117
C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab
Di tengah arus informasi yang mengglobal, dunia seperti ‘sedaun kelor’ karena peristiwa di suatu tempat yang jauh dapat didengar, dilihat dan ditonton dalam waktu
singkat dan bahkan bersamaan di tempat lain. Pada saat sekarang arus informasi ini dapat diperoleh dari berbagai media seperti koran-majalah-buletin, film melalui VCD,
serta telepon dan telivisi. Hal ini yang terjadi dengan peristiwa konflik antarumat beragama di Maluku dan Poso. Informasi ini diperoleh umat Islam Mataram selain dari
berita di media cetak dan elektronik, juga dari CDVCD yang berisi perlakuan umat Kristen terhadap umat Islam di kedua tempat tersebut.
Peristiwa-peristiwa tersebut telah dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak. Umat Islam, khususnya di Mataram, memaknainya sebagai sesuatu yang banyak
merugikan kepentingan umat Islam, karena umat Islam di sana diperlakukan tidak baik oleh kelompok agama lain. Demikian juga umat Kristen memaknai dari perspektif lain
sesuai kepentinganya. Di kalangan umat Islam Mataram dan sekitarnya peristiwa tersebut kemudian melahirkan ide untuk mengadakan Tabligh Akbar.
Tabligh Akbar ini bukan bertujuan untuk anarkis dengan pembakaran gereja, tapi sebagai: a ungkapan solidaritas terhadap sesama muslim yang ada di Ambon
dan Poso, sekaligus b menggalang dana dari umat Islam Mataram untuk disampaikan kepada muslim di wilayah konflik yang ada di Maluku dan Sulawesi tersebut. Di
tengah-tengah acara tersebut kemudian terjadi pembakaran gereja. Masih terjadi silang pendapat mengenai siapa pembakar gereja tersebut. Misalnya ada yang
berpendapat bahwa ada pihak ketiga, yang selalu menjadi kambing hitam dalam banyak konflik atau kerusuhan massal yang merugikan suatu pihak di Indonesia. Dari
berbagai informasi yang ada dapat disimpulkan bahwa peristiwa ‘171’ sebagai ungkapan sentimen keagamaan yang sudah cukup lama berkembang dalam
masyarakat, terutama di kalangan muslim. Hal ini dapat dilihat dari potensi-potensi konflik prakonflik sebagaimana diulas di depan. Kita juga tidak dapat mengatakan lagi
bahwa peristiwa itu bersifat spontanitas, sebab di lapangan menunjukkan sebuah gerakan massa yang rapi dan terkoordinir by design sehingga pembakaran terjadi
secara hampir serentak. Dengan demikian pembakaran ini sebenarnya sebuah simbol ketidaksenangan
atas tempat ibadah yang ada pihak lain. Sebagaimana ditegaskan oleh L.Ju. bahwa
118 masalah pokoknya karena umat Islam tidak dapat menerima kenyataan dengan
semakin banyaknya gereja dan cenderung tidak proporsional di Mataram. Hal ini terjadi karena pemerintah bersikap sangat longgar terhadap kegiatan misi, khususnya
dalam pendirian gereja, tetapi selama ini terutama pada masa Orde Baru masyarakat tidak mampu mengemukakan aspirasinya secara bebas akibat sistem politik yang
represif dan kebijakan kerukunan demi stabilitas negara. Pergantian pemerintahan Orde Baru yang otoriter ke pemerintahan baru yang lebih demokratis telah
menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, misalnya masyarakat mulai berani menyuarakan aspirasinya, dan bahkan seringkali tanpa kendali. Suasana
euferia kebebasan merebak, sehingga potensi-potensi konflik yang selama ini terpendam menjadi aktual, baik konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Konflik horizontal yang berbau SARA di berbagai wilayah Indonesia merebak terutama akhir tahun 90-an dan awal 2000. Inilah konstelasi sosial-politik-keagamaan
di Indonesia ketika itu, tak terkecuali di Mataram. Kenyataan ini dituturkan secara gambang oleh L.Ju:
Peristiwa 171 tersebut di atas lebih dikarenakan selama ini pemerintah dengan alasan demi stabilitas nasional selalu menggunakan pendekatan
represif dalam menangani setiap permasalahan di masyarakat khususnya yang berbau SARA. Bilamana timbul masalah seperti itu masyarakat selalu
ditekan sedemikian rupa menjadi tidak berdaya, padahal sebenarnya stabilitas yang terjaditercipta itu merupakan stabilitas semu karena dibawah
permukaan masih terssimpan dendam yang membara….Hal ini terbukti ketika kekerasan itu tiba dan bertepatan dengan isu pembantaian kaum
muslimin di Ambon, masyarakat berusaha mengekspresikan kekesalannya yang terpendam selama ini.
Dari uraian tersebut menunjukkan beberapa hal. a Acara Tabligh Akbar tersebut pada hakikatnya merupakan ungkapan solidaritas ingroup kelompok muslim
terhadap outgroup, Kristen. Ini sekaligus mengindikasikan adanya konflik yang dikemas dalam kegiatan bernuansa keagamaan. Meskipun ingroup ini difokuskan
kepada muslim yang jauh tempatnya, tapi kemudian b issu solidaritas tersebut berkelindan dengan permasalahan sosia-keagamaan lokal, khususnya yang berasal dari
pembangunan tempat ibadah dari pihak yang dianggap outgroup. c sebuah permasalahan yang sebenarnya sudah lama terpendam tapi baru dapat diaktualkan
ketika peluang itu ada, baik dari segi perubahan politik nasional dan lokal maupun dari segi peristiwa yang dapat dijadikan saluran atau wadah yang dapat ‘didomplengi.’
119 Dengan demikian sumber konflik yang utama adalah karna permasalahan lokal
yang berasal dari pembangunan tempat ibadah. Hal ini muncul karena pemerintah sendiri nampaknya kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan ini. Sikap
pemerintah ini memperlihatkan budaya-politik yang khas Mataram. Hal ini mungkin karena terkait dengan pengalaman masa lampau di mana penyebaran agama di
Mataram melalui pendekatan struktural-kekuasaan telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan, sehingga pemerintah lokal mengambil kebijakan mengambil jarak
dengan persoalan yang berkaitan dengan penyebaran agama. Adapun penyebab atau pemicu yang lebih mempercepat konflik aktual tersebut
adalah adanya solidaritas ingroup dari kelompok muslim terhadap peristiwa konflik di Ambon dan Poso. Selain itu, mirip dengan di tempat lain karena terjadinya
perubahan sosial-politik pada skala nasional maupun lokal, dari pemerintahan represif yang mementingkan stabilitas nasional ke pemerintahan yang lebih demokratis,
sehingga menimbulkan sikap berani dalam masyarakat. Pemicu yang lain adalah berkembangnya kelompok atau gerakan keislaman yang bersifat tekstual, sebagian
muslim lain menyebut dengan ‘muslim fanatik’ yang menggelorakan semangat jihad, yang selain berusaha mengamalkan Islam secara kaffah juga peka terhadap kegiatan
missi agama lain. Sementara itu sebelum peristiwa 171, forum komunikasi antarwadah umat beragama, setidaknya setelah era reformasi, tidak berjalan.
2. Proses dan Dampak
Sebagai sebuah peristiwa pada dasarnya konflik Islam dan Kristen di Mataram tidak dapat dipisahkan dari konstalasi konflik secara nasional, di ‘Kota Ibadah’ ini
muncul seiring dengan kegiatan umat Kristiani di satu sisi dan munculnya kelompok Islam yang memiliki kepekaan terhadap ap-apa yang dilakukan umat Kristiani
sekaligus kepedulian terhadap umat Islam, terutama terkait dan merupakan bagian dari solidaritas umat Islam Mataram terhadap saudaranya di Ambon dan Poso yang
berkElindan dengan permasalahan keagamaan lokal.
Jika diarahkan kepada konflik fokus maka ada beberapa proses yang dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Sebelum puncak peristiwa 171 di lingkungan umat Islam Mataram sudah banyak beredar VCD yang berkaitan dengan nasib umat Islam di Ambon maupun Poso
akibat konfliknya dengan umat Kristiani. Walaupun dalam media massa di Indonesia,
120 konflik di Ambon maupun Poso dikemas tanpa menunjuk kelompok-kelompok yang
berkonflik secara jelas, namun melalui filem tersebut umat Islam maupun Kristen memahami bahwa konflik di dua wilayah tersebut melibatkan kelompok Islam dan
Kristen. Apalagi setelah era reformasi setiap orang bebas mengakses informasi dari berbagai saluran seperti internet.
Informasi mengenai konflik Islam-Kristen di kedua wilayah tersebut bukan hanya dipahami oleh kalangan masyarakat bawah tetapi juga di kalangan akademisi yang
berpendidikan tinggi, baik dari kalangan Islam maupun Kristen. Itulah mengapa dari kalangan muslim yang memiliki rencama untuk mengadakan acara solidaritas terhadap
muslim Ambon dan Poso tersebut datang dari kalangan akademi yaitu masjid di Universitas Negeri Mataram Unram.
2 Ketika itu panitia yang diketuai oleh Bapak As, memberikan informasi kepada umat Islam akan adanya acara Tabligh Akbar di lapangan umum Mataram. Acara pokoknya
adalah pemberian dukungan dan solidaritas terhadap umat Islam di Ambon, dan Poso, sekaligus penggalangan dana untuk diserahkan kepada muslim di sana. Informasi
mengenai acara ini disampaikan secara lisan kepada umat Islam melalui pengajian- pengajian dan ketika shalat Jum’at, sedangkan kepada pimpinan ormas Islam, seperti
Nahdhatul Wathan, Nahdhatul Ulama’ dan Muhammadiyah, termasuk para tuan guru pengasuh pondok diberikan undangan tertulis
3 Ada kejadian yang menarik, ketika itu PAM Swakarsa yang sebelumnya sudah menyanggupi untuk mengamankan keadaan, pada hari itu tidak jadi ikut, sehingga
kemudian polisi yang mengamankan di luar lapangan, sedangkan di dalam lapangan dilakukan oleh orang yang dipersiapkan panitia.
4 Tanggal 17 Januari 2000 setelah shalat Dhuhur umat Islam berbondong-bondong menuju lapangan umum, tempat Tabligh Akbar. Panitia memberikan selebaran tentang
peristiwa Ambon dan Poso. Setelah itu diisi dengan orasi dari pembicara yang diundang khusus untuk itu yaitu Tuan Guru Sofwan, seorang pengasuh Pondok Nurul
Hakim yang terletak di Kecamatan Kediri Kabupaten Lobar. Sebelumnya diisi ikrar umat Islam yang disampaikan Pak Buntaro, Kepala SMAN Mataram dan akitivis
Muhammadiyah. Ikrar pada intinya berisi tentang keharusan memberikan solidaritas atas sesama muslim. Setelah pembicara yang diundang secara formal berbicara,
ternyata kemudian ada beberapa peserta dari massa yang naik panggung dan
121 memberikan orasi yang cenderung provokatif, di antaranya seorang guru, yang
kemudian di proses di Pengadilan. Menjelang selesainya acara ternyata ada kelompok massa yang tidak terkendali,
mereka kemudian membakar gereja yang ada di dekat lapangan umum Mataram. Dari situ kemudian merembet ke gereja-gereja yang lain yang ada di Kota Mataram. Selain
itu beberapa rumah dan kendaraan dibakar serta beberapa pertokoan terutama milik orang Cina dijarah terutama di Ampenan. Pembakaran dan penjarahan terjadi pada hari
yang sama. 5 Ditengah-tengah peristiwa itu, pemerintah mengundang pihak-pihak terkait untuk
melakukan pertemuan khusus. Peretemuan ini dihadiri oleh Muspida, Polresta, Polda, beberapa tuan guru, dan wadah umat beragama Islam, Kristen dan Katolik.
Pertemuan menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain: 1 Melarang adanya orang-orang asing masuk kota, 2 Tuan guru, bersama jajaran Polres dan Polda
ditugaskan untuk terjun ke lapangan langsung untuk menenangkan massa. Ketika di lapangan beberapa tuan guru langsung menggring sebagian massa ke masjid
perkampungan Arab Ampenan. 3 Pemerintah harus terus membina kerukunan dengan menegakan perarturan perundangan yang ada berkaitan dengan kerukunan
antarumat beragama. 6 Dari peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak dari kedua belah pihak.
Kalangan Kristen mengalami kerugian fisik yaitu bangunan gereja. Tidak kurang sembilan 9 gereja yang dirusak dan dibakar massa ketika itu yaitu: 1 gereja
Betlehem di Jalan Pemuda, 2 Santa Maria di Jalan Pejanggik, 3 Immanuel di Jalan Sudirman, 4 Jamaat Isa Al-Masih Advent Church, 5 GPIB di Jalan Bung Karno,
6 Pantekosta di Jalan Pariwisata, 7 Pantekosta di Jalan Panji Tilar Ampenan, 8 Pantekosta di Jalan Tenun Cakra, dan 9 GKT Gloria di Jalan Subak. Selain itu ada
kerugian yang diderita oleh jamaah Kristen seperti rumah, kendaraan dan pertokoan yang dijarah oleh massa. Di antara rumah tersebut adalah milik seorang pengurus
gereja GPIB, Sinaga, bahkan istrinya menjadi shock akibat pembakaran tersebut dan meninggal dunia. Pada hari kejadian nampaknya banyak orang Kristen melihat gejala
adanya pembakaran dan perusakan fasilitas yang dimiliki orang Kristen. Hal ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukan mereka dengan segera meninggalkan Mataram
menuju ke tempat yang aman seperti Bali dan Jawa, misalnya yang dilakukan Sinaga yang mengungsi ke Bali selama 1,5 bulan.
122 Sementara dari kalangan muslim memang tidak ada korban dan kerugian dari
peristiwa tersebut. Sebaliknya di antara mereka semakin tumbuh kesadaran dan kepekaan terhadap kegiatan agama lain khususnya Kristen.
Dampak yang langsung terkait dengan kepentingan kedua belah pihak adalah terbentuknya dan pengoptimalan peran forum komuniasi antarumat beragama.
Memang dalam forum ini tidak ada pengurus tapi diharapkan intensif melakukan dialog permanen, bukan hanya ketika terjadi konflik.
1. Anatomi Kelompok dan Subyek
Selama ini informasi yang berkembang di luar mengenai kelompok yang berperan dalam peristiwa 171 adalah Pondok Nurul Hakim dengan tuan guru yang ada
di dalamnya, terutama yang paling menonjol Tuan Guru Sofwan Hakim. Mereka ini dipersepsi sebagai tokoh dan pondok yang berpaham puritan dan fanatik. Tuan Guru
Sofwan menepis persepsi masyarakat khususnya mengenai keterlibatannya dalam pembakaran gereja dengan alasan: a ia hanya diundang panitia untuk memberi orasi
dan menegaskan orasinya tidak bersifat provokatif dibandingkan dengan pembicara lain yang tidak ditugaskan. b Sejak awal tidak ada sama sekali motif untuk
melakukan pembakaran. c Santri Pondok Nurul Hakim dilarang ikut tabligh akbar. d Untuk itu beliau menegaskan bahwa jika ia mau memprovokasi maka akan habis
semua gereja yang ada di Mataram dan sekitarnya, sebab ada seorang yang minta ijin beliau untuk membakar gereja, tapi ia melarangnya. Pada intinya walaupun ia dikenal
‘keras’ dalam pemahaman keagamaan, tapi secara metodologi aksinya tidak menyukai kekerasan. Itulah mengapa Bupati Lombok Barat Lobar sering memintanya untuk
menjadi mediator konflik, misalnya konflik antara Islam dan Hindu di daerah Tanjung sebelum tahun 2000 agar ia menenangkan umat Islam. Walaupun begitu memang
tidak dapat disangkal bahwa kehadiran dan orasinya dalam acara Tabligh Akbar tersebut memberikan simbol dukungan dan keprihatinan terhadap nasib umat Islam
akibat perlakuan orang Kristen, dan dalam batas-batas tertentu memberikan catatan terhadap misi Kristen di Mataram.
Pada acara Tabligh Akbar tersebut hampir semua komponen umat Islam menghadirinya, baik anggota dari NW, NU, Muhammadiyah, dan juga kelompok
kelompok Islam yang lain yang masuk kategori ’muslim-tekstual’. Walaupun begitu tidak ada seorang informan pun yang menegaskan identitas massa pembakar gereja.
Dari mereka hanya terlontar, ’pihak ketiga yang tidak terlihat’, atau pernyataan, ‘ada
123 orang-orang yang berusaha memanfaatkan keadaan’, dan lainnya. Terlepas dari
budaya ‘pengambinghitaman pihak ketiga’ ini yang jelas dari beberapa potensi konflik menjadi sumber dari konflik antarumat beragama di daerah ini, seberapapun intensitas
dan keluasannya.
D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik