Parameter Spesifik Kualitas Daging dan Perubahannya Selama

6

2. Parameter Spesifik Kualitas Daging dan Perubahannya Selama

Pemasakan Nilai pH, Daya Ikat Air Water Holding Capacity, Susut Masak Cooking loss, dan Juiciness Nilai pH merupakan karakteristik kimia daging yang paling penting, berkaitan erat dengan daya ikat air DIA, susut masak cooking loss, dan juiciness daging. Secara tidak langsung, nilai pH juga mempengaruhi warna dan tekstur daging Soeparno, 2005. Normalnya, pH daging mentah berkisar antara5.4 sampai 5.8. Variasi pH daging merupakan pengaruh dari berbagai faktor, antara lain stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik, serta aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis Soeparno, 2005. Water Holding Capacity WHC atau Daya Ikat Air DIA adalah kemampuan daging untuk mengikat air di dalamnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Atribut mutu ini sangat penting dalam daging dan produk berbasis daging. Selain mempengaruhi penyusutan bobot selama penyimpanan dan pengolahan, DIA daging juga berpengaruh pada sebagian besar sifat fisik daging, termasuk warna, tekstur, kekerasan daging mentah, serta keempukan dan juiciness daging matang Soeparno, 2005. DIA terkait dengan kondisi kimiawi air dalam daging. Air yang terikat dalam daging dapat dibagi menjadi tiga kompartemen, yaitu : i air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebagai lapisan monomolekular pertama 4-5; ii air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari grup hidrofilik sekitar 4; serta iii lapisan ketiga yang merupakan molekul-molekul air bebas di antara molekul protein Soeparno, 2005. Nilai pH mempengaruhi muatan dari gugus reaktif protein daging. Pada titik isoelektrik, jumlah muatan positif dari gugus reaktif protein sama dengan jumlah muatan negatifnya, sehingga cenderung berinteraksi antar-sesamanya dan menurunkan kemampuan mengikat molekul air Aberle et al., 2001. Nilai pH yang lebih tinggi menyebabkan pembebasan sejumlah muatan positif, sehingga terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul- molekul air. Demikian pula pada pH lebih rendah, terdapat kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul- molekul air. Jadi, DIA meningkat pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari pH isoelektrik, seperti tampak pada Gambar 3. Nilai pH isoelektrik daging berkisar antara 5.0 sampai 5.1 Soeparno, 2005. Juiciness daging merupakan kombinasi dari dua pengaruh, yaitu kesan cairan yang dibebaskan selama pengunyahan, serta hubungannya dengan salivasi yang diproduksi oleh faktor-faktor flavor, termasuk lemak intramuskuler. Perubahan flavor daging masak dan hubungannya dengan juiciness daging bersifat sangat subjektif dan hampir tidak mungkin ditaksir secara objektif. Karena itu umumnya juiciness dan DIA dikaitkan dengan susut masak selama pengolahan Soeparno, 2005. 7 Gambar 3. Hubungan Nilai pH dengan Water Holding Capacity WHC Soeparno, 2005 Susut masak adalah jumlah air yang keluar dari jaringan akibat terjadinya denaturasi kolagen dan kompleks aktomiosin selama pengolahan. Jumlah air terikat menurun dengan meningkatnya suhu, karena itu meningkatnya suhu pemasakan umumnya meningkatkan susut masak. Kisaran suhu yang menyebabkan susut masak paling tinggi adalah 50-70° C Palka dan Daun 1999. Susut masak berkaitan erat dengan penyusutan sarkomer dari miofibril, di mana semakin tinggi tingkat penyusutan sarkomer, cairan daging yang keluar sebagai susut masak juga semakin banyak Palka dan Daun 1999. Demikian pula dengan peningkatan waktu pemasakan, umumnya meningkatkan susut masak Barbera dan Tassone 2006. Umumnya susut masak bervariasi antara 15-40. Besarnya susut masak dapat digunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Persentase susut masak ditentukan dengan persamaan 1 Soeparno, 2005. Susut Masak bb = Bobot sebelum dimasak −Bobot setelah dimasak Bobot sebelum dimasak x 100 1 Selain faktor pH dan pemasakan, DIA juga dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak, fungsi otot, pakan, perlakuan sebelum dan setelah pemotongan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan, serta kandungan lemak intramuskuler Soeparno, 2005.` Tekstur Tekstur merupakan salah satu atribut kualitas yang paling penting pada daging, dan telah diteliti dalam banyak aspek selama bertahun-tahun Palka dan Daun, 1999. Perubahan tekstur daging secara keseluruhan berkaitan dengan perubahan protein miofibril, sitoskeleton otot, jaringan ikat intramuskular, serta kandungan air dalam serabut daging Harris 1976; Jones et eal.1977; Leander 1977; Silva et al.1993; Greaser 1997; dalam Palka dan Daun 8 1999. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan tekstur daging terdiri dari faktor antemortem spesies, bangsa, fisiologi, umur, jenis kelamin, stress dan faktor postmortem metode pelayuan, chilling, refrigerasi, pembekuan, serta metode pengolahan Soeparno, 2005. Selama pemanasan, terdapat sedikitnya empat mekanisme pokok terhadap perubahan tekstur, yaitu: a inaktivasi enzim proteolitik endogenous; b denaturasi termal jaringan ikat yang menyebabkan keempukan; c denaturasi termal protein kontraktil miofibril yang menyebabkan meningkatnya kekerasan; e penyusutan diameter dan panjang sel serta peningkatan densitas; serta d turunnya water holding capacity WHC serta kekurangan cairan seperti air dan lemak Wirakartakusumah et al. 1992. Tornberg 1999 menambahkan mekanisme rusaknya membran sel serta agregasi dan pembentukan gel oleh protein sarkoplasmik sebagai faktor yang turut berperan dalam perubahan tekstur selama pemasakan. Perubahan tingkat kekerasan pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin 40-60° C, aktin 66-73° C, dan penyusutan kolagen 56- 62° C Martens et al. 1982 dalam Palka dan Daun 1999. Sebagian besar protein sarkoplasma juga teragregasi pada suhu 40-60° C, menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot, dan mengakibatkan meningkatnya kekerasan daging Tornberg, 2005. Penurunan tingkat kekerasan daging pada suhu di atas 80° C dimungkinkan akibat gelatinisasi kolagen Locker 1984; Fritz et al. 1992; dalam Palka dan Daun 1999. Karena kompleksnya faktor-faktor tersebut, maka tidak diharapkan adanya perubahan fisik yang berkorelasi linier dengan perubahan suhu maupun waktu pemanasan Wirakartakusumah et al., 1992, seperti pada pengamatan Palka dan Daun 1999, Tornberg 2005, dan Combes et al. 2003. Variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda Tornberg, 2005. Warna Seperti halnya tekstur, warna daging dan produk turunannya merupakan hasil reaksi yang kompleks antara faktor genetika hewan, kondisi ante- dan post-mortem, kondisi kimia otot, dan berbagai faktor lain terkait proses pengolahan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, serta penyiapan produk tepat sebelum dikonsumsi Mancini dan Hunt, 2005. Pigmen yang paling bertanggung jawab atas warna daging adalah mioglobin Mancini dan Hunt, 2005. Mioglobin merupakan protein sarkoplasmik yang terbentuk dari rantai polipeptida tunggal yang terikat di sekeliling suatu grup heme, yang tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin. Pigmen kromoprotein dan hemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Pigmen sitokrom, flavin, dan vitamin B12 yang terdapat dalam otot dalam jumlah sangat sedikit, hampir tidak mempunyai andil pada warna daging. Pada daging segar, mioglobin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress tingkat aktivitas dan tipe otot, pH, dan oksigen Soeparno, 2005. Perubahan mioglobin secara kimiawi disajikan dalam Gambar 4. 9 Aplikasi panas pada daging non-curing menyebabkan perubahan warna dari merah menjadi coklat atau abu-abu. Warna kecoklatan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C Soeparno, 2005. Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan warna daging menjadi gelap akibat dehidrasi gugus amine dari asam amino yang membuat protein otot bereaksi dengan gula pereduksi dan menyebabkan reaksi pencoklatan Maillard Thippareddi dan Sanchez, 2006. Gambar 4. Perubahan Kimia Molekul Mioglobin Mancini dan Hunt, 2005 Flavor dan Aroma Flavor daging merupakan hasil interaksi yang kompleks antara ratusan senyawa yang terlibat, termasuk di dalamnya senyawa-senyawa hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, trifena, pirol, piridin, pirazin, oxazol, tiazol, komponen yang mengandung sulfur, dan sebagainya. Senyawa-senyawa tersebut mengalami perubahan selama penyimpanan dan pemasakan Calkins dan Hodgen, 2007. Pembentukan aroma dan rasa daging selama pemasakan banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri volatil yang terdapat di dalam daging Soeparno, 2005. Pemasakan daging di atas 70° C akan memperkuat flavor daging dan merubah flavor blood-like dari daging segar menjadi flavor daging matang. Pemanasan asam lemak, dengan keberadaan udara, akan memicu terjadinya oksidasi yang akan memodifikasi profil flavor. Beberapa komponen terdegradasi akibat hidrolisis, menghasilkan komponen penguat rasa, seperti asam glutamat dan turunannya. Pembentukan flavor juga dipengaruhi keberadaan garam, rempah, dan curing agent yang digunakan Thippareddi dan Sanchez, 2006. Daging yang dikalengkan dan dipanaskan dengan suhu tinggi mengandung senyawa volatil aldehid dan senyawa yang mengandung sulfur H 2 S, metilmerkaptan, dimetilsulfida, 2-metil propanal, 2-metilbutanal, dan 2-etilfuran yang makin menurun dengan meningkatnya suhu sterilisasi. Suhu sterilisasi yang terlalu tinggi sampai 131° C dapat menyebabkan penyimpangan flavor Thippareddi dan Sanchez, 2006. 10

C. PENGALENGAN PANGAN