26 kelompok umat Islam pendukung SKB 2 dan 3 Menteri dianggap tidak bersikap netral
dalam proses konflik yang berlangsung. Ketiga, penyiaran agama Kristen yang dianggap sebagai bagian dari
Kristenisasi oleh muslim. Seorang informan muslim, Bsk, 50 tahun, menyatakan upaya tersebut antara lain penggunaan istilah ‘shalawatan’ sebagai kegiatan
keruhanian Kristen. Juga aktivitas Kristen di desa-desa yang masuk Kecamatan Samigaluh seperti selebaran berbahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil yang
disebarkan kepada keluarga muslim.
C. Konfigurasi Konflik 1. Surat Keputusan Bersama 2 Menteri sebagai Sumber Konflik
Latar Belakang: Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang berkaitan
dengan kerukunan hidup antar umat beragama di DIY sebenarnya telah muncul setahun sebelum SKB 2 menteri yang ditetapkan tanggal 8 Oktober 1999 maupun SKB
3 Menteri yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Pada waktu itu telah lahir Surat Edaran Bersama Kepala Kanwil Depdiknas dan Kepala Kanwil Depag, tanggal
15 Juni 1998 yang berisi ‘Pedoman Pendidikan Agama Pada Sekolah Swasta yang
Berciri Khas Agama di DIY.’
Landasan hukum yang melatarbelakangi lahirnya SKB adalah UUD 1945, pasal 29, ayat 2 yang isinya: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Alasan yuridis formal lainnya adalah dengan mengacu pada kata
pertama dari tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional 1998 yakni demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
siswa. Tujuan tersebut jelas tak dapat terlaksana jika siswa tidak dapat memperdalam dan menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya, hal ini terutama siswa yang
ada di sekolah swasta yang berciri khas agama. Hal tersebut -- jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional-- menjadi tidak sejalan, sebab undang-undang tersebut
menyatakan siswa berhak mendapat pendidikan agama sesuai yang dianutnya. Akan tetapi karena siswa maupun orang tuanya banyak yang belum tahu tentang fungsi dan
isi undang-undang tersebut, mereka tidak menyampaikan pendapat atau tuntutannya
kepada lembaga penyelenggara pendidikan. Sosialisasi : Langkah-langkah sosialisasi telah dilakukan sejak munculnya SKB
2 Menteri di tahun 1999 oleh Kanwil Departemen Agama bersama dengan
27 Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Propindi DIY, dengan cara mengundang para kepala sekolah serta ketua yayasan untuk melakukan dialog masalah pelaksanaan SKB. Isu pokoknya bahwa salah satu aspek
reformasi bidang hukum dalam sektor pendidikan adalah masalah pendidikan agama, yang menjadi hak siswa untuk mendapatkannya sesuai dengan agama yang dianutnya.
Sosialisasi juga dilakukan kepada masyarakat. Pihak Kanwil Departemen Agama DIY telah menyampaikan tentang pelaksanaan SKB 2 Menteri maupun 3
Menteri ini melalui rapat koordinasi bidang penerangan agama untuk menitipkan kepada penyuluh agama agar masyarakat tahu bahwa anak-anak mempunyai
kewajiban untuk mengikuti pendidikan agama sesuai yang dianutnya. Sosialisasi Kanwil Departemen Agama Kabupaten dilakukan oleh Kakandep, Kepala Bidang
sampai ke cabang-cabang maupun ranting. Hal ini juga dilakukan di Kabupaten Kulonprogo. Pada tingkat masyarakat, sosialisasi antara lain dilakukan oleh Forum
Ukhuwah Islamiyah DIY yang menyebarkan surat edaran tentang hal ini.
Upaya Pelaksanaan: Dalam upaya pelaksanaan SKB tersebut Gubernur Propinsi
DIY mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 10 Mei 2001 yang intinya berbunyi sebagai berikut: 1 Dalam pelaksanaan pendidikan kepentingan anak diutamakan, 2
Aqidahkeimanan anak didik oleh pengelola pendidikansekolah tetap diperhatikan dan dijamin, 3 Agar melaksanakan SKB 3 Menteri tersebut di atas dengan baik dan
sebagaimana mestinya sesuai degan ketentuan pasal 13 khususnya Ebta untuk pelajaran Pendidikan Agama pada sekolah baik negeri maupun swasta dilaksanakan
sebagai berikut: a EBTA pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa yang bersangkutan, dan nilai pendidikan agama yang ditulis dalam
rapor adalah nilai pendidikan agama yang dianut oleh siswa yang bersangkutan, b Pemberian nilai untuk mata pelajaran pendidikan agama kepada siswa pemeluk suatu
agama tertentu yang di sekolahnya tidak dapat diajarkan pendidikan agama bagi siswa yang bersangkutan, dilakukan oleh pembina agama yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Wilayah dan diangkat oleh kepala Dinas KabupatenKota setempat. c Dalam hal pembina agama sebagaimana dimaksud dalam butir b tidak dapat ditunjuk dan
diangkat, penentuan pemberian nilai mata pelajaran pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut siswa yang bersangkutan, pengaturannya diserahkan kepada
Kepala Dinas propinsiKabupatenKota setempat. Untuk itu penanganan harus dilaksanakan kasus demi kasus.
28 Sementara upaya melaksanakan SKB 2 Menteri dan 3 Menteri di Kabupaten
Kulon Progo antara lain dilakukan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Pertama, Depag memberikan surat tugas pada guru
pendidikan agama Islam untuk mengajar di sekolah Kristiani. Para guru tersebut diambil dari guru agama Islam yang mengajar di sekolah negeri terdekat dengan
sekolah Kristiani. Mereka pun berstatus sebagai pengawas dan korektor pendidikan agama Islam di sekolah swasta yang berciri khusus tahun 20002001. Kedua, Depag
menetapkan bahwa kurikulum pendidikan agama Islam dan buku-buku yang digunakan untuk mengajar agama Islam di sekolah Kristiani sama dengan kurikulum
dan buku yang diberikan pada siswa-siswa yang bersekolah di sekolah negeri. Bersamaan dengan itu Depdikbud Kulon Progo 1 menerima kehadiran 2 orang yang
membawa surat tugas Nomor: 23BAKTI2000 untuk melakukan tugas reportase pelaksanaan EBTA pendidikan agama tahun ajaran 19992000 di sekolah-sekolah
swasta berciri khas keagamaan di wilayah Kulon Progo. 2 pada tanggal 7 Juni 2000 mengirimkan surat ke Diknas DIY yang isinya: ada 6 sekolah yayasan penyelenggara
pendidikan Kristiani di Kulon Progo yang tidak melaksanakan EBTA agama sesuai yang dianut siswa yaitu SMK Bopkri Wates, SMU Bopkri Wates, SMK Bopkri
Sentolo, SMK Bopkri Samigaluh, SMU Sanjaya Nanggulan dan SMK Marsudi Luhur Wates. Hanya ada satu sekolahyayasan Kristiani yang melaksanakan yaitu SMK
Maranatha Temon.
2. Pandangan dan Alasan
Munculnya SKB telah melahirkan konflik di antara umat Islam dan Kristiani, terutama konflik ide berupa pandangan masing-masing pihak.
Pertama , pandangan yang berasal dari instansi pemerintah maupun Yayasan
Penyelenggara Pendidikan Islam YPPI yang menyambut baik terhadap isi atau materi SKB. Menurut mereka, bila dilihat dari isi atau materi SKB sudah memadai,
adil dan proporsional sebab di dalam SKB itu telah mengatur agar setiap siswa mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan agama sesuai dengan
keyakinannya. Walaupun dari keseluruhan isi maupun materi SKB tersebut dianggap tidak mempunyai daya yang benar-benar bisa dipatuhi oleh sekolah, sebab dalam SKB
belum diatur mekanisme sangsi bagi sekolah yang tidak melaksnakan aturan tersebut. Yayasan Penyelenggara Pendidikan Islam sangat setuju dengan beberapa
alasan:
29 1 Membantu siswa agar tidak mengalami kekaburan atau kebingungan dalam
memahami imannya. Pelajaran agama itu bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan agama semata melainkan sebagai proses pendidikan iman siswa. Itu
sebabnya pendidikan agama perlu ditangani oleh guru yang mempunyai latarbelakang keagamaan yang sama dengan siswanya;
2 Menyadarkan Yayasan Penyelenggara Pendidikan Kristiani untuk tidak lagi mewajibkan orang tua membuat surat pernyataan: bersedia membiarkan anaknya
mempelajari agama sesuai dengan agama yang dianut sekolahyayasan 3 Sekarang ini, masyarakat sudah cukup kritis untuk mempersoalkan hal tersebut,
maka jika tidak ada keterbukaan dari pihak sekolahyayasan, kemungkinan peminat yang akan masuk ke sekolah tersebut dapat menjadi berkurang. Dengan
adanya perkembangan sekolah-sekolah yang dikelola Muhammadiyah dan kelompok Islam yang lain, maka sekarang ini masyarakat pun mempunyai
alternatif lain untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang sesuai dengan agama yang ia anut.
Kedua, pandangan pengelola Yayasan Penyelenggara Pendidikan Kristiani
YPPK yang merasa keberatan dengan munculnya SKB 2 dan 3 Menteri tersebut. Mereka melihat kebijakan tersebut lebih bersifat politis, karena pemerintah melihat
kekhawatiran dari masyarakat kalangan Islam itu dalam konteks Kristenisasi. Yayasan Kristiani mensinyalir adanya kekhawatiran yang berlebihan dari pihak-pihak
tertentu bahwa sekolah yang dikelola oleh yayasan Kristiani menjadi ajang penyiaran agama yang dapat mengakibatkan siswa melakukan perpindahan agama.
Sikap kontra muncul dari pihak YPP Kristiani dengan alasan: 1 SKB tersebut cacat hukum sebab berlawanan dengan isi Undang-undang No.2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut mereka di dalam undang-undang tersebut tidak ditemukan satu pasal-pun yang memberikan
ketentuan tentang keharusan memberikan pendidikan agama tertentu bagi peserta
didik di sekolah-sekolah swasta yang berciri khas keagamaan. Perubahan kata hak dalam sistem perundangan di atasnya menjadi wajib dalam SKB 2 Menteri telah
memberi implikasi yang sangat besar. Dalam kata hak mengandung adanya
kebebasan, dapat menolak maupun menerima, tidak ada keharusan, yang
bersangkutan dapat menentukan apa yang akan dipilihnya. Adapun kata wajib berarti keharusan yang mengikat untuk dilaksanakan, jadi dengan kata wajib ini
30 kebebasan tidak ada. Mereka menafsirkasn hal ini dari pasal 14 ayat 5 PP 28 th.
1990 maupun Pasal 17 angka 2 PP 29 th. 1990 tentang Pedoman Pendidikan Agama pada sekolah swasta yang berciri khas agama di DIY, yang menyatakan
bahwa sekolah swasta yang mempunyai ciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi
ciri khas sekolah tersebut dan menyerahkan pendidikan agama kepada Pemerintah dan orang-tua masing-masing.
2 SKB 2 Menteri ini tidak sesuai dengan prinsip pendidikan di sekolah tersebut yaitu prinsip kebebasan bagi siswa untuk memilih dan menentukan sendiri, sehingga
mendidik anak menjadi dewasa dan bertanggung jawab. 3 Setiap orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah Kristiani sejak awal sudah
mengetahui bila anaknya akan mendapatkan pelajaran agama yang berbeda dengan yang dianutnya. Berarti mereka itu memiliki hak dan kebebasan untuk
menentukan pilihan tersebut. 4 Pendidikan itu pada prinsipnya terbuka untuk umum terbuka terhadap suku,
agama, ras dan golongan apa saja yang secara akademis bermutu dan memperhatikan pembentukan kepribadian manusia seutuhnya
3. Proses dan Dampak Konflik
Pandangan umum dan upaya pelaksanaan SKB tersebut pada tingkat sekolah di Kulonprogo berlangsung dengan dinamika yang lebih keras. YPPK menolak
memberikan pendidikan Islam terhadap siswa muslim yang bersekolah di sekolah Kristiani, satu di antaranya di sebuah sekolah Kristen di Samigaluh. Penolakan ini
mendapat reaksi bukan hanya dari pihak pemerintah, namun juga dari umat Islam. Adapun prosesnya sebagai berikut:
Pertama, pada bulan Desember 2000 terjadi demonstrasi siswai SMK Bopkri
yang beragama Islam di Balai Desa Pagerharjo. Demonstrasi yang dimotori oleh seorang guru muslim di sekolah tersebut pada intinya mengadukan tentang
penolakan sekolahnya terhadap SKB 2 Menteri. Pihak aparat desa ketika itu meskipun banyak yang muslim, nampak kurang antusias menanggapi demonstrasi tersebut
dengan alasan tidak ada pemberitahuan sebelumnya sehingga merasa dilangkahi atau merasa ‘kecolongan’. Selain itu kegiatan tersebut dianggap menimbulkan keresahan
dalam masyarakat karena demonstrasi ini belum pernah terjadi sebelumnya.
31
Kedua, menindaklanjuti demonstrasi tersebut pemerintah desa melakukan
pertemuan di balai desa. Dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkonflik, di antaranya pimpinan sekolah, pihak pemerintah kabupaten dan kecamatan seperti
Kepala Pendidikan Nasional Kabupaten Kulonprogo, Bakesbanglinmas, dan Camat dan Kepala Penyuluhan Agama Kantor Urusan Agama Samigaluh, guru-guru sekolah
yang bersangkutan, Majelis Ulama’ Indonesia Kulonprogo, tokoh agama yang mewakili dari NU, dan Forum Ukhuwah Islamiyah
Ketiga, pertemuan yang dimaksudkan untuk berdialog tersebut berlangsung
dalam suasana sangat tegang dan panas karena terbuka untuk umum. Sering terdengar hujatan, gebrakan meja, dan bahkan ada pengunjung yang naik ke atas meja. Hardikan
dan intimidasi tersebut ditujukan kepada pihak pemerintah kabupan Diknas dan KUA kecamatan, MUI Kulonprogo, dan tokoh Islam. Menurut informan saya,
masyarakat yang menghujat tersebut adalah orang-orang yang didatangkan oleh pihak sekolah dan oknum pemerintah desa dalam rangka menolak upaya pemindahan
siswa dari sekolah Kristen ke calon SMK Negeri Samigaluh yang diletakkan di SMP 4 N Samigaluh. Dalam pertemuan tersebut tidak tercapai kesepakatan, masing-masing
pihak tetap menegaskan posisinya. Pihak sekolah Kristen tetap menolak memberikan pendidikan agama Islam terhadap siswa muslim, begitu juga pemerintah desa dan
sebagian masyarakat menolak pemindahan siswa dan pendirian SMKN Samigaluh.
Keempat, Tidak adanya kesepakatan dan ketidakpuasan tiap pihak telah mempertebal ‘in-group’ atau identitas masing-masing. Dari pihak muslim muncul
Forum Penyelamat Aspirasi Forpentas yang dikoordinir Drs. H. Maryono. Forum ini mengadvokasi siswa dan wali siswa muslim sekolah Kristen, di antaranya
menyampaikan orasi dan aspirasi kepada Pemda Kulonprogo, Kantor Departemen Pendidikan Nasional kabupaten dan propinsi dengan 2 tuntutan pokok yaitu: 1
supaya pemerintah memberlakukan SKB 2 dan 3 Menteri di sekolah Kristen di Samigaluh, 2 agar siswa muslim yang keluar dari sekolah Kristen tersebut dapat
melanjutkan ke SMKN yang dipersiapkan. Selain itu dua organisasi Islam yaitu Gerakan Pemuda Ka’bah GPK dan Forum Ukhuwah Islamiyah ikut terlibat dalam
proses konflik. Sementara dari pihak Kristiani menyusun kekuatan dengan terus
mempengaruhi elemen-elemen yang ada di masyarakat setempat seperti perangkat
32 desadusun, dan sebagian umat Islam sehingga mereka menolak terhadap pengeluaran
siswa dan pendirian SMKN di Samigaluh. Peningkatan in-group masing-masing pihak ini seiring dengan yang terjadi
pada level propinsi. Di kalangan pendukung sikap umat YPP Kristiani ada yang membentuk Forum Komunikasi Orang Tua Siswa Sekolah Swasta Kristiani yang
diketuai oleh KGPH Hadiwinoto kakak Sri Sultan Hamengku Buwono X. Forum ini terdiri dari orangtua siswa yang mempunyai agama berbeda dengan agama yang dianut
sekolah swasta tempat mereka belajar. Mereka membuat surat pernyataan, bertanggal 2 Juni 2000, yang ditujukan kepada Kakanwil Depdiknas, Kakanwil Depag, Kepala
Dinas PP di Propinsi DIY dengan tembusan kepada Presiden, Menteri Pendidikan, Menteri Agama, Gubernur DIY, Dirjen Dikdasmen Depdiknas di Jakarta, DPRD Tk. I
DIY dan DPRD Tk. II KotaKabupaten se DIY. Mereka menyatakan keprihatianan dengan adanya informasi bahwa ada kemungkinan putraputri mereka tidak akan
menerima STTB atau bahkan tidak diluluskan karena mereka tidak mengikuti EBTA pendidikan agama sesuai dengan agama yang mereka anut. Dalam surat pernyataan
tersebut mereka mengungkapkan bahwa dengan sadar mereka menggunakan hak mereka untuk memilih sekolah swata Kristiani dan menerima pendidikan agama ciri
khas sekolah tersebut. Selain itu di lingkungan Kristiani juga terbentuk Forum Komunikasi Yayasan
Pengelola Sekolah Kristiani Katolik dan Protestan. Sementara di kalangan muslim memperkuat barisan melalui Forum Ukhuwah Islamiyah DIY, Majelis Dikdasmenbud
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah juga ikut mendukung terhadap SKB 2 dan 3 Manteri dengan mengirimkan surat kepada Departamen Pendidikan dan Kebudayaan
DIY.
Kelima, Suasana tegang antarkelompok dalam masyarakat terutama di Desa
Pagerharjo semakin terasa. Antarkelompok yang bertikai saling mengintimidasi dan mempersiapkan segala kemungkinan. Proses konflik mulai bergeser dari konflik
idewacana ke kemungkinan konflik sosial-fisik. Pihak yang tidak senang dengan pengeluaran siswa dan pendirian SMKN
Samigaluh melakukan intimidasi kepada siswa dan walinya, misalnya penyegelan sekolah, pencurian papan dan peralatan sekolah, bahkan pelarangan kepada sopir
angkutan umum mengangkut siswa-siswa yang akan berangkat ke SMKN di SMP 4 Samigaluh. Sementara dari pihak muslim melakukan reaksi dan ini melibatkan
33 Gerakan Pemuda Ka’bah GPK, GPK dengan massa sekitar 2 mobil mencari orang-
orang yang melakukan intimidasi terhadap siswa dan walinya. Mengetahui hal tersebut kelompok yang pertama mempersiapkan diri untuk melawan. Kedua
kelompok tidak saling bertemu dan tidak terjadi konflik fisik karena kesigapan aparat kepolisian.
Keenam, Semenjak terjadinya puncak konflik tersebut, aparat kepolisian terus
berjaga-jaga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik fisik, namun di sisi lain kelompok-kelompok yang bertika masih saling waspada, bahkan cenderung
terus melakukan intimidasi. Konflik sosial-fisik merada seiring dengan berjalannya waktu, namun konflik ide terus berlangsung walaupun tersubordinasi untuk sementara
waktu.
Ketujuh, dalam proses konflik tersebut ada beberapa media yang dijadikan
sebagai alat pengungkap kepentingan masing-masing, misalnya brosur, pamflet, orasi massa melalui demonstrasi sebagaimana dilakukan pihak muslim. Sementara di
kalangan Kristiani melakukan isu moral-personal yang ditujukan kepada salah satu guru muslim yang mengajar di SMK Bopkri, dan penggalangan kekuatan yang ada
dalam masyarakat seperti di kalangan ojek, petani, masyarakat di kampung dan pemerintah desa. Bahkan media massa seperti surat kabar dan telivisi juga
memberitakannya dan sekaligus menjadi ajang penciptaan opini publik dari kedua belah pihak.
Kedelapan, sejak kasus tersebut kini telah berdiri SMK Negeri Samigaluh
Vilial yang sementara bertempat di SMPN 4 Samigaluh berdasarkan SK Bupati no 218 tahun 2003. Sampai tahun 2005 ini, SMK Bopkri Samigaluh mengalami
penurunan siswa yaitu dari 224 orang sebelum konflik terjadi dan sekarang tinggal 122 orang, sebagian besar siswa muslim. Bahkan tahun 2004 SMK Bopkri Yayasan
dan sekolah memberi pendidikan agama Islam kepada siswa muslim, dan siswanya diperbolehkan berkerudung, tapi guru dipilih oleh yayasan. Pemberian pendidikan
agama Islam ini dilakukan di luar jam sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi telah berdampak terhadap
tindakan akomodatif yaitu melunaknya sikap dan kebijakan dari YPKK dan pimpinan sekolah. Di sisi lain di kalangan orang tua muslim mulai ada kesadaran baru akan
makna pentingnya pendidikan agama bagi anaka-anaknya, setidaknya dapat dilihat dari kehati-hatian orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah Kristiani.
34
4. Profil dan Anatomi Kelompok dan Subyek Terlibat
Dari uraian mengenai proses konflik memperlihatkan bahwa secara umum lonflik yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di Kulon Progo
merupakan konflik antara umat Islam dan pemerintah dengan umat Kristiani, baik dari Katholik maupun Protestan. Walaupu begitu jika dicermati pada profil kelompok dan
subyek yang terlibat konflik, baik pada level idewacana maupun pada level sosial dan fisik, perlu hati-hati. Di lapangan menunjukkan bahwa konflik itu ternyata sangat
tumpang-tindih. Sebab terlihat bukan hanya konflik antarumat Islam dan Kristiani tapi juga kelompok umat Kristiani dan pendukungnya. Bahkan antara pemerintah tingkat
desa dan pedusunan dengan aparat pemerintah tingkat kabupaten. Ada beberapa kelompok dan subyek yang terkait dengan konflik yang
bersumber dari pendidikan agama di sekolah ini.
Pertama, dari pihak umat Islam dan pendukung SKB 2 dan 3 Menteri.
Kelompok yang terlibat adalah FUI DIY, MUI Kulon Progo, Forum Penyelamat Aspirasi Forpentas, Gerakan Pemuda Ka’bah GPK, siswa dan wali orang tua
siswa muslim SMK Bopkri. Khusus pihak yang tersebut ketiga dan keempat, orang- orangnya kebanyaka sama yaitu terdiri dari kalangan Gerakan Pemuda Ka’bah Kulon
Progo. Selain itu ada orang-orang yang direpresentasikan dari kalangan NU seperti KH Mah. dan Drs. Mar, walaupun dalam proses dialog tokoh yang tersebut pertama lebih
diterima daripada yang tersebut kemudian. Oleh pemerintah desa dan kelompok Kristiani. Muhammadiyah, walapun secara kelembagaan seolah-olah tidak ikut terlibat
konflik di Samigaluh, sedangkan di tingkat propinsi sangat aktif, bukan berarti tidak terlibat. Orang-orang Muhammadiyah cukup aktif dalam proses ini, dan hal ini dapat
direpresentasikan dari pimpinan Depdiknas ketika itu Majelis Ulama Indonesia sebenarnya memiliki posisi sebagai mediator dalam
konflik-konflik antarumat beragama. Wadah keagamaan Islam yang dibentuk pada masa Orde Baru ini biasanya berkomunikasi dengan wadah umat beragama lain
seperti DGI, dan PGI. Dalam kasus ini forum komunikasi antarwadah umat beragama tersebut tidak jelas lagi posisi dan perannya. Dalam proses konflik ini MUI justru
berposisi berhadapan dengan kelompok Kristiani dan pendukungnya.
Kedua, sementara dari pihak Kristen dan pendukungnya meliputi 1 Pimpinan
Yayasan Penyelengaran Pendidikan Kristiani, 2 Pimpinan Yayasan Penyelenggara Pendidikan Bopkri dan 3 pimpinan SMK Bopkri Samigaluh. Pihak lain yang terlibat
35 konflik yang memposisikan diri sebagai pendukung kelompok Kristiani atau setidak-
tidaknya berposisi berhadapan dengan kelompok Islam pendukung SKB 2 dan 3 Manteri adalah 4 beberapa aparat desapedusunan yang beragama Kristen dan Islam,
serta beberapa umat Islam yang tergabung dalam persatuan ojek yang dikoordinir oleh oknum aparat desa.
Khusus kelompok yang dapat dinamakan dengan pendukung pihak Kristen ini sebenarnya keterlibatannya lebih fokus pada penolakan keluarga siswai muslim dari
SMK Bopkri dan pendirian SMKN di Samigaluh. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran issu dari penolakan YPPK Kristen dalam memberikan pendidikan agama
Islam terhadap siswa muslim kepada kedua issu tersebut tersebut. Penolakan ini terutama karena pemerintah desa merasa dilangkahi oleh kelompok Islam dan
pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengeluhkan siswai muslim dan memindahkannya ke SMKN yang akan dibuka
tanpa ijin dari kelurahan selaku penanggung jawab di desa. Terjadinya pergeseran issu tersebut tentu menguntungkan bagi kelompok
Kristen, sebab mereka memperoleh dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat Islam. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa dalam proses konflik tersebut pihak Kristen lebih ’lihai’ memainkan peran, di antaranya karena pengaruhnya di aparat desa, selain
karena tokoh-tokoh mereka yang memiliki pengaruh di masyarakatnya, misalnya ada yang jadi anggota DPRD Kulonprogo, dan guru.
D. Upaya Pengendalian Konflik