Upaya Pengendalian Potensi Konflik

84 Kedua, dari kelompok Kristen, secara kelembagaan melibatkan pengelola Radio PTPN dan tentu Wilson sendiri sebagai tokoh utama. Meskipun Wilson selalu menganggap dirinya sebagai ‘Kristen independen’ karena belum ada kelompok Kristen yang sama dengannya, tapi ia punya jamaah yang bernaung dalam gereja Advent. Mereka termasuk golongan menengah ke bawah, dan oleh muslim Wilson dan jamaahnya dianggap melakukan ritual di rumah ibadah.

D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik

Secara garis besar upaya pengendalian konflik antarumat beragama ada 2 pendekatan yaitu struktural dan kultural. Meskipun harus diakui sanmpai saat sebagian besar masih didominasi oleh pendekatan struktural. Pendekatan struktural berlaku nasional dan karenanya pemerintah Solo hanya menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan peraturan yang ada pada tingkat nasional. Upaya-upaya ini tidak jauh berbeda dengan daerah lain yaitu: a Sosialisasi wawasan kebangsaan, b Antisipasi atau deteksi dini melalui kegiatan intelegen, c Sosialisasi program pemeritah di bidang pembangunan agama Pertama, sosialisasi wawasan kebangsaan dilakukan oleh Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kesbanglinmas. Kegiatan ini bertujuan menanamkan nilai-nilai kebangsaaan, pluralitas dan berbagai isu nasional seperti tentang hak azasi manusia, demokratisasi, dan hal yang terkait dengan hubungan antarkelompok dalam masyarakat SARA. Melalui kegiatan ini diharapkan peserta memahami dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang makna penting nilai-nilai kebangsaan, sehingga stabilitas dalam masyarakat dapat dipertahankan. Adapun sasarannya adalah tokoh masyarakat, pemuda dan tokoh agama, perwakilan dari partai politik pada tingkat kecamatan. Pembinanya berasal dari lintas instansi pemerintah dan masyarakat seperti DanKodim TNI, Kapolsek yang berkaitan dengan hukum dan kamtibmas, dan hubungan umat beragama Kedua, deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik suku, agama, ras, dan antrgolongan SARA. Kegiatan ini dilakukan Komunitas Intelejen Daerah Kominda yang diketuai oleh Sekda dan ketua hariannya dari kepala Kesbang, sedangkan anggotanya meliputi Kasi Kodim, Unit Intel Kodim, Kasi Intel Kejaksaan, Kasat Intelpam Polres, Kasi Intel Brigib AD dan AU, Kesbanglinmas, dan BIN daerah. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memantau dan mengantisipasi berbagai isu dan benih-benih konflik SARA dalam 85 masyarakat. Memang tugas ini mirip dengan kegiatan intelegen masa Orde Baru, namun ada perbedaan substansial yaitu lembaga ini dalam menjalankan tugasnya memperhatikan HAM. Dalam bekerja Kominda dibantu oleh Bakorpulahtasida atau Badan Koordinasi Pengumpulan dan Olah data Situasi Daerah. Badan ini merupakan badan pelaksana yang menyiapkan segala informasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan masyarakat. Hasil olah informasi itulah yang kemudian digunakan oleh Kominda untuk mengambil kesimpulan, kebijakan dan aksi. Sebenarnya pada masa Orde Baru ada lembaga Pembinaan Opini Publik yang berusaha untuk mengendalikan opini masyarakat supaya tidak mengarah kepada konflik. Dalam hal ini di Solo mengambil substansi dari instrumen tersebut. Ketiga, sosialisasi program pemerintah di bidang keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan intern dan antarumat beragama. Selama ini tugas tersebut dilakukan oleh beberapa kelompok yang merupakan jejaring di bawah Departemen Agama. Kelompok tersebut misalnya PAH, Forum Komunikasi Umat Beragama, wadah musyawarah umat beragama seperti MUI, dan organisasi keagamaan. Ada komentar menarik mengenai pembakuan nama forum komunikasi antarumat beragama menjadi Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th 2006Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala DaerahWakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah.’ Komentar tersebut berkaitan dengan posisi Departemen Agama. Dengan adanya Forun tersebut seolah Departemen Agama ingin cuci tangan dari persoalan yang berkaitan dengan konflik antarumat beragama, khususnya wewenang Forum tersebut sebagai penentu dalam pembangunan tempat ibadah. Memang ada nilai lebihnya karena dalam Forum ini bersifat kolektif, dalam arti anggotanya berasal dari semua unsur umat beragama, sehingga dimungkinkan terjadinya dialog dalam proses pengambilan keputusannya. Sementara upaya pengendalian konflik yang berbasis budaya lokal masih dalam taraf kajian dan uji-coba. Sebenarnya upaya ini juga mencakup upaya penyelesaian konflik, dan tidak dikhususkan bagi konflik umat beragama namun berlaku untuk konflik sosial pada umumnya. Karena program ini masih baru maka perlu dikemukakan secara panjang lebar mengenai hal ini. 86 Program ini dinamai ‘pengembangan ketahanan masyarakat,’ tidak disebut dengan ‘pembangunan perdamaian masyarakat’ karena Solo pernah dan sering terjadi konflik. Ketahanan merupakan upaya pemberdayaan kondisi masyarakat supaya tidak mudah terprovokasi dan mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Dalam hal ini pemerintah, via Kesbanglinmas, hanya sebagai motivator dan fasilitator karena hakikat pengendalian konflik melalui pengembangan ketahanan ini bersifat botton-up. Berdasarkan buku panduan tentang ‘Pedoman Pengembangan Ketahanan Masyarakat di Kota Solo’, program ini bertujuan untuk: a. membangun kesadaran warga akan pentingnya budaya damai dan kesediaan warga untuk berperan aktif dalam menciptakabn budaya damai b. menguatnya peran lembaga-lembaga formal dan informal di masyarakat dalam mengupayakan perdamaian c. menguatnya peran tokoh-tokoh masyarakat, agama, etnis dan kepemudaan dalam menguapayakan perdamaian d. tersedianya data yang lengkap tentang pola-pola konflik di masyarakat e. terciptanya mekanisme damai dalam pengelolaan konflik di masyarakat f. adanya dikumentasi tentgang kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang berkembangnya perdamaian, yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Dalam kegiatan uji cobanya di Kelurahan Gandekan dan Gilingan upaya ketahanan pengembangan masyarakat ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu 1 identifikasi dan analisis masalah penyebab konflik yang dilakukan melalui sarasehan dan meyode cluster, dan fokus group discussion, 2 tahap penyelesaian masalah. Di dalam tahapan ini dilakukan kesepakatan mengenai akar masalah, alternative soluasi, dan menyusun rencana tindak lanjut dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya lokal melalui analisis SWOT dan SMART specific, maesureable, acceptable, relevance, tain, sosialisasi hasil kepada seluruh warga kelurahan, aksi bersama masyarakat, 3 tahap penilaian mandiri melalui pertemuan rutin warga pada tingkat RTRW-kelaurahan, 4 tahap mempertahankan dan meningkatkan hasil yang telah dicapai.

E. Upaya Penyelesaian Konflik