pada tiap lokasi. Walaupun proses globalisasi dan pembangunan cenderung menghomogenisasi nilai dan mensubordinasikan budaya lokal, namun di sisi lain terjadi proses heterogenisasi yang ditandai dengan adanya penguatan budaya lokal. Dalam kasus Indonesia, terutama setelah diberlakukannya otonomi daerah, ditandai dengan menguatnya aspirasi masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya termasuk agama di daerah. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi karakter konflik antarumat beragama di Indonesia. Dalam kaitan ini ada beberapa catatan yang penting dikemukakan. Pertama, Sebelum terjadi konflik di kalangan umat beragama telah ada potensi konflik. a pada level budaya terkait dengan persepsi atau prasangka, hal ini terdapat di Kulonprogo, Solo, dan Pasuruan. b pada level sosial, masalah penyiaran agama terdapat di semua lokasi, penggunaan simbol keagamaan terdapat di Kulonprogo, ekonomi Mataram, Solo, dan Pasuruan, tempat ibadah Mataram dan Tasikmlaya, pendidikan Mataram dan Kulonprogo, politik Tasikmalaya. Selain kedua faktor tersebut juga terdapat c sisa-sisa konflik sebelumnya seperti yang ada di Pasuruan dan Tasikmalaya. d munculnya kelompok Islam konsisten yang memiliki sikap kritis terhadap kelompok agama lain, hal ini terdapat di semua lokasi, sedangkan di Pasuruan karena adanya kelompok yang memiliki karakter keras. Jika dibandingkan antara potensi pra dan pascakonflik menunjukkan bahwa: 1 Potensi konflik yang ada pada prakonflik tidak selamanya menjadi potensi pascakonflik. Hal ini tergantung kepada tingkat kepuasan masing-masing pihak setelah terjadinya konflik, juga perkembangan sosial-politik antara sebelum dan sesudah terjadinya konflik, baik pada skala nasional maupun lokal. Di Tasikmalaya misalnya, dari kelima aspek yang menjadi potensi prakonflik ada beberapa yang berbeda dengan potensi pascakonflik seperti sisa-sisa konflik sebelumnya dan penyebaran agama, dan pada pacscakonflik muncul potensi baru yang berupa penguatan in-group akibat pembangunan kembali tempat ibadah dan rumah penduduk di kalangan umat Kristiani. 2 Ada potensi konflik 248 pscakonflik yang mempunyai kaitan langsung dan merupakan lanjutan dari potensi prakonflik misalnya di Kulonprogo, penolakan terhadap pendirian SMKN merupakan lanjutan dari potensi konflik yang muncul pada prakonflik di bidang pendidikan. 3 Antara potensi prakonflik dan pscakonflik terkait dengan faktor yang sama seperti di Mataram berkaitan dengan tempat ibadah. 4 Kecuali di Pasuruan, di semua lokasi menunjukkan keberadaan kelompok ‘Islam konsisten’ merupakan faktor permanen yang ada baik pra maupun pascakonflik, dan ini sejalan dengan tingkat resligiosentrisme antarkelompok yang masih berkembang baik pra maupun pascakonflik. Kedua, pendeskripsian sumber konflik mengacu kepada potensi konflik. Dari semua kasus sumber konflik berasal dari tiga 3 aspek. 1 Kesalahpahaman antarbudaya, yaitu konflik yang berasal dari adanya ketidaksesuaian dalam komunikasi antarbudaya antara kelompok Islam-Kristiani yaitu berupa kesalahpahaman akibat persepsi negatif yang berkaitan dengan cirri-ciri yang dianggap melekat pada salah satu kelompok oleh kelompok yang lain, terutama yang berkaitan dengan kegiatan agama. Hal ini terdapat di Kulonprogo, Solo, dan Tasikmalaya dan dalam batas-batas tertentu terdapat juga di Mataram. 2 Adanya identitas kelompok yang terancam, yaitu salah satu atau kedua kelompok merasa kehilangan sesuatu yang diakibatkan oleh kelompok lain, misalnya karena penyiaran agama yang dilakukan salah satu kelompok yang dianggap mengancam anggota kelompoknya, pembangunan tempat ibadah, dan penggunaan simbol-simbol agama yang dimanfaatkan kelompok agama lain. Sumber seperti ini terdapat di semua lokasi kasus. 3 Sumber konflik yang berasal dari perjuangan pemenuhan kebutuhan kelompok atau mencari keuntungan dalam penguasaan akses sumber daya maupun kesempatan, dalam hal ini terutama yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi akibat adanya kesenjangan ekonomi antara kedua kelompok agama. Kasus ini terjadi di Mataram, Solo, dan Pasuruan. 4 Munculnya kelompok Islam konsisten yang memiliki kepekaan terhadap setiap kegiatan umat Kristiani. Faktor penyebab konflik di semua kasus tersebut menunjukkan perbedaan. Di Kulonprogo faktor penyebab konflik adalah di bidang politik, khususnya adanya kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang dianggap merugikan kelompok agama tertentu yaitu Kristiani, sehingga memunculkan resistensi. Hal ini mirip dengan yang ada di Pasuruan, namun berbeda bentuknya. Di Pasuruan walaupun penyebabnya dari pranata politik, tapi lebih banyak karena imbas konflik elit politik. Sementara di Tasikmalaya selain terkait dengan persoalan ekonomi illegal logging, juga karena pranata politik 249 terutama berkembangnya tafsir masyarakat bawah tentang penerapan syariah Islam yang diberlakukan pemerintah setempat. Adapun di Mataram penyebab konflik karena munculnya solidaritas kelompok, khususnya dari kalangan muslim setempat atas penderitaan yang menimpa muslim di Ambon dan Poso. Suatu faktor yang pada mulanya berada pada level budaya, tapi kemudian bergeser ke level social ketika hal itu diaktualisasikan dalam bentuk penggalangan massa. Sementara di Solo penyebabnya karerna adanya pelecehan tokoh agama oleh elit kelompok agama yang lain. Ketiga, Dalam proses konflik kelompok Kristiani, kecuali di Kulonprogo, lebih banyak bersifat pasif. Proses konflik dimulai dari pra konflik berupa benih-benih yang sudah ada dalam kelompok umat beragama, kemudian ada faktor pemicu yang mempercepat konflik kasus, dan ditengah-tengah konflik kasus, terutama setelah terjadinya puncak kejadian ada serangkaian upaya penyelesaian meskipun sering tidak tuntas dan bersifat artisifial. Penyelesesaian itu berupa mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan tidak dilakukan penegakan hukum pada pelaku yang terlibat dari kalangan mayoritas, sementara di Solo penegakan dilakukan pada pelaku pelecehan dari kalangan minoritas. Keempat, Konflik yang terjadi pada lokasi fokus semuanya antara umat Islam sebagai mayoritas dan Kristiani sebagai minoritas. Subyek terlibat pada umumnya terdiri dari laki-laki, dan mereka satu suku, kecuali di Mataram, karena sebagian besar umat Kristiani berasal dari luar suku Sasak. Dari seluruh lokasi, Pasuruan, Tasikmalaya, dan Solo sama-sama pernah memiliki sejarah konflik sosial khususnya antarumat beragama. Di Pasuruan dan Mataram subyek berkonflik bersifat massal, sehingga pada mulanya informasi yang muncul hanya sekitar ‘adanya pihak ketiga’ yang punya kepentingan tertentu. Selain itu ada kecenderungan baru dalam kaitan interaksi umat beragama, khususnya yang berkembang di kalangan muslim yaitu adanya pergantian peran dari Islam mapan ke kelompok ‘Islam konsisten’ yang memiliki kepekaan terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain, khususnya Kristiani. Apa yang terjadi di Kulonprogo, Tasikmalaya, Solo, dan dalam batas-batas tertentu di Mataram menunjukkan hal ini. Sementara dari pihak Kristiani di setiap lokasi berbeda-beda. Di Kulonprogo melibatkan kelompok Protestan, meskipun pada tingkat propinsi melibatkan pihak Katolik dan Protestan. Di Solo juga melibatkan secara langsung kelompok Protestan. Di 250 tiga lokasi yag lain melibatkan kelompok Katolik dan Protestan. Kelompok Kristiani ini, kecuali di Kulonprogo, lebih banyak bersifat pasif dalam proses konflik tersebut. Kelima, Upaya-upaya pengendalian potensi konflik di semua lokasi masih bersifat top-down dan struktural. Sementara upaya dan prakarsa dari kelompok masyarakat sendiri belum banyak dilakukan. Hal ini terdapat di hampir semua lokasi penelitian. Walapun begitu ada upaya dari pemerintah untuk memanfaatkan budaya lokal seperti di Mataram atau menumbuhkembangkan potensi lokal yang bersifat botton-up seperti di Solo. Mengingat kedudukannya yang strategis, maka sebenarnya kelompok sosial yang langsung terkait dengan keberadaan dan kepentingan keluarga inti sangat berarti jika dijadikan sebagai pelaku dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama. Selama ini upaya pengendalian dan penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah lebih bersifat massif-kelompok, tidak rutin, dan terfokus kepada wakil organisasi formal keagamaan dan cenderung elitis. Upaya penyelesaian konflik tidak jauh berbeda dengan upaya pengendalian konflik yaitu sama-sama menggunakan pendekatan struktural-top-down. Tokoh-tokoh lokal di setiap lokasi sekedar menjadi peserta, bukan sebagai penengah mediator dan inisiator. Untuk kedua peran perakhir ini dilakukan pemerintah. Memang ada kendala sendiri dalam mengoptimalkan peran tokoh lokal sebagai pelaku utama dalam setiap penyelesaian. Sebab mereka terfragmentasi pada salah satu kelompok. Cara penyelesaiannya dilakukan musyawarah dan dialog. Mekanismenya adalah pemerintah mengundang tokoh ormas keagamaan dan wadah musyawarah umat beragama yang dianggap mewakili kelompok yang terlibat konflik. Setelah itu dilakukan musyawarah untuk mengambil solusi yang dianggap terbaik. Karena lebih mengedepankan aspek musyawarah dan dialog, maka instrumen hukum menjadi tidak berjalan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog penyelesaian konflik sejauh mungkin menghindari sangsi hukum positif. Meskipun begitu ada kehendak politik dari pihak pemerintah tertentu untuk memanfaatkan sangsi hukum adat seperti dalam kasus Mataram yaitu menggunakan awig-awig. Keenam, Seiring dengan proses kontraksi keluarga luas ke keluarga inti saat ini terjadi dinamika budaya, hal ini ditandai dengan berkembangnya asosiasi yang didasarkan atas pertalian kekerabatan yaitu trah atau bani. Gejala ini muncul di Kulonprogo dan Solo, dan batas-batas tertentu di Tasikmalaya dan Pasuruan. Banyak anggota trah heterogen yang berposisi sebagai cross-cutting affiliation. Walaupun ada perbedaan jenis trah dari 251 segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya dapat menjadi wadah pemelihara ikatan primordialisme dan menghidupkan kembali revitalisasi fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batas-batas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial social cement dari orang-orang yang berbeda agama. Selain keluarga inti dan trah yang banyak berperan dalam sosialisasi nilai, pada saat ini hampir semua lokasi berkembang kelompok sosial yang berupaya mengembangkan peran dan kesejahteraan keluarga inti seperti PKK, dasa- wisma yang diprakarsai oleh pemerintah secara nasional. Kelompok sosial ini dijalankan oleh ibu-ibu, dan karenanya perannya sangat strategis karena langsung terkait dengan kepentingan keluarga terutama ibu-ibu. Hanya saja potensi yang ada pada lembaga- lembaga sosial tersebut belum dijadikan instrumen dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik yang ada. Pada saat ini aktor lokal tersebar dalam berbagai kelompok sosial penting dalam masyarakatnya seperti di Tasikmalaya, Pasuruan, Mataram dan Solo, karena itu semakin memudarkan sosok tokoh lokal tunggal yang berpengaruh dalam seluruh masyarakat. Memang ada di antara tokoh-tokoh lokal tersebut yang mempunyai kharisma lebih, namun tidak dalam semua aspek. Bahkan sebenarnya di antara aktor-aktor lokal tersebut terjadi persaingan pengaruh dalam banyak dimensi seperti di bidang sosial-ekonomi dan politik. Nilai-nilai lokal yang masih tumbuh dalam kehidupan masyarakat dalam rangka upaya merekatkan kohesi antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri, meskipun di antara daerah tersebut ada juga kesamaan substansi yaitu berfungsi merekatkan hubungan antar manusia dan kelompok yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya Tidak semua upacara lokal, umum dan lingkaran hidup, dapat disetujui oleh semua kelompok masyarakat karena satu dan beberapa alasan seperti karena alasan ideiologispaham keagamaan maupun alasan ekonomis, dan semakin menurunnya fungsi dan keberadaan upacara tersebut akibat proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pandangan kelompok masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang tidak banyak berbeda dan mendukungnya. Fungsi upacara, khususnya upacara umum pada intinya untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan ‘sesuatu yang dianggap 252 transenden’ sekaligus untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan hal itu akan berdampak kepada terjadinya interaksi antarmanusia atau kelompok ketika proses upacara itu berlangsung. Sementara upacara lingkaran hidup selain berfungsi untuk memberikan keselamatan bagi individu manusia, juga pada umumnya di tiap lokasi berfungsi sebagai wadah bertemunya orang-orang yang berbeda latar belakang agama, suku dan lainnya. Ketujuh, di tiap daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan statusnya berbeda potensial, inpotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang teridentifikasi dapat difungsikan sebagai instrumen, hanya sedikit dalam sebuah komponen budaya yang inpotensial karena beberapa alasan. Selain itu ada komponen budaya yang aktual sudah diperankan oleh masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB seperti gotong royong Solo dan Kulonprogo, kyai dan pamong serta baritan di Kulonprogo, ajengan Tasikmalaya, dan tuan guru Mataram. Sumber kebudayaan budaya lokal berasal dari kebudayaan mayoritas suku dan agama. Mekanisme penerapan budaya lokal bersifat integratif Kulonprogo dan Solo, integrasi dan mandiri Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram. Kedelapan, penyusunan model penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3 aspek yaitu: karakter konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, karakter budaya lokal. Aspek karakteristik konflik yang dipertimbangkan di beberapa daerah yaitu paham agama dari subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang berkonflik. Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah diperankan dalam penyelesaian konflik, maka penting dilanjutkan. Dalam pemeranan budaya lokal, di semua daerah berusaha menggunakan pendekatan langsung dalam penyelesaian KAUB, selain pendekatan tidak langsung. Di semua daerah juga berupaya lebih menguatkan peran aktor lokal. Hal yang sama terdapat dalam unsur nilai-nilai lokal, dan kelompok sosial. Ada nuansa perbedaan kemungkinan pemeranan masing-masing aktor lokal di setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan tanpa syarat, juga dengan prasyarat. Prasyaratnya adalah tingkat kepemimpinan, dan kedekatan secara emosional dan ideologispaham agama dengan tokoh agama yang terlibat konflik. Untuk kasus tokoh trah heterogen kasus Solo dan Kulonprogo ada 2 alternatif model dalam pemeranannya yaitu: menjadikan tokoh trah sebagai fasilitator atau pemeranan anggota trah yang berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation. Pemeranan kelompok sosial juga terdapat di semua daerah, hanya saja 253 berbeda wadahnya. Ada upaya mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri Solo dan Mataram. Juga ada upaya revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti pemangku Mataram, dan mereka berperan pada pascakonflik. Nilai-nilai lokal ada yang diperankan pada tahap proses konflik dan pascakonflik Mataram, dan di daerah lain diperankan pada pascakonflik. Mekanismenya ada yang model mandiri dan integratif Kulonptogo dan Solo, dan model integratif Tasikmalaya, Mataram dan Pasuruan.

B. Prinsip-prinsip Kebijakan Pengembangan Kerukunan Umat Beragama