Geografis, Penduduk dan Setting Sosial

68

BAB III SOLO:

PELECEHAN AGAMA DALAM ARENA SUMBU PENDEK

A. Geografis, Penduduk dan Setting Sosial

Solo, dalam hal ini adalah Kota Surakarta, merupakan pusat Kesultanan Mataram setelah Ngayogyakarta, dan seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pusat budaya Jawa. Saat ini Solo memiliki lima kecamatan yaitu Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Terdiri dari dari 51 kelurahan, 592 RW, dan 2645 RT. Luas daerahnya mencapai sekitar 44,04 Km2, kecamatan terluas adalah Banjarsari 14,81 Km2, Jebres 12,58 Km2, sedangkan terkecil adalah Serengan 3,19 Km2. Dua kecamatan yang lain Laweyan sekitar 8,63 Km2, dan Pasar Kliwon mencapai 4,82 Km2. Jumlah penduduk kota Solo pada tahun 2003 sebanyak 497.234 jiwa. 1 Kepadatan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Pasar Kliwon yang mencapai 15.837Km, kemudian diikuti Serengan 14.660 jiwaKm, Banjarsari 11.291 jiwaKm, sedangkan kepadatan terkecil terdapat di Kecamatan Laweyan 10.240Km, dan Jebres 10.425Km. Penduduk perempuannya 51,21 lebih banyak daripada penduduk laki-laki 48,79. Kecenderungan ini terdapat pada semua kecamatan dan sudah terjadi sejak tahun 1980. Lebih sepertiga 34,38 penduduk usia 10 tahun ke atas 415.928 orang sudah mengenyam pendidikan SMAsederajat, disusul kemudian oleh yang mengenyam SDsederajat 22,93 SLTPsederajat 19,90. Adapun yang mengenyam pendidikan tinggi ada 10,61, di antara mereka ada yang tidak tamat SD dan tidak sekolah 12,18. Mayoritas penduduknya bekerja di sektor usaha modern seperti industri, perdagangan, jasa, dan pegawai. Hal ini seiring dengan kian sempitnya lahan pertanian, lahan pertanian ini hanya terdapat di Laweyan dan Banjarsari. Mata pencaharian penduduk kebanyakan sebagai buruh 33,90, baik sebagai buruh industri, bangunan, dan tani. Selebihnya sebagai PNS 12, pedagang 7,56, dan angkutan 5. Solo sejak dulu dikenal sebagai kota batik dan pakaian. Citra ini nampaknya belum hilang, terbukti 1 Jumlah ini berdasarkan sumber Hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Penduduk Berkelanjutan P4B. Sementara berdasarkan hasil Survei Sosial Eknoomi Nasional 2003 yang dilakukan BPS Kota Surakarta jumlahnya 485.501 jiwa, dan menurut sumber yang berasal dari kumpulan Monografi Kelurahan BPS mencatat sekitar 555.125 jiwa. Dalam laporan ini masing-masing sumber tersebut digunakan untuk menganalisis aspekaspek tertentu. Ketiga sumber tersebut semuanya diambil dari Kota Surakarta Dalam Angka 2003. 69 dari volume dan nilai eksport tahun 2003 jenis barang ini menduduki posisi kedua setelah mebel. Usaha besar di bidang ini memang dikuasai pengusaha non-pribumi khususnya Cina, sementara orang Arab dan pribumi banyak bergerak di level menengah ke bawah. Konflik-konflik kelas yang bersumber dari sosial-ekonomi sering terjadi di Solo, dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya struktur sosial yang memang dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda. Sejak awal abad ke-20, konflik bernuansa agama-etnik sudah sering terjadi, misalnya konflik antara para pedagang batik muslim-Jawa-Arab dengan Cina. Konflik ini bersumber dari kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda yang memposisikan pedagang pribumi sebagai kelompok kelas bawah setelah orang-orang Belanda, Indo, dan orang Cina. Dalam perdagangan importir misalnya, Belanda memasok bahan baku batik langsung kepada pedagang Cina, sehingga pedagang muslim-pribumi hanya memperolehnya dari pedagang Cina, itupun dengan berbagai syarat. Setelah merdeka struktur sosial terus berlanjut, meskipun konflik terus diusahakan oleh pemerintah Orde Baru. Misalnya pembentukan paguyuban suku-suku Arab-Cina-Jawa oleh pemerintah Kota Surakarta. Ini merupakan upaya pembauran suku minoritas ke dalam budaya suku mayoritas. Secara historis Solo dikenal sebagai pusat gerakan keagamaan, mulai dari Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Laweyan sampai dengan munculnya kelompok-kelompok ‘Islam konsisten’ seperti Front Pembela Islam Surakarta, dan Majelis Mujahidin yang muncul pada era reformasi. Kota ini dikenal juga sebagai kota yang masyarakatnya majemuk dari segi suku dan kelas sosial- ekonomi, agama, dan paham keislaman. Tak heran kalau banyak orang menyatakan bahwa di Solo semua tingkatan keislaman dan keagamaan tumbuh dan berkembang, mulai dari kelompok Islam yang paling militant-fundamentalis, moderat sampai yang liberal dan abangan. Kelompok-kelompok keislaman tersebut memiliki subkulturnya masing-masing, dan secara politik dapat dilihat juga dalam kekuatan partai politik yang mengindikasikan kekuatan masing-masing kelompok. Partai-partai Islam atau berbasis massa Islam cukup kuat selain partai nasionalis sekuler. Kedua kelompok partai tersebut sebagai representasi dari kelompok muslim tersebut. Walaupun umat Islam memiliki banyak subkultur, namun mereka masih menjadi bagian terbesar dari masyarakat, hanya persentasenya 72,36 tidak mencapai 70 mayoritas mutlak. Yang luar biasa adalah perkembangan umat Kritiani yang mencapai lebih seperempat penduduk 26,36 yang terdiri dari Katolik sebesar 13,20, dan Protestan 13,16. Sementara umat Budha dan Hindu masing-masing sebanyak 0,84 dan 0,44. Perkembangan umat beragama dalam setiap tahunnya tidak mengalami perkembangan yang drastis, namun berkembang wajar sesuai dengan perkembangan penduduk pada masing-masing umat beragama. Misalnya tahun 2002 umat Islam mencapai 72,28. Begitu pula umat Katolik sebanyak 3,36, dan Protestan 13,19. Semua agama tersebar di kelima kecamatan yang ada, namun sedikit berbeda dalam persentase persebarannya. Umat Islam meskipun di semua kecamatan masuk bagian terbesar, tapi persentasenya berbeda. Persentase terbesar ada di Laweyan yang mencapai 79,47 dibandingkan dengan umat beragama lain yang ada di kecamatan tersebut, sedangkan jumlah terkecil terdapat di Jebres yang hanya mencapai 66,21. Sebaliknya umat Katolik dan Protestan lebih banyak terdapat di Jebres karena masing- masing mencapai 16,03 dan 15,78, sedangkan di Laweyan kedua agama Kristiani ini termasuk yang terkecil yaitu masing-masing 9,90 dan 9,82. Jumlah tempat ibadah tiap umat beragama cukup memadai. Masjid 437 unit jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam, rata-rata menampung 919 orangmasjid. Sementara untuk gereja Kristiani 153 unit rata-rata menampung 957 oranggereja. Untuk kuil 5 unit rata-rata menampung 930 orang, dan untuk pura 3 unit rata-rata menampung 813 orang. Jika dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya tahun 2000 perkembangan jumlah gereja naik sampai 30 unit, sementara masjid naik 46 unit, dan untuk pura tetap, bahkan kuil turun 2 unit.

B. Karakteristik Potensi Konflik