Karakteristik Potensi Konflik KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL

22 sebesar 11,81. Yang mengenyam pendidikan tinggi sebesar 3,65. Di antara penduduk masih ada yang buta huruf, dan tidak tamat SD sebesar 11,24., dan yang belum sekolah mencapai 16,73. Lembaga pendidikan sekolah yang ada mulai dari TK sampai SLTA. Dari sekitar 35 SDsederajat 7 di antaranya Islam, dan 2 SD miliki Katolik dan Protestan. Di tingkat SLTPsederajat ada 5 unit, 2 di antaranya swasta Islam dan 1 Katolik. Untuk SLTAsederajat hanya ada negeri 2 unit dan 1 SMK Bopkri Protestan. Dari 2 unit SLTANegeri tersebut jenisnya SMA dan 1 SMK jarak jauh yang merupakan dampak dari konflik yang berkembang antara muslim dan Kristen.

B. Karakteristik Potensi Konflik

Kasus konflik yang dijadikan fokus di Kabupaten Kulonprogo adalah konflik yang bersumber dari pranata pendidikan. Kasus konflik di daerah ini merupakan bagian dari konflik antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan Kristiani Katolik dan Protestan yang terjadi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya disingkat ‘Propinsi DIY’. Dari empat kabupaten dan satu kota yang ada di propinsi ini terjadi konflik antarumat Islam dan Kristiani dengan intensitas yang beragam. Kabupaten Kulonrpogo, khususnya di Desa Pagerharjo Kecamatan Samigaluh termasuk daerah yang tingkatan konfliknya relative tinggi. Konflik fokus dalam penelitian ini adalah konflik yang bersumber dari pranata pendidikan formal yaitu akibat munculnya Surat Keputusan Bersama Menteri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama, biasa disebut dengan ‘SKB 2 Menteri’. 1 Pada intinya SKB ini berisi ‘siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Dengan demikian konflik fokus dalam kasus ini berkisar dari tahun 2000 sampai 2001. Pembatasan waktu ini penting dilakukan untuk menjelaskan konfigurasi potensi konflik, baik prakonflik maupun pascakonflik fokus. 1 Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 4USKB1999, Nomor 570 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikman Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya dikenal dengan dengan SKB 2 Menteri. Adapun yang disebut SKB 3 Menteri ialah Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Nomor 2USKB2001, Nomor 81 Tahun 2001, Nomor 423.7-011 tentang Penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Aakhir dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun Pelajaran 20002001. 23 Potensi Konflik Prakonflik: Jauh sebelum konflik yang bersumber dari pranata pendidikan tersebut selanjutny disebut konflik pendidikan sebenarnya sudah ada benih-benih konflik yang sangat potensial memicu konflik fokus. Potensi-potensi konflik tersebut antara lain: 1. Persepsi atau prasangka antarumat beragama Potensi konflik prakonflik fokus sudah berkembang di kalangan umat beragama, terutama di kalangan umat Islam. Secara umum prasangka itu berkisar pada apa yang biasa disebut oleh umat Islam sebagai ‘proses kristenisasi’ dalam semua lini, khususnya di bidang pendidikan formal. Umat Islam melihat kristenisasi sudah berlangsung lama, di antaranya melalui berbagai kegiatan yang dilakukan umat Kristiani., misalnya misi Kristiani memberikan kebutuhan sehari-hari kepada umat Islam yang lemah secara ekonomi dan keislamannya. Prasangka kelompok stereortip seperti ini terlihat juga dari hasil angket. Ketika ditanyakan kepada umat Islam apa yang menjadi ciri khas umat Kristani, sebagian besar 62,5 jawaban responden muslim menyatakan bahwa umat Kristen sebagai missionaris, suka membagi materi kepada orang Islam untuk kepentingan membujuk agar masuk Kristen. Yang lain 25 menyatakan umat Kristen fanatik dalam arti terlalu mementingkan agamanya sendiri, sehingga kurang bertoleransi, dan sekitar 12,5 menyatakan umat Krsietn tidak taat. Sementara dari kalangan responden Kristiani kebanyakan 35,71 menyatakan umat Islam sebagai orang yang terlalu fanatik, sehingga tidak toleran terhadap umat Kristen. Selebihnya menyatakan umat Islam hanya mau benarnyamenangnya sendiri dan mudah tersinggung atau curiga 28,57, dan tidak taat 28,57, sebagian kecil 7,14 menyatakan umat Islam suka membagi materi kepada umat Kristiani. Adapun persepsi sosial dan jarak sosial antara muslim dan umat Kristiani dapat dilihat dari yang terdapat pada responden dari kedua kelompok tersebut. Persepsi sosial responden muslim kepada orang Kristiani walaupun mayoritas bersifat netral 80, namun masih banyak yang bersifat negatif 20. Jarak sosial muslim terhadap orang Kristiani menunjukkan 80 jarak sosial yang sedang, dan 20 jarak sosial tinggi negatif. Dengan demikian jika variabel persepsi dan jarak sosial digabung dapat disimpulkan bahwa religiosentrisme muslim terhadap orang Kristiani mayoritas 80 termasuk kategori cukup tinggi, dan cukup banyak 20 24 yang negatif. Sementara persepsi orang Kristiani kepada muslim antara yang bersifat netral dan positif sama-sama banyaknya masing-masing 40, sedangkan yang bersifat negatif sama dengan yang terdapat pada responden muslim yaitu 20. Jarak sosial umat Kristiani terhadap muslim sebagian besar 60 termasuk cukup, sedangkan yang lainya masing-masing 20 termasuk kategori positif dan negatif. Dengan demikian religiosentrisme umat Kristiani terhadap muslim adalah separuhnya 50 termasuk cukup positif, 30 bersifat positif, dan 20 bersifat negatif. Prasangka dari kedua komunitas agama tersebut, nampaknya didasarkan atas pengalaman di lapangan atau sesuai dengan kenyataan persepsi-obyektif, bukan sekedar sesuatu yang ada di pikiran mereka persepsi-subyektif. Sumber potensi konflik yang berasal dari umat Kritsiani lebih banyak karena penyiaran agama, sedangkan yang berasal dari umat Islam lebih banyak dari sikap dan pergaulan sehari-hari. Prasangka dari masing-masing kelompok agama tersebut kemudian menjadi pemicu munculnya konflik pendidikan formal, ketika muncul SKB 2 Menteri. Di satu pihak umat Islam menganggap SKB tersebut sebagai keputusan yang tepat karena sekolah Kristiani selama ini memang telah menjadi lembaga Kristenisasi, sedangkan dari pihak Kristiani menganggap SKB tersebut sebagai bagian dari proses islamisasi.

2. Penggunaan simbol-simbol keagamaan

Di Kulonprogo, khususnya di Samigaluh, umat Islam menyatakan umat Kristiani sering menggunakan ‘simbol-simbol’ keislaman sebagai sarana misi kepada umat Islam seperti penggunaan tahlilan untuk upacara keagamaan Kristiani, dan shalawatan yang diadopsi oleh umat Kristiani untuk kepentingan missi yaitu sebagai salah satu cara mendekati umat Islam. Potensi Konflik Pascakonflik : Dalam kasus Kulonprogo istilah pascakonflik tidak begitu tepat karena konflik yang ada sebenarnya masih terus berlangsung sampai sekarang, hanya memang mengalami peredaan . Karena itu dapat dikatakan konflik yang ada reda sementara secara alamiah tersebut menjadi potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali, baik karena faktor yang sejenis maupun karena faktor pemicu yang lain. Dengan demikian potensi ini terus berkembang karena beberapa hal: Pertama, religiosentrisme 25 Ketika ditanyakan kepada umat Islam apa yang menjadi ciri khas umat Kristani, sebagian besar 62,5 jawaban responden muslim menyatakan bahwa umat Kristen sebagai misionaris, suka membagi materi kepada orang Islam untuk kepentingan membujuk agar masuk Kristen. Yang lain 25 menyatakan umat Kristiani fanatik dalam arti terlalu mementingkan agamanya sendiri, sehingga kurang bertoleransi, dan sekitar 12,5 menyatakan umat Kristen tidak taat. Sementara dari kalangan responden Kristiani kebanyakan 35,71 menyatakan umat Islam sebagai orang yang terlalu fanatik, sehingga tidak toleran terhadap umat Kristen. Selebihnya menyatakan umat Islam hanya mau benarnyamenangnya sendiri dan mudah tersinggung atau curiga 28,57, dan tidak taat 28,57, sebagian kecil 7,14 menyatakan umat Islam suka membagi materi kepada umat Kristiani. Adapun persepsi sosial dan jarak sosial antara muslim dan umat Kristiani dapat dilihat pada jawaban responden dari kedua kelompok tersebut. Persepsi sosial responden muslim kepada umat Kristiani walaupun mayoritas bersifat netral 80, namun masih banyak yang bersifat negatif 20. Jarak sosial muslim terhadap orang Kristiani menunjukkan 80 jarak sosial yang sedang, dan 20 jarak sosial tinggi negatif. Dengan demikian jika variabel persepsi dan jarak sosial digabung dapat disimpulkan bahwa religiosentrisme muslim terhadap orang Kristiani mayoritas 80 termasuk kategori cukup tinggi, dan cukup banyak 20 yang negatif. Sementara persepsi orang Kristiani kepada muslim antara yang bersifat netral dan positif sama- sama banyaknya masing-masing 40, sedangkan yang bersifat negatif sama dengan yang terdapat pada responden muslim yaitu 20. Jarak sosial umat Kristiani terhadap muslim sebagian besar 60 termasuk cukup, sedangkan yang lainya masing-masing 20 termasuk kategori positif dan negatif. Dengan demikian religiosentrisme umat Kristiani terhadap muslim adalah separuhnya 50 termasuk cukup positif, 30 bersifat positif, dan 20 bersifat negatif. Kedua, sikap pihak terlibat. Hal ini dapat dilihat pada bersikukuhnya lembaga pendidikan dan sekolah Kristiani untuk menolak pemberian pendidikan agama Islam kepada siswa muslim serta ketidaksetujuan sebagian kelompok masyarakat atas keluarnya atau pengeluaran siswai muslim dari sebuah sekolah Kristen, dan ketidakpuasan atau penolakan terhadap Surat Keputusan Bupati tentang pendirian SMKN 1 Samigaluh oleh aparat desa. Di sisi lain pemerintah desa sendiri oleh 26 kelompok umat Islam pendukung SKB 2 dan 3 Menteri dianggap tidak bersikap netral dalam proses konflik yang berlangsung. Ketiga, penyiaran agama Kristen yang dianggap sebagai bagian dari Kristenisasi oleh muslim. Seorang informan muslim, Bsk, 50 tahun, menyatakan upaya tersebut antara lain penggunaan istilah ‘shalawatan’ sebagai kegiatan keruhanian Kristen. Juga aktivitas Kristen di desa-desa yang masuk Kecamatan Samigaluh seperti selebaran berbahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil yang disebarkan kepada keluarga muslim.

C. Konfigurasi Konflik 1. Surat Keputusan Bersama 2 Menteri sebagai Sumber Konflik