Prinsip-prinsip Kebijakan Pengembangan Kerukunan Umat Beragama

253 berbeda wadahnya. Ada upaya mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri Solo dan Mataram. Juga ada upaya revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti pemangku Mataram, dan mereka berperan pada pascakonflik. Nilai-nilai lokal ada yang diperankan pada tahap proses konflik dan pascakonflik Mataram, dan di daerah lain diperankan pada pascakonflik. Mekanismenya ada yang model mandiri dan integratif Kulonptogo dan Solo, dan model integratif Tasikmalaya, Mataram dan Pasuruan.

B. Prinsip-prinsip Kebijakan Pengembangan Kerukunan Umat Beragama

Catatan penutup ini rasanya kurang ‘nikmat’ jika tidak diiringi dengan penjelasan tentang apa yang sebaiknya dilakukan ke depan dalam upaya keberlangsungan kerukunan umat beragama di Indonesia. Tentu hal ini didasarkan atas temuan-temuan penelitian di lapangan. Penjelasan ini sekaligus menunjukkan betapa masih banyak hal yang harus dilakukan oleh semua pelaku yang terlibat dalam kerukunan umat beragama dalam masyarakat yang treus berubah. Hal ini tentu bukan hanya harus menjadi renungan bagi pengambil kebijakan di bidang keagamaan, namun juga masyarakat beragama sendiri. Pertama, dalam proses penyelesaian konflik umat beragama ke depan, suatu hal yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi ulang terhadap pendekatan mayoritas. Selama ini pemerintah hanya melibatkan organisasi keagamaan mapan, khususnya di kalangan Islam, dalam setiap penyelesaian konflik umat beragama. Hal ini harus diimbangi dengan perlunya mulai memperhatikan serta mendekati organisasi ‘Islam konsisten’ yang terus mengembangkan pengaruhnya terutama dalam hubungan antarumat beragama, baik pada skala lokal maupun nasional. Pendekatan ini bukan berarti sebagai upaya ‘pemandulan’ aspirasi dan sikap peka mereka terhadap nonmuslim, namun mengarahkan agar kepekaan itu tidak menjadi konflik kekerasan. Selain itu mereka perlu dilibatkan dalam setiap program dan dialog antarumat beragama. Perhatian lebih juga perlu diberikan kepada kelompok Protestan, karena di berbagai daerah tersebut kelompok Kristiani ini yang lebih potensial menyulut konflik akibat kegiatannya dibandingkan dengan kelompok Katolik. Kedua, jika melihat sumber dan faktor penyebab konflik di setiap daerah penelitian, maka perlu dipertimbangkan beberapa hal oleh pengambil kebijakan. Hampir di semua lokasi kasus tempat ibadah dan penyiaran agama menjadi potensisumber dan 254 atau faktor penyebab konflik. Karena itu kedua hal tersebut perlu menjadi perhatian serius, misalnya dengan tetap memasukkan dan mengatur keduanya ke dalam rencana sistem perundangan seperti Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama. Begitu pula dengan pendidikan agama di sekolah masih tetap relevan untuk diatur dalam rancangan tersebut. Aspek lain yang ternyata masih saja terjadi adalah pelecehan terhadap agama lain, baik kepada tokoh maupun doktrin agama lain. Ketiga, penggunaan simbol-simbol keagamaan yang dianggap melekat pada suatu kelompok agama yang dimanfaatkan kelompok agama lain penting diperhatikan pengaturannya, dan hal ini nampaknya belum diatur oleh sistem perundangan yang ada. Keempat, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah faktor yang memiliki kaitan dengan munculnya konflik antarumat beragama, seperti faktor kesenjangan sosial-ekonomi, dan penegakan hukum kepada pelaku yang terlibat. Kelima, dalam kaitannya dengan pemberdayaan aktor lokal ke depan, penanganan dan pengambilan keputusan sebuah persoalan atau pembangunan masyarakat tidak cukup hanya diberikan kepada segelintir atau seorang tokoh hasil rekayasa dari atas, hal ini terutama pada tokoh dari kelompok mayoritas seperti Islam. Sebab ini tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang saat ini yaitu semakin memudarnya sosok tokoh lokal- tunggal. Karena itu pelibatan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kelompok sosial penting dilakukan misalnya di Solo, Tasikmalaya, Mataram, perlu dilibatkan tokoh-tokoh Islam dari kelompok Islam ‘konsisten’ dan kelompok Islam lainnya di luar kelompok Islam dominan. Selain itu perlu diimbangi dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik dari kelompok sosial yang terkait dengan keluarga atau kekerabatan ini karena lebih bersifat kontinu dan langsung bersentuhan dengan keluarga. Keenam, pelatihan, pembinaan dan kegiatan sejenis selayaknya dilakukan rencana tindak lanjut action plan peserta di daerahnya masing-masing. Bahkan kalau perlu pelatihan, pembinaan dan kegiatan sejenis lebih baik diselenggarakan pada tingkat kabupatenkota, bukan pada tingkat propinsi. Karena hakikatnya secara geo-sosio-politik potensi konflik dan konflik berada di suatu kabupatenkota. Hal ini sekaligus lebih memungkinkan untuk memperluas jangkauan peserta pada tiap kecamatan sampai dusun. Ketujuh, forum komunikasi umat beragama yang pernah ada di tiap kabupatenkota dianggap tidak efektif dalam mengendalikan dan menyelesaikan konflik antarumat beragama. Ada beberapa catatan yang berkaitan dengan FKUB yang didasarkan atas PB Menag dan Mendagri tahun 2006. a Perlu penerjamahan tugas secara lebih rinci pada 255 level praksis, sehingga forum ini memiliki peran dalam pengendalian potensi konflik. b Lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplimentasikannya di lapangan dan mengefektifkan perannya. 3 Menumbuhkembangkan representasi anggota internal forum berdasarkan budaya lokal yang ada, khususnya dari segi pelibatan aktor lokal sesuai dengan budaya yang setempat. Kedelapan, agar supaya dalam pengendalian dan penyelesaian konflik asntarumat beragama berjalan lebih efektif maka perlu dilakukan beberapa langkah misalnya: a membangun LSM yang menjadi simpul-simpul di tingkat desa, terutama di desa atau kecamatan yang ada masyarakatnya majemuk dari segi agama; b harus ada kehendak baik dari pimpina pada setiap level mulai dari bupatiwalikota sampai RT-RW dalam upaya-upaya kongkrit pengendalian dan penyelesaian konflik, misalnya upaya memfasilitasi kegiatan tindak lanjut dari pascapembinaan atau kaderisasi. Kesembilan, cara penyelesaian konflik yang terjadi selama ini dengan cara sruktural oleh pemerintah harus dibarengi cara kultural, tentunya dengan memperhatikan koridor hukum. Aparat pemerintah di tingkat lokal desa, dusun, RTRW harus diberdayakan menjadi tokoh-tokoh kultural. Selain itu upaya penegakan hukum dalam konflik yang anarkhis harus melihat konteks geografis, dan sosial-budaya seperti aspek mayoritas-minoritas, namun agar ada efek jera dalam masyarakat maka ia harus ditegakkan dan jika perlu sanksi hukuman adat yang mungkin lebih efektif. Kesepuluh, modal utama dalam pemberdayaan atau revitalisasi budaya lokal adalah penumbuhkembangan kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang makna penting revitalisasi budaya lokal tersebut dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama. Hal ini dapat dimulai dari level atas dan bawah secara simultan. Pada level atas atau struktural, pemerintah pusat dan daerah memberi kebijakan yang memungkinkan komponen-komponen budaya lokal di setiap daerah dapat berkembang dan dikembangkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik. Sementara pada level bawah atau masyarakat berupaya menumbuhkembangkan kesadaran, terutama dari kalangan tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok sosial lokal. Dalam upaya merevitalisasi komponen budaya lokal tersebut, maka langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah memberdayakan peran aktor di setiap daerah. Mereka harus diberdayakan terlebih dahulu sebagai subyek langsung dalam merevitalisasi dan memberdayakan komponen budaya lokal yang lain seperti nilai-nilai, kelompok sosial lokal, dan upacara yang ada di daerahnya. Upaya pemberdayaan aktor lokal bukan berarti 256 seperti yang sudah berlangsung selama ini yaitu merekayasa seorang tokoh yang dipaksa tergantung sangat tinggi kepada pemerintah. Sebaliknya pemberdayaan itu perlu melibatkan aktor lokal sebanyak mungkin dan bersifat mandiri. Barangkali slogan yang penting dikemukakan adalah ‘pemberdayaan untuk semua aktor lokal dan kemadirian’. Dengan demikian peran mereka tuan guru, lalu, kyai, ajengan, priyayi, pamong tingkat bawah, komunitas Madura, tokoh trah perlu terus lebih dikuatkan lagi dan diperluas subyeknya. Jika ini dapat dilakukan maka persoalan kerukunan menjadi gerakan dan kesadaran koletif para aktor yang ada di suatu daerah, bukan hanya menjadi kesadaran segelintir aktor yang justru menjadi tidak produktif. Dalam kaitannya dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama, maka peran aktor lokal bersifat primer sedangkan pemerintah pusat dan daerah bersifat sekunder. Sifat primer berarti aktor harus diperankan sebagai penyelesai langsung dialog, negoisator maupun tidak langsung fasilitator, mediator. Sifat sekunder berarti pemerintah, dan pihak-pihak di luar komunitas lokal hanya berperan sebagai mediator ketika dibutuhkan oleh aktor lokal, sekaligus tetap terus memberikan dukungan kebijakan dan pendanaan jika dibutuhkan. Jangan lagi seperti sering terjadi selama ini di mana upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarkelompok lebih sebagai proyek untuk memperoleh dana, dan ketika kelompoknya tidak dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik dianggap tidak penting untuk dibantu penyelesaiannya. Secara sederhana peran-peran tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut: Permberdayaan Revitalisasi Primer Sekunder Pemerintah PusatDaerah AktorLembaga Lokal Nilai, Upacara,Kelompok, Aktor lokal 257 257 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar Umum. Makalah Pelatihan Metopen Bidang Sosial Keagamaan Angkatan V. Jakarta: Ditbinlitabmas Dirjen Dikti Depdiknas. Abdel Salam, El Fatih A. 2004. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik. Malaysia: IIUM. Alexander, Jeffrey C. Steven Seidman edit.. 1990. Culture and Society, Contemporary Debates. Cambridge: University Press. Anonimus. 2000. Pedoman Penyiaran Agama, Dakwah, Pendirian Tempat Ibadah, Peringatan Hari besar Keagamaan. Dicetak Ulang Proyek Bimbingan dan kerukunan Hidup Umat Beragama DIY. Departemen Agama. 2003. Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama. Balitbang Departemen Agama RI Dwipayana, AAGN. 2004. Bangsawan dan Kuasa, Kembalinya Ningrat di Dua Kota Bali dan Solo. Effendi, Djohan, editor. 1990. Agama dan Masa Depan. Jakarta: Balitbang Depag RI. Furchid, HP. editor . 1982. Dictionary of Sociology. New Jersey: Adam and Co. Gatut Murniatmo. 19961997. Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon, dalam Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 007P1996.Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Terjamahan Grafiti Pers. Jakarta: Grafiti Pers. Gudykunst et. al., 1988. Cultural dand Interpersonal Communication. Sage Publication. Gudykunst, Yun Kim, 1997. Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication. McGraw Hill. Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Yayasan penerbitan Fakltas Psikologi UGM. Hamilton, Peter. 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya. Terj. Hartono.Yogyakarta : Tiara Wacana. 258 Hariyono, P. 1994. Kultur Cina dan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. International Coalition for Religious Freedom, 2001, Religious Freedom World Report, ICRF, http:www.religiousfreedom.com Ismail, Nawari. 1993. Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi Bandung, Balitbang Depag RI, dalam Jurnal Hasil Penelitian Dosen. Edisi 11993. Yogyakarta: UMY Ismail, Nawari. 2002. Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman , Laporan Penelitian Dosen Muda Depdiknas RI Isyanti. 19992000. Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 17P1999. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Jary, David Julia. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Galsgow: HarperCollins,. Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Krueger, Richard A.1988. Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research. New Delhi: SAGE Publications. Marse, Syamsuhadi. 1993. Peningkatan Kualitas Kerukunan Hidup Beragama. Makalah Pelatihan Peneliti Agama Angkatan XIV Jakarta: Balitbang Depag RI. Masnun dkk. 2003. H. Harun Al-Rasyid Meningkatkan Kesejahteraan Merajut Perdamaian. Jakarta: Cahaya Putra Utama. Miall, Hugh. et. al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer Menyelesaikan, Mencegah, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjamahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mudzhar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Etika Kebangsaan dalam Pluralitas Sosial dan Keagamaan. Center for Information and Development Study. Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. 1990. Komunikasi AntarBudaya . Bandung: Remaja Rosdakarya. Nashir, Haidar. 1993. Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung, dalam Jurnal Hasil Penelitian, Edisi 1 Tahun 1993. Yogyakarta: UMY 259 Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nugroho, Heru. 2000. dalam Sutora Eko. Masyarakat PascaMiliter Tantangan dan Peluang Demiliterisasi di Indonesia. Yogyakarta: IRE. Rahman, Budhy Munawar, 2000, Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama, http:media.isnet.orgislamEtcPlural.htm Retnowati. 2000. Agama, Konflik dan Integrasi Sosial Rekonsiliasi Islam dan Kristen Pasca Kerusuhan Situbondo. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Pasca Sarjana UGM. Ritzer, George. 1985. Sosiologi, Ilmu Pengetahuan berparadigma Ganda. Terjamahan Alimandan. Jakarta: Rajawali. Saadah H, Sri. Hartati. 1991. Dampak Perkawinan Campuran terhadap Tatakrama Daerah Bali. Jakarta: Depdiknas. Saifuddin, Achmad Fedyani. 1986. Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali. Salamun dkk. 19931994. Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang Rembang, dalam Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 005P1993. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Sarwono, Sarlito Wirawan, 2000, Religious Attitude in Indonesia, Jakarta: Faculty of Psychology, Indonesia University Sarwoto. 2000. ’Konversi Agama, Kasus Ahmad Wilson.’ Skripsi di Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam UMY, tidak diterbitkan. Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soemardjan, Selo, Soelaiman S, 1964. Setangkai Bunga Soiologi. Jakarta: FE UI. Suparlan, Parsudi. 1991. Pengantar Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Makalah Pelatihan Peneliti Agama. Jakarta: Balitbang Depag RI. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 4USKB1999, Nomor 570 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikman Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Nomor 2USKB2001, Nomor 81 Tahun 2001, 260 Nomor 423.7-011 tentang Penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Aakhir dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun Pelajaran 20002001. Suseno, Frans Magnis, 1999, Islam dan Kristen Bom Waktu atau Tumpuan Harapan, BASIS No 03-04, Maret-April 1999 Sutopo, Djoko. 1993. Potensi-potensi Konflik dan Faktor Peredam Studi kasus Kerukunan Hidup Beragama di Desa Pasir Endah Kecamatan Ujung Berung Kabupaten Bandung. Jakarta: Balitbang Depag RI. Tim Peneliti UMY, UAD, UAJY, Univ. Sanata Darma. 2003. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama, Kerja sama Antara Majelis Dikti-Litbang PP Muhammadiyah dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik. Usman, Sunyoto. 1996. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Widigdo, Achmad. 1992. Profil Kerukunan Hidup Beragama di Desa Senden Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Jakarta: Balitbang Depag RI. Widiyanto, Paulus. 1998. Kerusuhan dan Masalah SARA, dalam Prisma, Jakarta: LP3ES. i GLOSARIUM  Afiliasi ganda, loyalitas ganda cross-cutting affiliation; cross-cutting loyalities adalah seseorang yang menjadi anggota dalam berbagai unit kelompok sosial sekaligus, ia potensial menjadi mediasi antarkelompok di mana ia menjadi anggota yang berkonflik, sehingga kasus konflik dapat dikendalikan dan diredam karena adanya loyalitas ganda tersebut  Akomodasi adalah bentuk penyelesaian konflik di mana satu pihak bersedia menerima kebutuhan pihak lain dan mengorbankan kepentingannya sendiri,  Avoiding menghindar merupakan bentuk penyelesaian konflik di mana salah satu dan atau kedua belah pihak menghindar dari situasi konflik.  Batur sakasur, batur sasumur, batur salembur merupakan nilai-nilai tiga serangkai yang menunjukkan relasi antar unsur agar tercapai keharmonisan dan kerukunan, yaitu: hubungan dalam keluarga, tetangga dekat dan masyarakat.  Etnosentrisme adalah sebuah sikap yang memadang kebudayaan suku lain berdasar kriteria kebudayaan sukunya sendiri, sehingga muncul stereotif negatif terhadap suku lain  Fieldnote atau catatan lapangan adalah catatan hasil penelitian yang diperoleh peneliti ketika di lapangan, baik haisl yang diperoleh dari wawancara, bincang- bincang, dokumen, dan mengamati. Formatnya mengikuti model tertentu. Misalnya berisi uraian deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi berisi pemaparan apa adanya mengenai data yang diperoleh pada waktu tertentu. Catatan refleksi berisi komentar dan penafsiran atas data yang ada di catatan deksripsi, pemaran sikap dan perasaan pribadi, termasuk kegiatan lanjutan yang mungkin dilakukan dalam rangka melakukan proses triangulasi.  Integrasi sosial adalah penyatuan antar satuan atau kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan mengesampingkan perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada  Kebudayaan adalah seperangkat pola perilaku dan bertingkah laku secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk manifestasinya dalam benda- benda materi.  Kerukunan hidup beragama merupakan proyek pemerintah yang dimulai pada masa Orde Baru yang bertujuan untuk membina dan melanggengkan kerukunan dan harmoni di antara umat beragama. Pemerintah pada waktu itu mencanangkan Trilogi Kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.  Konflik sosial adalah pertentangan antar satuan atau kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Ada dua hal yang dicakup dalam pengertian konflik yaitu kasus konflik atau konflik yang sudah terjadi dan potensialitas konflik  Konflik vertikal merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa.  Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antarkomunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya.  Konflik individualistik merupakan salah satu jenis konflik dari aspek tujuan. Ciri-ciri dari konflik jenis ini adalah: melihat penyebab konflik sebagai instrumen bukan ekspresif, sering memisahkan isu dengan pelaku konflik, konflik muncul ketika pengharapan individu terhadap prilaku yang pantas dilanggar, pelaku bersikap konfrontatif secara langsung.  Konflik kolektivistik merupakan salah satu jenis konflik dari aspek tujuan. Ciri-cirinya adalah: melihat penyebab konflik lebih sebagai ekspresif, tidak memisahkan antara isu dengan pelaku yang berkonflik, konflik muncul ketika norma kelompok dari pelaku dilanggar, cenderung tidak konfrontatif dan sikapnya tidak langsung terhadap konflik, ii artinya anggota kelompok berkeinginan kuat membentuk kelompok yang harmonis dan cenderung menggunakan komunikasi tidak langsung.  Kolaborasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan secara bersama- sama di antara pihak yang berkonflik dengan pendekatan menang-menang win-win approach. Kepentingan kedua belah pihak diperhatikan, ketidaksesuaian dibahas secara dirinci. Model ini sangat berguna ketika kepentingan kedua belah pihak sama-sama penting dan sulit dikompromikan.  Kompromi merupakan bentuk penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk berbagi sumber yang ada, kedua belah pihak setuju damai, namun persetujuan itu bukan pilihan pertama tiap pihak.  Kompetisi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang keputusannya cenderung bersifat menang-kalah, pihak yang kuat akan menang dan mendominasi. Model ini berguna terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya yang tersedia, juga ketika masa kritis yang menghendaki keputusan cepat.  Kontraksi keluarga adalah proses kian berkurangnya keluarga luas dan kian berkem- bangnya keluarga inti. Proses kontraksi keluarga ini berkembang di antaranya karena kian kuatnya perubahan pola tempat tinggal pasangan baru yaitu dari pola patrilokal- matrilokal tempat tinggal keluarga pasangan laki-laki atau perempuan ke neolokal tempat tinggal baru.  Ngayo Bahasa Sasak adalah pertemuan silaturahim antar berbagai unsur dalam masyarakat.  Pedhalungan suatu daerah yang secara kultural terjadi titik temu atau akulturasi antara budaya Madura dan Jawa, hal ini terutama terdapat di bagian pantai Pasuruan, termasuk juga di daerah Bangil, Probolinggo, Situbondo.  Pendekatan struktural fungsionalisme merupakan pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari berbagai bagian, tiap bagian saling terkait dan befungsi, sehingga berkembang equalibrium. Masyarakat terintegrasi berdasarkan konsensus dari anggotanya mengenai nilai-nilai kemasyakaratan dalam segala pranata, jika terjadi konflik harus segera diselesaikan melalui cara penyelesaian sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.  Pendekatan konflik merupakan sebuah pendekatan yang menyatakan bahwa hakikat dari masyarakat adalah perubahan, dan di dalamnya terdapat konflik-konflik yang disumbangkan tiap unsur, masyarakat terintegrasi hanya karena adanya dominasi kelompok tertentu yang bersifat memaksa.  Pengendalian sosial adalah proses mengajak atau memaksa anggota masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku dengan tujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat  Pranata merupakan usaha pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang sudah melembaga yang berlangsung dalam relatif lama. Misalnya pranata perkawinan, sosial, pendidikan, olah raga, politik, ekonomi, hukum.  Religiosentrisme adalah sikap yang menilai kebudayaan agama lain berdasarkan standar kebudayaan paham agamanya sendiri, sehingga muncul persepsistereotif terhadap penganut paham agama lain.  Sosialisasi adalah proses pengalihan nilai-nilai dari seseorang atau generasi kepada orangkelompok lain.  Struktur sosial yaitu jalinan hubungan antar individu atau kelompok sosial dalam masyarakat sesuai status dan peranan yang dimilikinya.  Tayub di banyak daerah di Jawa merupakan suatu seni tari-panggung berupa tari- tarian yang dilakukan oleh laki-laki dewasa. Di Kulonpogo seni ini disebut gambyong, yaitu penari perempuan yang diibing penari laki-laki yang diiringi dengan gamelan Di Kulonprogo khususnya di Samigaluh, tayub dimaknai sebagai sebuah nilai, sebuah ugeran yang dijadikan pedoman bersama oleh masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Dalam hal ini tayub berasal dari kata ‘ta’ diambil dari kata tata menata dan ‘yub’ diambil dari kata guyub rukun-kekeluargaan. iii Secara etimologis berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, dan lainnya.  Triangulasi berarti memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi dari pelaku satu ke pelaku lain dan atau dari satu pelaku sampai ‘jenuh.’ Proses triangulasi dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu: 1 menggunakan multimetode untuk saling mendukung dalam memperoleh data 2 melakukan snow-ball dari sumber informasi satu ke satu informasi yang lain. 3 melakukan penggalian lebih jauh dari seorang atau beberapa informan dalam aspek yang sama dan yang terkait. I Perbandingan Peta Konflik Antar Lima Daerah Unsur Kulonprogo Mataram Surakarta Pasuruan Tasikmalaya A.Setting Sosbud 1. Komposisi Umat Islam mayoritas-Protestan minoritas Islam mayortas-Kristiani minoritas Islam mayoritas-Protestan minoritas Islam mayoritas-Kristiani minoritas Islam mayoritas-Kristiano minoritas

2. Budayaadat Jawa

Sasak Jawa Jawa-Madura Sunda

3. Geografis Desa-pedalaman

Perkotaan Perkotaan Perkotaan-pesisir Desa-pesisir

4. Sejarah konflik

- Islam-Hindu1990, Lobar Islam-Kristiani 1992, di di Pasuru Kota dan 1997 di Bangil, Islam–Kristiani,1996 Di Kota dan 2000 di Cipatujah

B. Potensi : 1. Prakonflik