Profil Budaya KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL

88 lokal yang dapat menjadi figur panutan masyarakat, misalnya aktor yang berasal dari Kraton, karena dalam kraton sendiri terjadi konflik internal. Dalam hal ini pemerintah kota berusaha mengkoordinir pertemuan dengan mendatangkan dari kelompok-kelompok keagamaan yang ada seperti MUI, dan DGI . Sementara dari pihak pemerintah meliputi Kesbanglinmas, Departemen Agama, dan kepolisian. Upaya penyelesaian seperti ini menjadi pola rutin saat menghadapi konflik sosial dalam masyarakat. Bahkan oleh seorang informan dianggap berhasil, buktinya konflik dapat diredam dan pihak-pihak yang berkonflik dapat menerimanya. Berkaitan dengan itu wajar saja jika selama ini penyelesaian konflik melalui hukum jarang dilakukan. Hal ini karena pihak pemerintah lebih mementingkan pendekatan kekeluargaan berdasarkan prinsip musyawarah atau mufakat. Melalui musyawarah semua pihak diperlakukan sama dan duduk bersama serta dapat saling menjelaskan satu dengan yang lainnya persoalan masing-masing. Memang betul pernah terjadi penegakan hukum seperti pada kasus Ahmad Wilson yaitu diajukan ke pengadilan dan dikenai hukuman, namun hal itu tidak menghilangkan prinsip dasarnya yaitu musyawarah. Masing-masing pihak yang bermusyawarah selama ini dianggap legowo setelah mereka memahami latar belakang dan sumber terjadinya konflik Sebab, menurut Suh, jika mereka tidak legowo mestinya akan melakukan upaya hukum yang ada. Upaya penyelesaian konflik yang memanfaatkan budaya lokal belum dilakukan secara optimal. Saat ini, pemerintah Kota Solo baru melakukan uji coba penyelesaian, dan juga pengendalian, konflik SARA termasuk konflik antarumat beragama di dua kalurahan sebagaimana dijelaskan dalam bagian pengendalian konflik di atas. Selain itu ada juga gagasan untuk memanfaatkan kelompok PKK dan kelompok- kelompok sosial yang melibatkan ibu-ibu dalam upaya penyelesaian konflik. Hal ini seperti ditegaskan oleh informan saya, Gun 56 tahun, karena ibu-ibu dianggap lebih sabar, lembut, tekun dan greteh atau tidak jemu dan tidak putus asa dalam setiap berusaha. Dengan sifat lemah lembutnya sebenarnya kaum wanita dapat dilibatkan dalam setiap penyelesaian konflik, termasuk dalam pengendalian konflik.

F. Profil Budaya

1. Umum Solo merupakan bagian dari daerah-daerah yang yang disebut daerah kejawen. Daerah kejawen yang lain seperti Banyumas, Yogyakarta, Kedu, Madiun dan Kediri. 89 Karena itu dalam konteks kebudayaan Jawa, selain Yogya, Solo merupakan pusat kebudayaan Jawa yang sama-sama bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755. Bagian terbesar masyarakat menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi kesehariannya. Ada 2 macam bahasa yaitu ngoko dan krama. Bahasa Jawa-ngoko digunakan dengan orang yang saling mengenal akrab, juga terhadap orang yang lebih muda usia dan lebih rendah status sosialnya. Bahasa Jawa-krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum akrab dan tidak sebaya usianya, juga terhadap orang yang lebih tua usia dan lebih tinggi status sosialnya. Sebelum menggunakan bahasa dengan orang yang diajak bicara, seseorang harus memperhatikan dengan seksama. Solo saat ini memperlihatkan wajahnya yang pluralistik dan terjadinya perubahan- perubahan kultural akibat pergumulan antarkelompok keagamaan dan kejawen. Tidak salah kalau dikatakatan oleh seorang informan, SK, 63 tahun, ‘di Solo akan ditemukan dari orang dan kelompok yang paling kejawen dan abangan sampai yang paling santri, dari yang paling moderat sampai yang paling radikal-ekstrim. Saat ini Kota Solo berjuang keras untuk menjadi Kota Budaya dengan beberapa misi dalam CDS Indonesia: 5 yaitu: 1 Mengembangkan Kota Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada perdagangan dan jasa, pendidikan, budaya dan pariwisata 2 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan serta teknologi, guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat berdasarkan Ketuganan Yang Maha Esa 3 Menjadikan seluruh kegiatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang bersaing dengan mendayagunakan potensi budaya lokal dan teknologi terapan yang akrab lingkungan 4 Menjadikan hukum supremasi, hukum, pelaksanaan hak azasi manusia dan demokrasi sebagai budaya masyarakat termasuk parav penyelenggara pemerintahan kota 5 Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen stakeholder dalam semua bidang pembangunan, merekatkan kohesi sosial budaya dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai ‘Solo Kota Budaya’. 2. Sistem Kekerabatan Sebagaimana pada masyarakat Jawa umunya, sistem kekerabatan orang Jawa Solo adalah bilateral yaitu garis keturunan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui garis laki-laki maupun wanita. Dalam era modern saat ini sistem kekerabatan mereka telah dipengaruhi oleh nilai-nilai modern. Di antara perubahan kekerabatan orang Solo adalah terjadinya perubahan bentuk keluarga yaitu semakin berperannya keluarga batih somah. Keluarga batih berfungsi dalam banyak aspek seperti sosialisasi nilai budaya Jawa kepada anak-anak, sementara dalam hubungannya dengan kerabat yang lain 90 dan masyarakat ia punya posisi sebagai mediator kepentingan keluarga batih dengan keluarga batih lain dan masyarakat pada umumnya. Karena itu keluarga luas jumlahnya semakin menyusut, keluarga luas ini terutama masih ada di masyarakat pedesaan. Masyarakat Solo juga mengenal kelompok kekerabaatn ambilineal, suatu kerabat keluarga yang diorientasikan kepada pancer atau nenek moyang yang jauh. Anggota kerabat dalam kesatuan alurwaris ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Dari segi hubungan dengan pancer orang Jawa Solo mengenal istilah sebutan untuk generasi ke atas dan ke bawah seperti mbah canggah, mbah buyut, eyang, bapakibu , anak , putu , buyut, canggah dan seterusnya. Walaupun begitu secara fungsional, hubungan kepada ego atau pancer umumnya hanya berlaku pada generasi ketiga, misalnya dalam hubungan silaturrahim dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun hubungan sampai pancer generasi keempat dan seterusnya hanya berupa hubungan tradisional, karena mereka sudah jarang sekali melakukan hubungan, bahkan tidak saling mengenal, apalagi kalau tempat tinggalnya saling berjauhan. Pada saat ini ada perkembangan baru dalam hubungannya dengan kekerabatan ini yaitu munculnya wadah yang berusaha mengikat dan meningkatkan kesadaran hubungan primordial isme kekerabatan. Wadah tersebut adalah trah, wadah ini bukan hanya terdapat di keluarga-keluarga bangsawan atau kelas menengah atas, namun juga terdapat di masyarakat kelas menengah-bawah dan di pedesaan.

3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal

Kelompok Sosial: Ada beberapa kelompok sosial di Kota Solo. Kelompok sosial tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu: 1 kelompok sosial-kemasyarakatan 2 kelompok yang mengurusi pemerintahan, dan 3 kelompok yang berkaitan dengan kekerabatan. Pertama, secara historis Solo dikenal sebagai pusat gerakan keagamaan, mulai dari Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Laweyan, di kota ini juga ada ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan saat ini Solo dikenal dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial keagamaan yang militan atau menurut sebutan mereka sebagai kelompok ‘Islam konsisten’ seperti Front Pembela Islam Surakarta, dan Majelis Mujahidin Indonesia yang muncul di era reformasi. Kota ini dikenal juga sebagai kota yang masyarakatnya majemuk dari segi suku dan kelas sosial-ekonomi, agama, dan paham keislaman Tak heran kalau banyak orang menyatakan di Solo semua tingkatan 91 keislaman dan keagamaan tumbuh dan berkembang, mulai dari kelompok Islam yang paling militan-fundamentalis, moderat sampai yang liberal dan abangan. Kelompok- kelompok keislaman tersebut memiliki subkulturnya masing-masing, dan secara politik dapat dilihat juga dalam kekuatan partai politik yang mengindikasikan kekuatan masing- masing kelompok. Partai-partai Islam atau berbasis massa Islam cukup kuat selain partai nasionalis sekuler. Kedua kelompok partai tersebut sebagai representasi dari kelompok muslim tersebut. Sementara di kalangan umat Kristiani cukup banyak kelompoknya mulai dari Katolik, Protestan, dan berbagai sekte yang agresif secara metodologi penyebaran agamanya. Di bidang keagamaan ini ada juga organisasi yang dari sejarahnya dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Kelompok sosial lain yang berorientasi kepada sosial kemasyarakatan cukup banyak misalnya PKK, dasa wisma, pos yandu. Kedua, di Kota Solo saat ini lembaga pemerintaha modern pada level desa sampai RT meliputi kepala desa yang dibantu oleh carik, kepala urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan kepala dusun. Di bawah kepala dusun masih ada Ketua RW dan RT yang menjadi lembaga semi pemerintahan. Sementara di tingkat dusun jabatan tradisional yang masih aktual dan fungsional yang mengurus di bidang keagamaan yaitu kaum dan rais. 1 Kaum adalah mereka yang biasanya memahami acara-tradisi dengan baik dan menjadi pemimpin dalam acara tersebut terutama acara adat. Misalnya dalam acara pernikahan dan khitanan, kaum memimpin prosesi acara 2 Rois adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam masyarakat dan dituakan. Dalam upacara pernikahan dan khitanan rois memimpin doa. Kedua lembaga sekaligus tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari sesepuh di dusun atau di desanya masing-masing. Ketiga, di Solo sebagaimana dikemukakan oleh informan ahli saya, Dr.SK 63 tahun, terdapat banyak kelompok kekerabatan bernama ‘trah’. Trah ini bukan hanya terdapat pada keturunan bangsawan, tapi juga di kalangan masyarakat biasa. Misalnya trah di kalangan bangsawan atau menengah ke atas seperti Hadijayan putra Paku Buwono X, Trah Kartopawiron. Yang menarik saat ini trah juga berkembang di desa dari kalangan masyarakat awam. Dari sekian trah tersebut ada yang anggotanya mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang 92 anggotanya sama-sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Peran utama dari trah adalah sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri dari kelompok kerabat tersebut, hal ini sesuai dengan tujuan awalnya yaitu nglumpukke balung sumsum. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat incidental milsanya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada petuah-petuah atau sosialisasi nilai-nilai kejawaan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pancer. Aktor Lokal: Menurut informan saya, Suh. 45 tahun, berbeda dengan di Yogyakarta yang masih memiliki figur tradisional panutan yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono, di Solo saat ini tidak mempunyai figur tradisional panutan, hal ini terutama karena terjadinya konflik internal di kalangan Kraton sendiri. Konflik tersebut telah berdampak kepada menurunnya kharisma dan wibawa kraton di hadapan masyarakat. Sebelum terjadinya kasus itupun sebenarnya pihak kraton sudah jarang dijadikan sebagai instrumen dan aktor dalam kaitannya dengan permasalahan hubungan antarkelompok masyarakat termasuk dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik. Dalam hal keagamaan tokoh lokal yang penting disebut adalah pemimpin pondok Ngruki, Ustadz Abdul Basyir. Meskipun secara geografis tidak masuk Kota Solo, namun ia sangat berpengaruh juga di masyarakat Islam Solo, terutama di kalangan kelompok Islam konsisten seperti Majelis Mujahidin. Dari keseluruhan aktor lokal, menurut SK 63 tahun, di Solo yang banyak berpengaruh adalah tokoh partai politik. Hal ini yang menyebabkan Solo menjadi kota yang bersumbu pendek, mudah terbakar dan sering terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama seperti kiai dan tokoh adat tidak menjadi panutan atau setidaknya pengaruhnya 93 lebih kecil daripada tokoh politik. Karena tokoh politik yang lebih banyak berperan maka untuk menentukan aktor lokal yang berpengaruh tergantung kepada partai politik yang lebih dominan atau banyak memperoleh suara. Akibat lain dari besarnya pengaruh tokoh partai ini adalah aktor lokal yang ada menjadi tersebar di beberapa partai. Keadaan ini mendukung pernyataan beberapa informan bahwa di Solo saat ini tidak dikenal adanya figur panutan tunggal. Kecenderungan tersebut juga dapat dibuktikan dengan kasus Ahmad Wilson. Dalam kasus tersebut yang banyak memimpin aksi dan advokasi adalah dari tokoh-tokoh partai Islam bekerja sama dengan tokoh di Front Pembela Islam Surakarta FPIS. Pernyataan Wilson ketika itu dianggap pimpinan FPIS dan tokoh dari partai seperti PAN, PPP, PBB, dan PKB sebagai pelecehan terhadap agama Islam Nabi Muhammad. Tokoh-tokoh tersebut menggalang opini melalui media massa misalnya Sahil Hasni PAN, Mudrick SM Sangidoe PPP, Ipmawan Iqbal PBB, Husein Syifa PKB, Fajri Muhammad PKS.

4. Nilai-nilai Lokal

Nilai-nilai lokal, atau norma menurut SK 63 tahun, yang masih cukup berkembang di Kota Solo adalah nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa dan sambatan saling membantu dan bekerja sama, dan gotong royong. Ketiga nilai ini dalam masyarakat sering saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam tepo seliro atau tenggang rasa akan membuat orang mampu mengendalikan emosi bahkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga muncul kebersamaan seperti mau membantu orang lain dan mau bergotong royong serta membantu untuk kepentingan umum maupun orang lain secara individual. Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya. Misalnya jika tetangga memiliki hajatan, maka tetangga, dan juga kerabat, ikut gotong royong, baik diminta atau tidak. Pada waktu kegiatan yang bersifat nasional seperti ketika memperingati 17-an tiap orang ikut bergotong royong Supaya terjadi kehidupan yang rukun, menurut beberapa informan seperti SK , dan Gun, maka harus dikembangkan sikap tenggang rasa. Ironisnya di bidang politik 94 tenggang rasa ini tidak ada atau sangat kecil, namun di bidang ekonomi tenggang rasa itu masih cukup besar karenanya orang Cina biasa hidup rukun denganh orang kampung. Ironi tenggang rasa dan kehidupan politik ini perlu diangkat karena justru aktorlokal yang banyak berpengaruh di Solo adalah tokoh-tokoh pertai politik. Jika ini berlangsung terus maka jika ada masalah kecil kalau itu terkait dengan kepentingan politik kelompok partai maka akan menjadi masalah besar dan bahkan menjadi konflik terbuka di antara kelompok sosial dan agama yang ada.

5. Upacara Adat

Dalam masyarakat Solo upacara adat dapat dibagi ke dalam upacara umum dan upacara lingkaran hidup seseorang. Di dalam upacara tersebut terkandung adanya interaksi antarorang atau kelompok yang berbeda latar belakang agama, suku, lapisan sosial, dan lainnya. Tentu selain hal-hal yang berkaitan dengan substansi upacaranya sendiri. Pertama, upacara adat umum misalnya upacara yang dilaksanakan oleh Kraton Kasunanan Pakubuwana Surakarta misalnya Jumenenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sesajen, dan Malem Selikuran atau Maleman Sriwedari. Upacara tersebut dilaksanakan pada bulan dan hari tertentu, misalnya malem selikuran diselenggarakan pada tanggal 21 Ramadhan setiap tahun. Diawali dengan acara prosesi atau arak-arakan keluarga besar Raja Kasunanan yang biasanya berlangsung pukul 18-21.00 dari Kraton Kasunanan alon-alun utara menuju Taman Sriwedari, dan sejak itu acara pasar malam dibuka untuk umum di Taman Sriwedari sampai akhir bulan Ramadhan. Upacara yang diselenggarakan Kraton ini dilaksanakan demi kesinambungan pranata budaya, khususnya bagi kesinambungan generasi penerus Mataram saat ini. Yang penting dicatat adalah bahwa upacara tersebut diupayakan agar bukan sekadar menjadi tontonan tapi sekaligus menjadi tuntunan bagi masyarakat, sehingga berfungsi sebagai benteng budaya lokal dan pergaulan budaya ke depan yang cenderung ke arah pada identitas peradaban budaya global. Kedua, upacara lingkaran hidup dimulai dari sejak manusia dalam kandungan sampai wafat. Dari Dalam Kandungan sampai Pubertas: Pada saat kehamilan tujuh bulan diadakan mitoni, pada upacara ini para ibu memandikan yang mitoni yang disebut dengan tingkeban. Ketika bayi lahir dilakukan slametan yang disebut dengan brokohan yang terdiri dari nasi tumpeng dan ikan asing serta jajanan pasaran, dan ketka bayi sudah 95 berusia 5 hari dilakukan slemetan sepasaran dengan jenis makanan yang sama dengan brokohan, pada saat ini bayi dipotong sedikit rambutnya. Slametan selapanan dilakukan saat bayi berusia 35 hari, jenis makanan sama dengan sepasaran hanya rambut bayi dipotong habis. Setelah tujuh lapanan diadakan acara tedak siti. Pada akhirnya anak menjelang remaja diadakan teta’an atau sunatankhitan. Pada saat ini banyak anggota masyarakat yang tidak melakukan secara ketat rentetan upacara tersebut. Pada umumnya masyarakat hanya menyelenggarakan upacara kehamilan, sepasaran atau selapanan dan tetaan.. Teta’an di kalangan muslim santri lebih diutamakan dan biasanya menggunakan istilah khitan atau sunnat karena lebih bersifat religius dan sunnah Nabi, terutama untuk anak laki-laki. Ketika pelaksanaan upacara tersebut orang yang punya hajat biasanya mengundang tetangga, atau kerabat yang jauh tanpa mempedulikan latar belakang agama, suku dan lainnya. Kalau yang bersangkutan mempunyai trah biasanya mengundang anggota trah khususnya sesepuh trah tersebut. Perkawinan: Sebuah perkawinan diawali dengan tahapan melamar. Memasuki perkawinan sendiri terdiri dari banyak rangkaian acara seperti siraman pemandian yang dilakukan sehari sebelum akad nikah, midodareni yang terkadang dijadikan satu dengan upacara temu-manten. Pada malam midodareni kerabat dan para tetangga dekat hadir sambil bercengkarama dan main kartu sampai hampir tengah malam. Tuan rumah menyediakan makanan-minuman sesuai dengan kemampuan. Setelah itu baru memasuki upacara akad-nikah. Pelaksanaanya biasanya pagi hari sehingga yang punya hajat harus menyediakan makanan-minuman. Akad nikah dilakukan penghulu dan disaksikan oleh beberapa kerabat dan tetangga. Temu manten biasanya menjadi pusat perhatian utama, bahkan kadang lebih dianggap sakral dibandingkan dengan akad nikahnya sendiri, atau setidaknya dianggap sebagai bagian dari rukun perkawinan. Pada waktu temu manten ini yang datang paling awal adalah anggota kerabat agar tuan rumah kerepotan dapat membantu. Temu manten ini terdiri dari banyak prosesi seperti suap menyuap makanan antara pengantin, acara ngabakten melakukan sembah kepada bapak-ibu, tilik nganten oleh orang tua laki-laki ke rumahgedung setelah acara temu selesai, namun hal ini sekarang jarang sekali dilakukan. Kemudian baru ada sambutan-sambutan. Para tamu undangan dalam hajatan manten terdiri dari tetangga, teman dan kerabat dari orang tua atau penganten. Dalam hal ini tidak ada pembedaan dari segi 96 agama, suku, dan lapisan sosial. Hanya kalau tamu tersebut berasal dari kalangan yang lebih tinggi derajatnya biasanya akan dihormati. Kematian: Pada saat upacara kematian selain dilakukan perawatan janazah sebagaimana ajaran agama memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan, juga ada prosesi adat seperti sambutan-sambutan sebelum pemberangkatan janazah ke makam, kadang juga dilakukan geblak. Setelah hari kematian ada tradisi slametan seperti metung dino, matangpluh dino, nyatus, pendak siji setahun pertama, sampai nyewu. Dalam upacara pada saat hari kematian tetangga, teman dan kerabat akan datang dengan sendirinya tanpa diundang ketika mendengar kematian seseorang, mereka terdiri dari berbagai latar belakang suku dan agama dan lainnya. Adapun ketika slametan pasca kematian, selain metung dino biasanya pesertanya diundang, dan undangan tersebut tanpa membedakan agama dan sukunya. Pada saat sekarang di kalangan masyarakat Solo terutama dari kalangan lapisan sosial bawah dan santri yang masuk kategori modernis dan konsisten tidak berkembang lagi. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh SK 63 tahun, selain karena alasan ekonomis terutama di kalangan masyarakat lapisan bawah juga karena karena alasan paham keagamaan.

G. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal